Oleh Agus Hariono
Ada sebuah masjid yang unik. Unik bukan karena bentuknya, tetapi karena jamaahnya. Sejak kelahirannya, mungkin saja jamaah masjid ini memang tidak dibentuk dengan hanya satu warna saja, melainkan banyak warna. Entah dahulu yang mana. Nama masjidnya lebih dulu dibentuk, lalu jamaahnya mengikuti. Sebaliknya, karena jamaah tidak hanya satu warna, lalu nama masjid tersebut dilabelkan.
Nama masjid tersebut ialah Masjid Al-Islah. Jika diartikan Al-Islah luas maknanya. Misalnya, islah adalah suatu term yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw. Islah berasal dari kata Ashlaha-yushlihu-ishlahan, yang artinya perbaikan, keselamatan dan perdamaian.
Wikipedia mengartikan islah adalah memperbaiki, mendamaikan, dan menghilangkan sengketa atau kerusakan. Berusaha menciptakan perdamaian; membawa keharmonisan; mengajurkan orang untuk berdamai antara satu dan lainnya; melakukan perbuatan baik; berprilaku sebagai orang suci (baik). Ruang lingkup pembahasan islah mencakup aspek-aspek kehidupan manusia baik pribadi maupun sosial. Dalam bahasa Arab modern, istilah ini digunakan untuk pengertian pembaruan (tajdid).
Kemudian dalam Ensiklopedi Religi, islah adalah perdamaian dan penyelesaian pertikaian. Adapun menurut Istilah, islah adalah mendamaikan suatu pertikaian, kalau dalam satu golongan terjadi perbedaan, tidak perlu ada pihak ketiga yang menengahi dan mengislahkannya karena dikhawatirkan pertikaian akan tidak bisa terselesaikan.
Di antara sekian pengertian di atas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa islah adalah perdamaian. Kata damai memang tidak muncul secara sendirinya. Kemunculannya pasti karena adanya sebab akibat. Misalnya, sebab adanya pertikaian atau pertengkaran, maka muncul perdamaian. Jadi, kata damai dapat dikatakan sebagai antitesa dari adanya tesa dan sintesa. Solusi atas permasalahan.
Al-Islah dalam koteks masjid Al-Islah Tempursari – Puhjarak memang memiliki makna yang filosofis. Al-Islah sebagaimana maknanya memang berfungsi sangat strategis untuk mendamaikan jamaahnya. Sebagaimana keterangan di atas bahwa faktanya jamaah masjid tersebut beragam. Tidak satu warna. Karena tidak satu warna akan berpotensi silang kepentingan. Oleh karenanya, perlu disatukan. Agar satu dengan lainnya tidak saling menegasikan. Justru sebaliknya satu dengan yang lain harus dipertemukan dan saling merangkul. Itulah kira-kira gambaran praktik keagamaan di Masjid Al-Islah Tempursari-Puhjarak.
Hingga saat ini kita dapat saksikan praktik keagamaan di masjid tersebut. Ada semacam sintesa adanya terhadap dua aliran. Misalnya, tidak dapat sepenuhnya dikatanya praktik ibadahnya menurut NU, karena fakta subuhnya tidak qunut. Tidak dapat sepenuhnya dikatakan Muhammadiyah, karena fakta dzikirnya dijahr. Cara ini adalah cara terbaik, karena telah terbukti selama puluhan tahun jamaah dapat melaksanakan ibadah dengan aman dan damai. Tanpa sekalipun berselisih paham soal praktik ibadah.
Inilah contoh praktik beragama yang damai. Yang tercermin dalam sebuah nama masjidnya. Butuh persatuan dan toleransi yang tinggi untuk menjaga dan merawatnya. Kesadaran dan kelapangdadaan para jamaahlah yang menjadi penjamin kelanggengannya praktik keagamaan yang islah ini. Semoga Allah SWT senatiasa meridhai. Aamiin.
Wallahu a’lam!