PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI RELIGIUS

0
5009

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI RELIGIUS

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro*

 

A. Pentingnya Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter selalu digaungkan oleh dunia pendidikan kita, tetapi nyatanya karakter menjadi masalah besar dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan karakter di sistem pendidikan bangsa Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Istilah karakter dalam budaya bangsa Indonesia mungkin lebih dikenal dengan istilah budi pekerti, adab, sopan santun, nilai-nilai kehidupan, kecakapan hidup, dan lain sebagainya. Di kurikulum-kurikulum terdahulu, dikenal mata pelajaran budi pekerti. Mata pelajaran budi pekerti inilah sebenarnya yang sekarang dikenal sebagai pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut saya harus diajarkan di semua mata pelajaran dan oleh semua guru. Pendidikan karakter tidak hanya tugas guru agama ataupun guru Pkn saja. Pembentukan karakter siswa di sekolah menjadi tugas dan tanggung jawab setiap guru kelas (SD/MI) dan guru mata pelajaran. Tanggung jawab mencetak generasi ber-adab (berkarakter) adalah berada di pundak seluruh civitas akademik. Oleh karena itu, pendidikan karakter memang harus menjadi bagian penting dalam kurikulum pendidikan kita.

Permasalahan yang muncul kemudian adalah adanya fenomena degradasi moral di kalangan anak muda dan fenomena maraknya tindak korupsi di berbagai level birokrasi. Memang paling mudah untuk dijadikan kambing hitam adalah dunia pendidikan, karena dunia pendidikan yang paling dekat keterkaitannya dengan kualitas lulusan yang dihasilkan. Oleh karena itu, isu-isu tentang degradasi moral dan korupsi menjadi topik menarik dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Untuk membenahi fenomena merosotnya karakter generasi sekarang yang dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap laju pembangunan dan upaya peningkatan kualitas manusia bangsa ini, maka penanaman karakter-karakter yang baik harus mendapat proporsi terbesar dalam kurikulum pendidikan kita. Karakter-karakter yang baik harus dibiasakan dalam diri di setiap siswa. Untuk mendukung program penanaman karakter ini, seluruh pihak yang terkait pendidikan harus terlibat, baik guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, lingkungan sekolah, dan terpenting adalah peran orang tua. Pembiasaan karakter-karakter yang baik tidak dapat dibisa dibebankan hanya kepada pihak sekolah, tetapi orang tua juga harus mendukung program-program pembiasaan karakter baik (akhlakul karimah) oleh sekolah dengan menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif bagi pembiasaan karakter akhlakul karimah dan menjalin komunikasi yang baik antara orang tua dan anak.

Program penanaman dan pembiasaan karakter melalui program pendidikan karakter harus didesain secara komprehensif. Dimulai dari penyusunan roadmap pendidikan karakter, langkah-langkah penanaman karakter, strategi imlementasi pendidikan karakter dan bagaimana penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif untuk pembiasaan karakter yang baik. Selain itu harus adanya komitmen dari seluruh stakeholder untuk ikut mensukseskan program pendidikan karakter dan perlunya disusun kurikulum yang lengkap tentang pendidikan karakter.

Hal terpenting adalah penyusunan panduan implementasi pendidikan karakter di semua mata pelajaran dan panduan bagaimana cara guru mengajarkan pendidikan karakter pada di mata pelajarannya masing-masing. Tanpa tersedianya buku panduan implementasi pendidikan karakter tersebut, maka program pendidikan karakter akan sulit berhasil, karena guru tidak tahu bagaimana cara mereka akan mengajarkan pendidikan karakter tersebut. Tanpa tersedianya buku panduan pendidikan karakter di setiap mata pelajaran, guru pasti kesulitan dan kebingungan apa yang harus mereka ajarkan dan bagaimana metode/strategi mengajarkannya. Oleh karena itu, upaya penyusunan buku panduan pendidikan karakter di semua mata pelajaran adalah hal yang wajib dilakukan jika menginginkan program pendidikan karakter berjalan dengan baik sukses. Hal ini berarti tanpa kurikulum pendidikan karakter, guru tidak memiliki pedoman bagaimana mengajarkan pendidikan karakter (Ibaratnya kalau guru tidak memiliki kurikulum pendidikan karakter, bagaimana cara guru mengajarkan pendidikan karakter?) Di sinilah pentingnya dokumen kurikulum pendidikan karakter dan buku panduan implementasi pendidikan karakter di semua mata pelajaran. Saya kira, buku semacam itu masih jarang sekali dan bahkan mungkin belum ada (belum disusun oleh pemerintah). Tanpa tersedianya dokumen-dokumen penting tersebut, saya kira program pendidikan karakter di negeri ini hanya sebatas wacana dan retorika belaka.

