Oleh:
Hitta Alfi Muhimmah
Siang ini saya mendengar percakapan menarik dari dua orang kakak beradik ini.
“Dek, adek mobil yang hijau saja ya sayang… Mobil hijau ini sudah canggih loh, ini namanya mobil ke-luar-ga. Adik mau diajak jalan-jalan sama ayah kan? Nah, adik cocok main mobil keluarga yang hijau ini.”
“Mas pakai mobil yang biru ya sayang… Kan Mas sukanya mobil balap. Nah, yang biru ini mobil balap dek. Nggak cocok sama Adek.” Sambil ia tunjukkan mobil dihadapan adiknya. Adiknya sampai tercengang diam seribu bahasa mendengar pendapat Kakaknya.
Percakapan ini sebenarnya terjadi karena adik menginginkan mainan mobil warna biru. Sedangkan Kakaknya juga menginginkan hal yang sama. Maka dia mencari solusi agar Adik tidak jadi merebut mainan mobil biru. Dia berusaha membuat penguatan agar Adik berpaling ke mainan mobil warna hijau. Dan yang paling penting, bagaimana caranya agar adiknya tidak menangis.
Muhammad Zulfikar Mirza, putra pertama kami yang saat ini berusia 4,5 tahun. Sudah terlihat jiwa leadership nya sejak dini. Terutama dari cara dia bernegosiasi dengan siapapun. Kami sangat mengapresiasi anak sekecil ini mampu bernegosiasi hingga menghasilkan win win solution. Negosiasinya tidak hanya ditujukan kepada adiknya saja. Melainkan kepada saya, ayah, kakek, nenek, serta temannya.
Biasanya anak-anak usia balita jika berebut mainan, pasti salah satu ada yang menangis. Nah, kalau ini kakak beradik merebutkan mainan dengan cara negosiasi sampai menemukan solusi terbaik. Ia mampu bernegosiasi dengan adiknya tanpa pecahan tangis. Suatu hal yang sangat unik menurut kami.
Seorang pakar pendidikan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Thomas Armstrong, mengungkapkan bahwa tidak ada anak yang bodoh. Setiap anak memiliki jenis kecerdasannya masing-masing. Dr Howard Gardner, profesor bidang pendidikan di Harvard University, Amerika Serikat mengemukakan sebuah teori yang diberi nama Teori Kecerdasan Majemuk. Howard membaginya menjadi 8 jenis kecerdasan anak.
Setiap anak bisa saja memiliki 8 jenis kecerdasan ini. Hanya saja, ada anak yang hanya menonjol pada satu atau dua jenis kecerdasan saja. Orang tua tidak bisa memaksa anak menjadi hebat di semua bidang. Namun, orang tua dapat membantu mengoptimalkan semua potensi di setiap area kecerdasannya.
Mirza dikenal anak yang menonjol pada kecerdasan word smart (kecerdasan linguistik) dan body smart (kecerdasan kinetik). Sejak kecil ia sudah menunjukkan bahwa bakat dia mengarah pada dua jenis kecerdasan tersebut. Usia 2 tahun, ia sudah lancar mengucap beberapa kosa kata dengan lugas tanpa cedal. Usia 3 tahun ia sangat fasih mengucap huruf “R” serta menambah kosa kata lain.
Setelah kami amati perkembangannya, ternyata ada perilaku kami yang direkam kemudian dicontoh olehnya. Memang sejak bayi ketika kami mengajak bicara Mirza, tidak pernah sekalipun kami berkata seakan cedal. Selain itu, kami selalu membudayakan untuk berdiskusi dua arah. Ketika meutuskan apapun, harus melalui diskusi yang matang. Sehingga apapun yang terjadi, tidak ada yang salah dan benar. Karena keputusan yang diambil sudah melalui diskusi yang matang.
Nah, kami menduga bahwa Mirza merekam kebiasaan kami untuk berdiskusi, sehingga ia pun melakukannya ketika menginginkan sesuatu. Bahkan untuk merebut mainan pun, melalui negosiasi ala anak-anak. Dan hingga saat ini ia mampu berkomunikasi dua arah dengan orang lain dan mampu menangkap pesannya kemudian menyampaikan kembali.
