Oleh Agus Hariono
Menjelang gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) pemilih pemula menjadi primadona. Para pemangku kepentingan pelaksanaan Pemilu hampir semuanya menyasar pemilih pemula, mulai penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu hingga pihak-pihak terkait. Ada berbagai alasan mengapa mereka menarget pemilih pemula.
Dari perspektif peserta—partai politik atau calon—pemilih pemula diasumsikan orang yang masih awam terhadap politik, ada pula yang menganggap relatif apolitik, dan hanya peduli pada hal-hal yang sifatnya ekonomis, meskipun pada kenyataanya tidak selalu demikian. Peserta Pemilu melihat pemilih pemula sebagai pasar ceruk suara yang potensial, maka pemilih pemula menjadi sasaran utama pendidikan politik.
Sedangkan dari perspektif penyelenggara, pemilih pemula adalah orang yang masih awam terhadap penyelenggaraan Pemilu. Mereka adalah orang-orang yang belum pernah memiliki pengalaman menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Oleh karenanya, sebagaimana kata (Firmanzah, 2007: 120), pemilih pemula disasar guna disiapkan menjadi tipe pemilih cerdas, yakni rasional dan kritis, yang lebih mengedepankan pertimbangan logis, seperti mempertimbangkan apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, dalam membuat keputusan memilih.
Pada pasal 1 ayat 34 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bahwa yang disebut pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, kecuali TNI/Polri dan tidak dicabut hal pilihnya oleh pengadilan. Jadi pemilih pemula adalah kelompok pemilih yang baru pertama kali akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu.
Soal partisipasi pemilih pemula dalam Pemilu menjadi tantangan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam proses penyelengaraan Pemilu. Bagi peserta diharapkan pemilih pemula berpartisipasi menjadi penyumbang suara bagi dirinya—partai politik atau calon. Bagi penyelenggara, pemilih pemula diharapkan dapat berpartisipasi dalam seluruh proses penyelenggaraan Pemilu.
Partisipasi dalam Pemilu seringkali hanya dikaitkan dengan prosentase kehadiran pemilih di tempat pemungutan suara (TPS) untuk menggunakan hak pilihnya. Tingkat partisipasi seringkali dihubungkan dengan ligitimasi hasil Pemilu yaitu seberapa besar dukungan terhadap peserta pemenang Pemilu, dengan rumus semakin tinggi partisipasi maka semakinn legitimate hasil Pemilunya.
Pentingnya partisipasi pemilih dalam penyelenggaraan Pemilu juga sering dikaitkan dengan derajat kepercayaan warga negara pada demokrasi, sistem politik, penyelenggara Pemilu dan hasil Pemilu itu sendiri. Partisipasi pemilih dalam Pemilu juga digunakan sebagai indikator keberhasilan Pemilu. Oleh karenanya KPU pada RPJMN membuat target partisipasi sebesar 75 persen.
Milbrath dan Goel dalam Surbakti (2010) membuat kategori partisipasi (politik) menjadi empat kelompok. Tiga yang pertama yang menunjukkan tingkatan partisipasi. Pertama, kelompok apatis, yakni mereka yang tidak terlibat atau menarik diri dari proses politik. Kedua, kelompok spektator, yang meskipun kurang tertarik dengan politik namun masih menggunakan hak pilihnya. Ketiga, kelompok gladiator, yakni mereka yang sangat aktif di dalam politik termasuk kategori ini adalah aktivis partai, pekerja kampanye, dan aktivis organisasi, dll. Keempat, pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk non-konvensional. Beragam bentuk partisipasi (politik) tersebut dikelompokkan atas partisipasi individual dan kolektif.
Pemilih pemula yang diharapkan menjadi pemilih yang cerdas, rasional dan kritis, seharusnya masih pada kategori gladiator, yaitu pemilih yang aktif terlibat dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Mereka dapat memilih peran sesuai dengan keinginan.
Pada suatu sosialisasi di sebuah sekolah, ada beberapa siswa yang menunjukkan ketertarikan pada penyelenggaraan Pemilu. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang berminat menjadi peserta, tetapi sayangnya justru yang mereka tanyakan adalah tentang ada atau tidak cara agar menjadi calon legislatif namun tidak melalui parpol.
Tentu saja antusiasme terhadap Pemilu itu baik, apalagi sampai berkeinginan menjadi calon. Nah, di sinilah peluang bagi penyelenggara menindaklanjutinya dengan pendidikan pemilih, sementara bagi peserta dapat menindaklanjutinya dengan pendidikan pemilih. Ini bukti bahwa masih ada optimisme partisipasi dari pemilih pemula.
Optimisme menjadi sinyal bahwa memang menyasar pemilih pemula itu penting. Ada sejumlah keunggulan komparatif pada kelompok pemilih pemula. Mereka adalah pemilih yang secara psikologis memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelompok pemilih lainnya yang dewasa. Misalnya mereka mandiri, kritis, anti status quo dan menginginkan perubahan dan sebagainya.
Ciri-ciri ini cocok dengan karakteristik pemilih cerdas, yakni kelompok pemilih yang punya pertimbangan rasional dan kritis dalam menentukan pilihannya. Pemilih jenis ini akan berhitung tentang siapa kandidat, bagaimana track-record-nya dan apa program kerja yang ditawarkan. Karenanya pemilih muda lebih mudah untuk diajak serta punya sikap antipolitik uang dan anti berita bohong (hoaks).
Namun pada sisi lain, kelompok ini juga berpotensi golput, mereka cenderung cuek melihat pemilu. Sikap cuek ini terutama mereka tidak memiliki informasi yang cukup tentang kandidat atau partai politik peserta pemilu. Oleh karena itu, kehadiran penyelenggara Pemilu maupun peserta untuk memberikan pencerahan dan penguatan kepada pemilih pemula menjadi sangat penting.
Plemahan, 15 Maret 2022