Terkait fenomena maraknya pejabat pemerintah yang terjaring operasi OTT KPK menunjukkan “budaya” korupsi di negeri ini sudah menjamur dan mengakar di seluruh lini kehidupan. Untuk melihat bagaimana tindakan korupsi di negeri ini sudah menjadi “sesuatu yang biasa”, kita tengok di tingkat rakyat kecil dulu. Kalau di tingkat pejabat-pejabat tinggi terjadinya korupsi sudah diketahui semua orang, tapi apakah masyarakat bawah juga menyadari bahwa mereka juga bagian dari tindak korupsi? Kita lihat fenomena juru parkir (dilakukan rakyat kecil) di beberapa tempat wisata atau mal-mal besar. Apakah biaya parkir yang diminta oleh juru parkir sesuai degan tarif resmi yang tercetak di tiket/karcis parkir? Sepengetahuan dan sepengalaman saya tidak sama, biaya parkir yang diminta lebih besar dari tarif yang ditetapkan perda, dapat sampai dua kali lipat dari tarif resmi. Inilah contoh korupsi nyata yang dilakukan rakyat kecil dan fenomena ini sudah menjadi kebiasaan dan dianggap hal biasa. Para juru parkir mungkin tidak merasa bahwa mereka telah melakukan korupsi. Itulah contoh riil bagaimana budaya korupsi telah mewabah ke seluruh tingkat kehidupan di negeri ini, dari rakyat bawah sampai para pejabat tinggi di pemerintahan (birokrasi).

Untuk menghapus budaya korupsi di negeri ini, selain penegakan jalur hukum ditingkatkan, maka melalui jalur pendidikan juga harus dilakukan. Dalam jalur pendidikan, pencegahan tindak korupsi tidak cukup dengan sosialisasi bahwa korupsi itu melanggar hukum, tetapi harus sampai bagaimana menyadarkan para siswa bahwa korupsi itu adalah sama dengan mencuri. Mencuri adalah perilaku yang tidak terpuji dan tidak disukai (dibenci) Allah Swt. Korupsi atau mencuri adalah tindakan tercela, karena melanggar hak orang lain, dan melanggar hukum.

Pencegahan tindak korupsi harus dibangun dari penyadaran diri para siswa bahwa melakukan korupsi itu adalah termasuk dosa. Selain itu, juga perlu ditanamkan pada diri setiap siswa bagaimana bahwa mereka harus memiliki rasa malu jika melakukan tindakan tercela, seperti korupsi atau mencuri misalnya. Intinya adalah bagaimana di sekolah maupun di keluarga ditanamkan rasa malu untuk melakukan tindakan/perbuatan tidak terpuji. Jadi perlunya kembali digaungkan hadis Rasulullah Saw : Al Hayaau minal iimaan yang artinya malu itu sebagian dari iman, artinya adalah indikator seseorang yang beriman itu adalah malu jika melakukan perbuatan yang tidak disukai Allah Swt. dan dapat mengotori hati (jiwa/rohani). Jadi di dunia pendidikan harus dibangkitkan rasa malu berbuat kejahatan/tindak tercela/perbuatan merugikan orang lain, dan lain-lain karakter buruk lainnya pada diri setiap siswa. Langkah menghidupkan rasa malu pada setiap diri siswa ini menjadi tanggung jawab setiap guru mata pelajaran di bawah koordinasi yang dikoordinir oleh Kepala Sekolah.

