Oleh: M Arfan Mu’ammar
Hampir setiap pagi ketika akan masuk perkuliahan saya melihatnya. Tingginya hanya setengah dari tinggi mahasiswa pada umumnya. Bukan karena dia pendek, tetapi kakinya tidak sempurna.
Dia tidak pernah menggunakan sepatu ketika kuliah, bukan karena tidak mampu membeli sepatu, tetapi dia tidak bisa menggunakan sepatu. Dia selalu menggunakan sepasang sandal jepit yang ditaruh di bawah lututnya, untuk mengalasi lututnya dari bumi, karena memang dia berjalan menggunakan lututnya.
Ruang kelasnya terletak di lantai 8 gedung At-Tauhid, di saat teman-teman lainnya menggunakan lift untuk sampai di lantai 8, Halim memilih untuk naik tangga ke lantai 8. Bayangkan, kita saja yang normal menggunakan tangga ke lantai 8 saja sampai ngos-ngosan, lha ini Halim dengan kaki yang tidak sempurna, hanya sebatas lutut dengan dialasi sandal, berjalan menaiki tangga hingga ke lantai 8 “setiap hari” selama 4 tahun.
Saya mengkontak Pak Satria dosen Fakultas Hukum untuk meminta nomer Halim, salah satu dari tiga anak Fakultas Hukum yang disabilitas. Namun, setelah saya mendapatkan no handphonenya, saya tidak kunjung menghubungi, mungkin karena kesibukan saya.
Tiba-tiba hati ini tergerak untuk melakukan salat magrib di masjid Baiturrahim, masjid yang terletak di depan kampus, tidak biasanya saya salat di situ, tapi tidak tahu, tiba-tiba saja, hari itu saya ingin salat di situ, sambil menunggu seseorang.
Seusai salat magrib, ketika salam, pas menengok ke kiri, saya melihat sosok yang saya cari akhir-akhir ini. Dia sedang asyik membaca Alquran. Saya pastikan lagi dengan melihat foto di WhatsApp profilnya, iya memang betul, dia Halim yang saya cari.
Beberapa hari ini memang saya ingin sekali bertemu Halim, dalam hati saya berkata, ingin dipertemukan Halim, tanpa saya harus menghubungi, mungkin ketemu di jalan, atau di fakultas atau di kantin dan di manapun. Ternyata diketemukan oleh Allah di masjid depan kampus.
Menurut warga sekitar, Halim selalu rajin menjalankan salat jama’ah 5 waktu di masjid itu. Baik subuh, dhuhur, asar, magrib dan isya’. Khusus untuk salat magrib, dia tidak kembali ke kos, tetapi membaca Alquran sambil menunggu datang waktu salat isya’. Jadi kalau ingin bertemu dengannya, datang saja ke masjid Baiturrahim sesuai salat magrib, Insyaallah akan bertemu dengannya.
Dia berasal dari Sumenep, sempat berkuliah di kampus swasta di sana, tetapi karena terkendala biaya, dia berhenti di tengah jalan. Setelah mendapat informasi beasiswa penuh untuk difabel di Universitas Muhammadiyah Surabaya, dia kembali bersemangat, akhirnya angan-angan dia untuk bisa lanjut di perguruan tinggi dapat terwujud.
Walaupun sebenarnya fakultas yang dituju bukan yang diharapkan, dia ingin masuk di fakultas teknik, jurusan informatika, dengan alasan lebih praktis, dan mudah diaplikasikan, juga mudah untuk mencari kerja. Namun, karena beasiswa yang tersedia di fakultas hukum, maka dia mengambil jurusan hukum.
Panjang lebar dia bercerita aktivitasnya sehari-hari. Dia termasuk mahasiswa yang aktif di IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Bahkan ketika awal pelantikan IMM oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, dia mengatakan bahwa pak Rektor sempat menangis ketika melantiknya, “Dengan keterbatasan seperti itu, Halim masih tetap bisa aktif di IMM”. Kira-kira begitu ungkapan pak Rektor. “Saya sampai malu sendiri pak dipuji-puji pak rektor di depan banyak orang” jelasnya sambil tersenyum.
Saat dia bercerita, saya sangat terenyuh, khususnya ketika dia mengatakan bahwa: “saya lho pak selama kuliah tidak pernah dikirimi uang oleh orang tua saya”. Sontak saya menjawab: “lha terus setiap hari kamu makan bagaimana? Terus kos-kosanmu yang bayar siapa?”.
“Saya ikut teman pak, makan juga ikut teman, biasa pak bareng-bareng sama teman-teman IMM”. Jawabnya dengan santai.
Bukan hanya keterbatasan fisik, Halim juga dari keluarga yang tidak mampu, jangankan bisa pulang, uang makan dan kos saja dia tidak pernah mendapatkan dari orang tua, selama dia tinggal di Surabaya.
“Yang lain bisa, kenapa saya tidak, walaupun dengan keterbatasan seperti ini”, kata-kata itu yang selalu menjadi pelecut semangatnya.
Di akhir diskusi kami, saya selipkan sedikit rizki ke sakunya, “mas ini sampean terima” sambil beranjak berdiri dan menyalaminya.
“Lho pak kok banyak sekali, cuma tanya-tanya sebentar saja kok dikasih segini” jawabnya sambil berupaya mengembalikan uang itu.
“Enggak mas, ini gak ada kaitannya dengan diskusi kita barusan, ini di luar itu, memang saya ingin memberi” sambil menolak untuk dikembalikan.
“Terima kasih banyak pak” sahutnya dengan senyuman.
Saya jawab dengan senyum. Dalam hati saya justru berterima kasih, karena telah menyadarkan, betapa kita yang normal jauh dari rasa syukur kepada Allah. Tidak betul-betul memanfaatkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Allah ampuni hambamu ini yang kufur nikmat.