Selain itu, dia juga unggul di segmen kecerdasan body smart (kecerdasan kinetik). Terbukti dengan gerakan dia sehari-hari yang seperti tidak kenal capek dan sakit. Kelincahan dia dalam berlari, melompat, jungkir balik, dan lain-lain.
Bahkan jika dia saya minta untuk duduk diam mengaji 15 menit saja bagi dia sudah sangat lama. Dia paling tidak bisa untuk diam sejenak saja. Harus ada aktifitas fisik yang dia lakukan. Usia 2,5 tahun dia sudah bisa bersepeda roda 4. Kemudian usia 3,5 tahun sudah belajar sepeda roda 2 dalam waktu hanya 1 hari saja. Pagi, diajarkan roda 2, sore hari sudah bisa lepas sendiri bersepeda roda 2. Sekarang di usianya 4,5 tahun sudah menggunakan sepeda gunung yang biasa digunakan untuk anak SD-SMP.
Kadang saya perlu memutar otak bagaimana caranya agar materi mengaji tersampaikan tanpa meninggalkan aktifitas fisiknya. Meskipun saya selalu menekankan bahwa mengaji itu harusnya duduk yang bagus, dan harus berwudhu. Agar dia tidak keterusan mengaji sambil berlarian.
Bahkan dia sangat cepat menghafal dan sangat efektif jika metode mengajinya sambil berlarian mencari huruf hijaiyah dan merangkainya kemudian dia memaknainya. Misalnya, saya menyembunyikan huruf Hijaiyah dalam sebuah kotak. Dengan petunjuk yang saya sampaikan, dia mencari kotak tersebut kesana kemari sampai menemukannya. Setelah menemukan, dia tunjukkan ke saya dan membuka kotak itu.
“Alhamdulillah, sudah ketemu kotaknya. Dibuka ya? Kira kira huruf apa ya yang ada dalam kotak ini?” Saya memancing pertanyaan.
“Siap Bunda, Bismillahirrahmanirrahim waah, ini huruf ‘La’ Bunda.”
“Alhamdulillah, betul… Hebat Mas Mirza.” Saya beri dia apresiasi
“Bunda, karena kotak ini gelap, makanya bunda beri huruf ‘La’ ya? Kan ‘La’ itu seperti ‘Lampu’ jadi kotak nya nggak gelap lagi.”
Atau misalnya ketika ia membaca huruf Hijaiyah sering ia kaitkan dengan benda tertentu yang diawali dengan huruf tersebut.
“Bunda, ini bacanya ‘Na’ kayak ‘Nasi’ ya Bund?”
“Ini ‘Ma’ kayak ‘Mata’ ya Bund?”
Masyaa Allah…. Jawaban ini diluar dugaan saya. Dia ternyata sudah belajar memberi makna pada simbol tertentu. Kemudian dia menginterpretasikan dengan bahasa dia sendiri. Dengan belajar cara seperti itu, ternyata lebih efektif baginya. Jadi tidak sekedar menghafal, namun ada hal yang berkesan sehingga membuat materi melekat.
Bagi kami, ia punya dunia sendiri dengan kemampuan diri yang ia ciptkan. Tentu tugas kita adalah mengarahkan dan mengingatkan jika ia telah keluar jalur. Sampai detik ini, kami berdua bersepakat bahwa dengan mencermati kecenderungan jenis kecerdasannya, coba sesekali kami kenalkan pada dunia diplomasi untuk mendukung kecerdasan linguistiknya. Kemudian kami fasilitasi dengan aktifitas pencak silat atau tapak suci untuk mendukung kecerdasan kinetiknya.
Sehingga kelak dia bisa diarahkan belajar di jurusan Hubungan Internasional ataupun Ilmu Olahraga. Kami tidak memaksa harus menjadi apa. Yang jelas tetaplah menjadi sholih dan mampu meraih surga-Nya melalui profesimu. Semoga kami selalu menjadi orang tua pembelajar sampai kapan pun. Kami bukan orangtua yang sempurna. Kami hanya berharap mereka mampu menjadi manusia paripurna. Karena, tidak harus menjadi orang tua sempurna untuk menjadikan anak sebagai manusia paripurna.
Langit Inspirasi, 29 Juni 2020