 

B. Malu Sebagai Pondasi Penanaman Karakter Religius

Setiap orang diberikan rasa malu oleh Allah Swt. Melalui perasaan malu tersebut diharapkan manusia dapat menjaga dirinya dari melakukan tindakan/perbuatan yang dapat merendahkan martabat atau harga dirinya. Maka dalam kehidupan sehari-hari berlaku norma-norma di masyarakat yang berbasis rasa malu dan berlakunya sanksi sosial bagi anggota masyarakat yang melakukan perbuatan tercela (melanggar norma kemasyarakatan) agar pelaku malu dan tidak mengulangi lagi perbuatan tercelanya.

Dalam sebuah hadits, Imran bin Husain r.a. ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, Al hayaau laa ya’tii illa bi khair” (HR. Muttafaq ‘alaih) yang artinya “Rasa malu itu dapat mendatangkan kebaikan” (HR. Muttafaq ‘alaih). Di hadis lain, Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, Al hayaau minal iimaan (HR. Muttafaq ‘alaih) yang artinya “Malu itu sebagian dari iman” (HR. Muttafaq ‘alaih).  Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat memperhatikan rasa malu. Bahkan dari hadits kedua tersebut, tampak jelas bahwa rasa malu itu menduduki posisi yang sangat tinggi dalam pokok-pokok ajaran agama Islam sehingga sampai Rasulullah Saw mengatakan bahwa rasa malu itu sebagian dari iman.

Mungkin di antara kita pernah bertanya, apakah orang-orang zaman sekarang ini masih memiliki rasa malu di dirinya? Tindak korupsi oleh para koruptor di negara kita masih meraja lela. Apakah para koruptor itu tidak memiliki rasa malu? Tindak kriminalitas juga masih sering terjadi. Apakah para pelaku kriminilitas tidak memiliki rasa malu? Dan pertanyaan lain terkait kejadian sehari-hari di masyarakat.

Menurut pendapat penulis, semua pelaku tindak kejahatan (kurupsi maupun kriminal) masih memiliki rasa malu pada dirinya. Buktinya adalah mereka melakukan tindak kejahatan secara diam-diam (terselubung) agar tidak diketahui orang lain. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa mereka melakukan tindak kejahatan secara sembunyi-sembunyi karena takut diketahui aparat penegak hukum dan dikenai hukuman.

Sebagaimana pernyataan penulis di atas bahwa para pelaku tindak kejahatan tersebut pada dasarnya masih memiliki rasa malu. Mungkin para koruptor itu tidak jujur pada keluarganya kalau uang yang diperolehnya adalah hasil dari korupsi. Sikap tidak jujur tersebut dilakukan karena malu pada keluarganya kalau mereka sampai mengetahui bahwa uang yang dibawa pulang adalah uang haram. Begitu juga para pelaku kriminalitas mungkin tidak jauh berbeda. Kalau pelaku tindak kejahatan masih memiliki rasa malu, mengapa mereka tetap masih melakukan tindakan kejahatan? Inilah permasalahan yang akan penulis ulas dalam artikel ini. Mengapa orang yang malu melakukan kejahatan tapi tetap melakukan kejahatan?

Menurut pandangan penulis, terdapat setidaknya tiga faktor penyebab mengapa seseorang yang malu kalau ketahuan melakukan tindak kejahatan tetapi tetap nekat melakukan tindak kejahatan dengan sembunyi-sembunyi. Faktor yang pertama adalah karena mereka (para pelaku kejahatan)  sudah tidak beriman kepada Allah Swt.. Mengapa dikatakan bahwa mereka sudah tidak beriman kepada Allah Swt., padahal mereka mendirikan shalat, mengerjakan puasa Ramadhan, membayar zakat, dan bahkan sebagian pelakunya pernah menjalankan ibadah haji? Iya, karena pada waktu mereka melakukan tindak kejahatan dengan sembunyi-sembunyi itulah iman mereka telah hilang. Tidak mungkin seseorang itu beriman kepada Allah Swt., percaya bahwa Allah Swt. melihat perbuatannya tetapi saat itu juga ia melakukan tindak kejahatan.

Para pelaku tindak kejahatan mungkin beranggapan bahwa melakukan tindak kejahatan kalau tidak ketahuan tidak apa-apa. Pemikiran seperti ini hanya mungkin dimiliki oleh orang yang tidak beriman (percaya) pada Allah Swt. Kalau orang tersebut benar-benar beriman kepada Allah Swt. pasti tidak akan berpikiran seperti itu karena tidak mungkin ada satu perbuatan pun yang bisa lepas dari penglihatan Allah Swt.. Tidak mungkin ada satu perbiuatan pun yang tidak diketahui oleh Allah Swt. Allah Swt. adalah Tuhan yang Maha Melihat lagi Maha Mengetahui. Ingat firman Allah Swt.

