oleh Husni Mubarrok
Guru adalah profesi mulia. Profesi unggul yang insyaallah berlipat pahala. Ada berjuta kebaikan dari tutur lisannya, berjuta hikmah dari apa yang diucapkannya. Berjuta keberkahan dari rezeki yang diperolehnya. Darinya generasi dicerdaskan, darinya tunas bangsa terkilaukan. Guru selaksa oase, penghilang dahaga, tentang miskinnya ilmu. Guru laksana lentera, pemberi cahaya atas fakirnya ilmu bagi generasi estafet bangsa.
Kepadanya pendidikan disandarkan, bersinergi dengan peran orangtua. Peran guru menjadi penting demi terwujudnya pendidikan seutuhnya. Iya, pendidikan yang tidak hanya sekedar memoles otak, namun lebih jauh menghias hati dan jiwa. Tan Malaka, pernah berucap “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.” Hal senada juga disampaikan oleh C.S Lewis, beliau mengatakan “Pendidikan tanpa nilai, seberapa bergunanya itu, tampaknya hanya akan menciptakan seorang iblis yang lebih pintar.” Masyaallah, Naudzubillah.
Maka point penting pendidikan adalah terbentuknya karakter, nilai-nilai dan moralitas yang unggul bagi peserta didik. Orientasinya bukan hanya sekadar jasmani material, namun karakter istimewa mental spiritual yang jauh lebih ditekankan. Bukankah kita lebih bangga, saat mendapati siswa terbalut akhlak mulia meski tak terlalu pintar, daripada murid cerdas namun congkak dan sombong!
Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak ada pemberian orangtua yang paling berharga kepada anaknya daripada pendidikan akhlak mulia.” (HR. Bukhari)
Sungguh, Peran guru menjadi vital dalam membentuk karakter siswa. Keberadaan dan kualitas guru tentu saja berdampingan, selaras demi terwujudnya kualitas akhlak siswa. Mengharap siswa berperilaku mulia seharusnya juga diimbangi dengan keteladanan guru yang berkarakter mulia pula. Iya, itulah keteladanan. Memberikan contoh sebelum memerintahkan.
Keteladanan menjadi hal yang sangat penting, dari sanalah kebaikan akan tertular dan berkembang. Tanpa keteladanan, jangan harap munculnya kebaikan. Ki Hajar Dewantara telah mengarisbawakan tentang bagaimana pentingnya keteladanan diimplementasikan. Falsafah pendidikan yang dibangun dengan tiga semboyan yang telah dihembuskan menjadi pilar kekuatan bagi suksesnya guru dalam menjalankan tugasnya.
Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani adalah pengejawantahan seorang pendidik yang berjiwa teladan. Mari kita intip kedalaman maknanya.
Ing Ngarso Sung Tuladha (di depan memberikan contoh), mengisyaratkan bahwa guru harus menampilkan yang terbaik baik tutur maupun tingkah di depan murid-muridnya. Status guru sebagai public figur yang kerap dijadikan contoh mengharuskan guru memberikan tampilan yang terbaik. Jangan salahkan siswa jika jarang mengerjakan tugas, sementara gurunya sendiri kerap melalaikan tugas. Jangan salahkan siswa jika sering datang terlambat, sementara gurunya sendiri kerap telat seperempat. Sadarilah perilaku siswa terkadang cermin dari perilaku gurunya. Apa yang guru tampilkan, menjadi point of reference bagi mereka untuk berbuat. Maka sebelum terlambat, yuk tampilkan yang terbaik agar semuanya selamat!
Apa yang disampaikan guru, seharusnya sudah dilakukan, artinya tak seharusnya guru hanya pandai berucap namun nil diperbuat. Sungguh Tuhan sangat membenci perilaku demikian. Dalam Al Qur’an, Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Allah sangat membenci kalian yang hanya mengatakan sesuatu yang tidak pernah kalian kerjakan.” (QS. Ash Shaff ayat 2-3)
Inilah makna sejatinya teladan. Sosok guru yang bisa dicontoh bagi murid-muridnya. Ibaratnya apa yang ditanam guru akan dituai melalui tampilan perilaku muridnya. Jika yang ditanam baik, maka tentu hasilnya pun akan baik, pun sebaliknya.
Teringat beberapa baris sajak yang pernah ditulis oleh Dorothy Law Nolte dalam Jalaluddin Rakhmat (1996) dalam buku Psikologi Komunikasi, “Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan.”
Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun semangat). Sosok guru haruslah multi talent. Mampu memahami dan menyelami perbedaan setiap karakter siswa. Harus punya beragam trik dan jurus. Peran guru tidak hanya mendidik, namun juga seorang motivator. Kemampuan guru dalam membangun semangat, meletupkan kembali ghiroh siswa tentu saja sangat diperlukan. Menjadi wajib adanya. Itulah, sejatinya makna “Ing Madya Mangun Karsa.”
Ibaratnya iman, terkadang naik ada di puncak menikmati syahdunya bercengkraman dengan Tuhan, namun terkadang pula iman berada di titik terendah, tersungkur dalam kehampaan dan keringnya keintiman dengan sang kekasih-Allah, sebab terbalut dosa dan kemaksiatan. Sama halnya dengan semangat belajar siswa. Terkadang menggelora, menyala-nyala, namun terkadang pula semangat belajar itu mati, berada di titik terendah. Oleh karenanya, guru harus mampu memberikan kestabilan agar semangat belajar itu tetap menyala. Lantas bagaimana caranya? Tentu saja, diperlukan trik dan strategi jitu dari tangan-tangan terampil guru agar kiranya semangat belajar siswa terus menyalah. Upgrade diri, banyak belajar, datangi majlis ilmu agar kompetensi guru makin berkembang.
Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).
Guru tidak hanya cukup menyampaikan, apalagi hanya transfer ilmu. Namun lebih dari itu. Mengantarkan siswa, menemaninya berjalan hingga tercapai apa yang dicita. Bahkan juga memberikan dorongan, doa dan perlindungan dari belakang.
Makna tersirat dari Tut Wuri Handayani adalah tentang totalitas, tanggungjawab dan amanah. Artinya tugas guru, tidak hanya cukup di depan, memberikan materi lalu pulang, atau membimbing mereka lalu ditinggal. Bukan, tentu saja tidak demikian. Masih ada keterikatan tugas guru untuk terus mengawal, mengontrol hingga tuntas tertunaikan. Memastikan anak-anak terlayani dan terfasilitasi dengan baik. Memastikan anak-anak istikamah melakukan pembiasaan baik di rumah dari apa yang telah dirintis di sekolah dengan berkoordinasi pihak orangtua di rumah dan bahkan menghadirkan lantunan doa di sepanjang sujud shalat guru demi tercapainya kesuksesan murid-muridnya.
Teringat apa yang pernah disampaikan oleh Aa Gym, beliau mengatakan, “Kemampuan orangtua mendidik anak ada batasnya. Sedangkan pintu pertolongan Allah tiada terbatas. Maka iringi proses mendidik anak dengan doa.”
Semoga, pendidikan yang terbingkai keteladanan dalam rangka mencerdaskan tunas bangsa dan membangun manusia Indonesia seutuhnya ini mampu mengantarkan mereka (putra-putri) kita menjadi pribadi-pribadi unggul dalam kesalehan iman, kesantunan akhlak, dan kecemerlangan prestasi. Insyaallah.