ABDUL HALIM FATHANI
Pemerhati Pendidikan dan Dosen Pendidikan Matematika Universitas Islam Malang.
MENDISKUSIKAN perihal pendidikan, tidak akan pernah habis. Sampai kapan pun tetap akan menarik, meskipun zaman terus bergerak. Saat ini, kita semua tahu bahwa dunia pendidikan, terutama yang terjadi di sekolah sudah mengalami perubahan (baca: pergeseran) yang luar biasa. Yang paling kelihatan jelas adalah dari aspek manusianya. Sekolah –saat ini- diisi oleh manusia-manusia lintas generasi.
Sebagaimana yang ditulis Sumardianta & Kris AW (2018:5) dalam bukunya ‘Mendidik Generasi Z & A’, ditegaskan bahwa, manusia lintas generasi tersebut, terjadi pada diri seorang guru maupun siswa. Dari sisi guru, ada guru dari kelompok generasi Baby Boomers dan X. Sedangkan dari sisi siswa, ada siswa dari kelompok generasi Y dan Z. Para guru dengan gaya digital immigrantnya diharapkan mampu berbaur dengan para siswa yang bergaya digital native.
Untuk menghadapi kenyataan itu semua, hanya ada satu kata kunci untuk solusinya. Yakni, terus berubah dan belajar. Atau dengan kata lain harus selalu melakukan inovasi. Inovasi yang berbekal kreativitas. Hal ini mengikuti hadits nabi SAW, “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”.
Dari hadits di atas, ada dua poin penting yang harus menjadi pegangan, baik bagi guru maupun siswa. Pertama: seorang guru harus memiliki paradigma bahwa ilmu terus berkembang, zaman terus berubah. Dinamis. Oleh karena itu, ilmu yang diajarkan ke siswa haruslah ilmu yang up to date, seiring dengan perubahan zamannya. Termasuk cara mengajarnya. Lebih menarik lagi, jika guru memberikan ‘alat’ kepada siswa, sehingga siswa memiliki pegangan yang kuat untuk mengarungi hidupnya di zaman-zaman berikutnya.
Poin kedua: seorang siswa harus sadar bahwa ilmu yang dipelajari sekarang, merupakan bekal untuk hidup di masa mendatang. Artinya, ilmu yang sudah dipelajari itu bukanlah ilmu yang statis, namun akan terus berkembang. Oleh karena itu, siswa harus memiliki alat untuk mengembangkannya itu.
Kedua poin tersebut, menggariskan kepada kita semua, baik guru maupun siswa, teruslah bergerak, teruslah belajar, terus melakukan inovasi. Masing-masing guru dan siswa harus mengenali dirinya masing-masing. Harus tahu diri. Tahu diri bagaimana? Harus tahu diri, sekarang ini ‘saya’ termasuk kelompok generasi apa? Lalu, sekarang ini zaman apa? Hal ini harus dipahami oleh guru maupun siswa.
Lalu bagaimana kita memperlakukan siswa? Terkait hal ini,kita dapat merujuk apa yang dikatakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA, bahwa ada tiga pengelompokan dalam cara memperlakukan anak, yakni: Pertama, Kelompok 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun), diperlakukan anak sebagai raja, Kedua, Kelompok 7 tahun kedua (usia 8-14 tahun), diperlakukan anak sebagai tawanan, dan Ketiga Kelompok 7 tahun ketiga (usia 15-21 tahun), diperlakukan anak sebagai shahabat. Ini memperlakukan anak dari sisi umur. Dan, masih banyak cara pandang lainnya.
Jika guru dan siswa sudah menyadari posisi dan peran masing-masing, penulis yakin masa depan Indonesia akan lebih baik. Paling tidak, sumber daya manusia (SDM) nya dapat diandalkan dan diunggulkan. Karena, masing-masing individu sudah menyadari posisi dan perannya masing-masing.
Walhasil, pendidikan (baca: sekolah) juga harus mampu ‘memfasilitasi’ kepada guru dan siswanya untuk ‘terus bergerak dan berubah’, seiring dengan perkembangan zaman. Individunya bergerak, lembaganya juga harus ikut bergerak. Sekali lagi, kata kuncinya: Belajar, Bergerak, Berubah. Jadi,, mari menjadi generasi yang istiqomah. Istiqomah untuk belajar. [ahf]
Sumber gambar: https://assets.digination.id/crop/367×377:4427×3488/x/photo/2018/09/18/1961339056.jpg