“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya” (QS. Az-zalzalah [99]: 7-8).

Faktor kedua penyebab pelaku tindak kejahatan melakukan aksinya dengan sembunyi-sembunyi adalah karena mereka “salah” dalam menempatkan rasa malunya. Mereka salah menujukan rasa malunya pada sesama manusia. Seharusnya rasa malu itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Melihat lagi Maha Mengetahui, yaitu Allah Swt. Seandainya mereka (pelaku kejahatan) menunjukkan rasa malu mereka kepada Allah Swt., maka niscaya mereka tidak akan berani melakukan tindak kejahatan apapun walau tidak dilihat orang lain, tetapi mereka yakin kalau Allah Swt. pasti melihatnya. Sikap “waskat” (pengawasan melekat) atas diri sendiri itu menjadi sangat penting. Dengan adanya perasaan selalu diawasi oleh Allah Swt., maka setiap orang tidak akan melakukan tindakan kejahatan.

Faktor ketiga adalah karena para pelaku kejahatan tersebut sudah tidak menginginkan status “mulia” di mata Allah Swt.. Bagi para pelaku kejahatan mungkin “kemuliaan hidup” itu hanya omong kosong belaka. Bagi mereka yang terpenting dalam kehidupan adalah harta benda dan kekayaan, sedangkan status mulia tidak akan membawa ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan. Status mulia sudah tidak penting lagi bagi mereka. Fenomena inilah yang mungkin sekarang sedang trend dan menjadi wabah penyakit masyarakat. Penyakit tidak butuh kemuliaan inilah yang mungkin sekarang mulai menjangkiti manusia-manusia di zaman sekarang ini. Sisi spiritualitas orang-orang zaman sekarang sudah mulai luntur, sedangkan sisi materialistik mulai mendominasi. Sisi kelembutan hati sudah mulai hilang dari hati orang-orang zaman sekarang, sedangkan sisi kekerasan  hati lebih mendominasi. Jiwa-jiwa yang kering akan siraman rohani, spiritualitas dan kelembutan hati mulai menjamur di seluruh penjuru dunia. Semuanya ini karena begitu kuatnya pengaruh dunia materistik terhadap jiwa para penghuni bumi ini.

Coba kita ingat kembali bagaimana ibadahnya Rasulullah Saw. Rasulullah Saw sudah mendapat jaminan dari Allah Swt. bahwa beliau kelak akan dimasukkan ke surga-Nya. Walau mengetahui adanya jaminan tersebut, apakah kemudian Rasulullah Saw kendur dan malas-malasan dalam beribadah? Ternyata tidak, tetapi sebaliknya Rasulullah Saw malah semakin serius dalam menjalankan ibadah. Diceritakan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Saw menjalankan shalat malam sampai kaki beliau bengkak. Ketika ditanya Aisyah r.a., “Ya Rasulullah, mengapa engkau beribadah sampai seperti itu? Maka Rasulullah Saw menjawab, “Aku ingin menjadi seorang hamba yang bersyukur”. Demikianlah sikap Rasulullah Saw dalam menanggapi adanya jaminan beliau pasti masuk surga.  Jaminan tersebut bukannya membuat beliau sombong dan congkak, tetapi justru membuat beliau semakin malu kepada Allah Swt. atas kemurahan rahmat-Nya tersebut dan berusaha memantaskan diri di hadapan Allah Swt. kelak dengan menjalankan ibadah sebaik mungkin yang mampu dilakukan. Demikianlah sikap Rasulullah Muhammad Saw, seorang Nabi sekaligus Rasul yang memliki jiwa yang sangat lembut. Beliau malu jika tidak bisa menjadi seorang hamba yang bersyukur.

