OPTIMALISASI POTENSI ANAK DI USIA EMAS

0
1649

Kalau kita ingat-ingat lagi, apa yang kita alami ketika masa usia kanak-kanak, mungkin hanya bisa diingat ketika usia kita dua tiga tahun ke atas. Pada saat kita sudah mampu berbicara. Sebelumnya, kita tidak pernah ingat apa-apa.
Beruntunglah mereka yang terlahir dari keluarga yang baik, harmonis, bahagia sehingga melahirkan anak-anak yang sehat dan bahagia pula. Tidak terbayangkan, apa yang terjadi kepada anak-anak yang hidupnya dimulai dengan penolakan, kebencian, kekerasan fisik, dianggap membawa sial dan sikap negatif lainnya. Pantas saja anak-anak ini kelak memiliki trauma fisik dan psikologis yang akan mengganggu masa depannya apabila mereka masih membawa beban hidup masa lalu.
Sebagai orangtua, kita perlu bercermin diri. Introspeksi atas apa saja perilaku buruk yang telah kita lakukan kepada anak-anak kita dulu sehingga tanpa kita sadari mereka pun sekarang menampakkan gejala perilaku yang merepotkan orangtua.
Mengutip pendapat seorang ahli Psikoanalisa, Sigmun Freud, ia mengatakan bahwa pada setiap diri manusia terdapat satu periode istimewa yang menentukan masa perkembangan berikutnya. Itulah periode Golden Age atau periode usia emas. Periode ini terjadi pada rentangan usia 0-5 tahun (balita). Pada masa ini, sedang terjadi perkembangan otak yang sangat pesat. Anak ibarat kertas kosong yang dengan mudah dipengaruhi dari luar oleh siapa pun yang dekat dengannya. Di sini pula momentum istimewa bagi orangtua untuk menggali berbagai potensi anak melalui interaksi dan komunikasi yang baik dengan mereka.
Elizabeth Hurlock, seorang ahli Psikologi Anak, berpendapat bahwa pola perilaku anak usia dini itu terdiri dari (1) meniru perilaku orang yang dikaguminya, (2) bersaing untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain, dan (3) kerjasama yang terjadi ketika anak sudah berada pada periode akhir masa usia dini. Dengan demikian, anak-anak memerlukan latihan bersosialisasi yang baik dan sehat agar terbentuk perilaku yang baik pula.
Adalah sebuah kekeliruan besar jika orangtua menganggap anak-anak kecil tersebut tidak tahu apa-apa atas berbagai hal yang telah dilakukan kepada mereka. Tentu kita pernah menyaksikan anak-anak yang berperilaku mudah emosi, selalu menolak, pemarah, dan lainnya. Itu semua sebagai reaksi yang dilakukan karena ia mendapatkan perlakuan yang tidak membuat dirinya aman, nyaman dan bahagia. Bandingkan dengan anak-anak yang selalu ceria, tersenyum, banyak tanya dan mudah bergaul sekalipun dengan orang yang belum dikenalnya. Pasti anak-anak ini telah mendapat perlakuan yang baik dari orangtuanya.
Sekitar 50% kecerdasan orang dewasa terbentuk pada saat mereka berusia empat tahun. Inilah masa paling berharga bagi orangtua untuk memberikan pengaruhan positif melalui pendidikan kepada anak-anak mereka. Tugas kita para orangtua adalah menjaga dan melakukan hal terbaik, jangan sampai momentum ini hilang sia-sia.

6 Langkah Optimalisasi Potensi pada Masa Usia Emas Anak
1. Memberi stimulus yang tepat. Kesadaran dan peran orangtua sangat menentukan pada periode ini. Orangtua diharapkan mampu menciptakan berbagai situasi yang menarik perhatian anak agar mereka beraksi dan beraksi positif. Anak dibuat aktif banyak bertanya dan orangtua jangan pernah bosan menjawab. Apalagi menghentikan pertanyaan anak. Biarkan mereka menggali seluas-luasnya keingintahuan yang muncul melalui berbagai pertanyaan. Dengan memberi peluang anak untuk memenuhi rasa ingin tahunya, otak anak terangasnag untuk terus berpikir.
2. Belajar sambil bermain. Masa kanak-kanak dipenuhi dengan situasi bermain. Apa saja dilakukan melalui bermain. Dan semuanya bisa menjadi permainan di mata anak. Sebuah kursi bisa menjadi kendaraan baginya karena berkembangnya imajinasi. Oleh karena itu anak-anak akan mudah menerima pelajaran dan pengetahuan melalui rangsangan bermain. Bermain menimbulkan rasa senang dan gembira sebagai dasar proses interaksi positif. Pada posisi ini, jangan sampai orangtua malas bermain dengan anak atau melarang anak bermain-main sehingga yang terjadi hanyalah proses instruksi yang mematikan kreativitas anak.
4. Orangtua menjadi contoh teladan. Sebagai peniru ulung, apapun hasil meniru yang dilakukan anak, semua bergantung kepada bagiamana orangtua berperilaku, bersikap, selama bersama anak-anak. Orangtua yang bermain “dua kaki”, akan menghasilkan anak-anak “berperilaku ganda”. Di sini peran orangtua harus konsisten agar anak-anak tidak sesat dalam mencerna apa yang didapatkannya dari orangtua. Orangtua dilarang keras berbohong. Anak-anak pasti meniru dan sikap ini akan tertanam kedalam jiwanya bahwa berbohong menjadi jalan keluar atas ketidakmampuan anak memecahkan masalah. Pelajaran ini didapat dari orangtuanya. Sebagai orangtua yang cerdas perlu belajar bagaimana supaya tidak mudah berbohong kepada anak. Tentu ia tidak boleh juga berbohong kepada dirinya sendiri. Banyak cara melatih kejujuran ini.
5. Memandu anak memecahkan masalah. Anak-anak memerlukan petunjuk dan arah bagaimana memecahkan persoalan. Orangtua jangan sampai bertindak otoriter dengan hanya melakukan perintah. Anak-anak harus diberi kesempatan untuk mengelola pikiran naifnya mencari solusi. Dalam masa ini, orangtua dituntut agar lebih sabar dan telaten. Izinkan anak-anak melakukan trial and error. Dari mencoba-coba ini sebagai latihan baginya dalam memecahkan persoalan.
Gunakan kata-kata positif dan baik dalam berkomunikasi. Orangtua karena berbagai kondisi dan alasan, tidak sabar dengan pertanyaan anak-anak yang tidak pernah berhenti. Anak akan berhenti bertanya ketika jawaban yang ia terima sampai kepada tingkat pemahamannya. Orangtua bijak harus mampu menemukan kapan anaknya bisa terpuaskan dengan jawaban orangtua. Salah satu pantangan dalam berkomunkasi dengan anak adalah dengan menggunakan kata larangan “jangan”. Orangtua harus pandai menemukan padanan kata yang sama namun dengan penyampaian yang bernilai positif. Contohnya, pada saat anak dilarang main ke luar rumah. Ubahlah kata “Jangan main di luar” dengan “Bagaimana kalau kita main di dalam saja?” Disini akan terjadi dialektika yang membuat anak berpikir dan ikut mencari alasan kenapa main di luar dilarang. Kata “jangan” sering menghentikan pertanyaan-pertanyaan kritis anak. Mematikan kreativitas. Menumpulkan rasa ingin tahu anak. Dan tak jarang, menimbulkan pertengkaran.
6. Mulai memperkenakan anak pada dunia sosial. Sejak dari dalam kandungan, anak-anak sudah bersama ibunya. Lalu ia lahir. Ada orang lain di sekitarnya, seperti ayah, saudara dan siapapun orang yang berada satu rumah dengannya. Dunia keluarga menjadi dunia sosial pertama bagi anak-anak. Dunia yang memberi anak-anak kesempatan belajar berinteraksi dan menyadari bahwa ada orang lain selain dirinya. Di sini orangtua berperan memberi pelajaran bagaima anak-anak mengembangkan diri agar jati dirinya terbentuk, muncul simpati dan empati, toleransi dan memahami bahwa dunia ini milik berasama. Anak-anak yang tidak mendapat pengalaman bagimana mengelola diri dalam kehidupan sosial yang baik, akan membentuk peribadi egosentris dan egois. Meskipun kita tahu bahwa memang pada masa balita ini, salah satu ciri perilaku anak ia berada pada masa egosentris. Tetapi masa ini terjadi karena anak ingin memenuhi rasa ingin tahunya yang besar. Kesalahan dalam mendidik terjadi apabila pada masa ini justru orangtua atau pendidik prasekolah memberi peluang yang salah kepada anak dengan melakukan pembiaran perilaku antisosial.
Mendidik dan mengasuh anak di periode emas, memerlukan kesadaran dan keseriusan orangtua. Tugas ini sejatinya sulit digantikan. Di sinilah dilema bagi orangtua yang tidak memiliki waktu yang cukup bersama anak-anaknya. Mereka akan kehilangan masa-masa indah dan berkesan ketika anaknya melakukan berbagai perubahan dan loncatan perkembangan yang menakjubkan. Ketika pertama kali anak mampu memanggil orangtuanya “Mama-Papa”, ini sebuah kegembiraan luar biasa bagi orangtua. Apalagi disusul dengan perkembangan-perkembangan fantastis berikutnya. Sangat banyak hal-hal yang terjadi pada periode emas ini. Orangtua akan dibuat terkaget-kaget atas berbagai pertanyaan di luar dugaan kita orang dewasa.
Banyak orang berpendapat bahwa periode emas ini, anak memerlukan kualitas dan kuantitas hubungan orangtua dengan anak. Memang, kehidupan ideal tidak bisa dimiliki oleh semua keluarga. Orangtua dengan terpaksa memerlukan peran pengganti ketika suatu tuntutan harus mereka perjuangkan di luar rumah. Maka, kerja sama dan tetap satu visi misi menjadi prasyarat agar anak-anak tidak kehilangan masa emas pertumbuhan dan perkembangannya.
Kalau pada hari ini kita menyaksikan banyak orang dewasa yang terlantar jiwanya. Tidak bahagia hidupnya. Miskin kasih sayang. Labil dan selalu berbuat onar. Boleh jadi, mereka dulunya kehilangan kasih sayang, pendidikan dan bimbingan orangtua ketika masa usia emasnya karena berbagai alasan.
Beruntunglah mereka yang menjadi orangtua teladan bagi putra putrinya sehingga terlihat ketika anak-anak sudah dewasa. Anak-anak telah dibekali dengan kecukupan makanan jiwa raga meskipun bukan berasal dari keluarga berada. Namun jiwanya damai, nyaman dan tentram dalam pelukan kasih sayang orangtua di waktu kecil.
Semoga kita termasuk orangtua yang bertanggung jawab. Sadar akan tugas sebagai orangtua semenjak anak-anak dicita-citakan kehadirannya hingga mereka dewasa dan mandiri. Kitalah para orangtua yang harus mampu “mengubah” peringatan Allah swt bahwa anak-anak sebagai ujian, menjadi solusi keselamatan hidup orangtua di dunia dan akhirat. Wallahualam
**

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here