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa hadits “malu itu sebagian dari iman” adalah masih berlaku dan sangat relevan di zaman sekarang ini. Justru isi hadis tersebut harus disosialisasikan dengan lebih gencar agar oarng-orang zaman sekarang memiliki rasa malu kepada sang Maha Melihat, bukan hanya rasa malu kepada sesama manusia. Pentingnya memiliki rasa malu kepada Allah Swt. perlu di-viral-kan agar orang tidak melakukan tindak kejahatan hanya karena takut dihukum (penjara), tetapi lebih karena alasan malu kepada Allah Swt., malu kalau tidak mendapat predikat mulia di hadapan Allah Swt., malu kalau jiwanya terkotori oleh sifat-sifat duniawi. Melalui membangunkan kembali rasa malu kepada Allah Swt. tersebut dan berlomba-lomba meraih predikat mulia di pandangan Allah Swt., insyaAllah tindak kejahatan di dunia ini akan berkurang dan kebaikan akan mewarnai seluruh penjuru kehidupan ini.

 

C. Beberapa Saran Perbaikan Sistem Penilaian Hasil Belajar di Sekolah

Sistem penilaian hasil belajar di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik. Sistem penilaian hasil belajar yang saat ini dijalankan sudah menilai aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan (keterampilan proses sains dan psikomotorik). Namun, masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam sistem penilaian pendidikan di Indonesia, yakni :

  1. Penilaian aspek pengetahuan (kognitif) belum banyak mengarah ke HOTS (Higher Ordered Thinking Skills). Kalau dilihat di dokumen kurikulum, tingkat kognitif tertinggi adalah analisis (C4). Sedangkan mengevaluasi (C5) dan mencipta/create (C6) tidak tertulis di dokumen kurikulum. Walaupun sekarang ada edaran Mendikbud untuk menggunakan soal HOTS dalam soal-soal tes, tetapi kalau tidak diformalkan dalam dokumen kurikulum, maka edaran tersebut terkesan setengah-setengah. Jadi kalau guru memberikan soal pada tes ulangan harian level HOTS (C4, C5, C6), sementara tuntutan kurikulum hanya sampai C4, maka di sinilah kontradiksi terjadi. Jadi kalau guru memberikan soal tes tidak sesuai tuntutan kurikulum resmi, berarti guru telah menyalahi kurikulum. Beda kasus kalau soal tes tersebut untuk lomba, seperti soal olimpiade.
  2. Penilaian sikap yang harusnya dilakukan oleh setiap guru mata pelajaran sekarang malah hanya dibebankan kepada guru agama dan guru PKn. Kebijakan ini sepertinya berangkat dari kesulitan teknis penilaian yang merepotkan guru. Penyebab lainnya menurut saya adalah guru kesulitan menilai sikap religius maupun sikap sosial. Dampak dari kebijakan pengalihan tugas menilai sikap ke guru agama dan guru PKn adalah guru-guru mata pelajaran lainnya tidak mengajarkan pendidikan sikap atau pendidikan karakter (mengajarkan tetapi indirect learning yang bersifat tidak wajib). Saya kira guru justru akan merasa terbebas dari tanggung jawab mengajarkan karakter (sikap), karena tidak dituntut untuk menilainya. Oleh karena itu, menurut saya kebijakan ini adalah sebuah kemunduran. Sementara negara tetangga, yakni Singapura justru mulai tahun 2019 akan menerapkan kurikulum baru tentang pendidikan karakter yang terintegrasi dalam setiap mata pelajaran. Di sinilah letak kesalahan dan kemunduran dari kebijakan pengalihan tugas penilaian sikap (yang tentu berdampak pada tugas pembelajaran) dari setiap guru mata pelajaran hanya kepada guru agama dan PKn.
  3. Fenomena kesulitan menilai sikap religius dan sikap sosial oleh guru yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengurangan beban menilai aspek sikap oleh guru mata pelajaran harusnya tidak terjadi. Sulit dinilai bukan berarti dimaknai tidak dapat diajarkan dan dihilangkan dari tuntutan kurikulum. Berbeda halnya kalau para guru kesulitan menilai aspek sikap atau karakter (dan tentunya juga kesulitan mengajarkan pendidikan karakter) lebih karena disebabkan belum tersedianya panduan bagaimana mengajarkan sikap/karakter dan bagaimana menilai sikap/karakter secara sederhana simpel di setiap mata pelajaran. Jadi seharusnya tindakan pemerintah (Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan) adalah membuatkan panduan pendidikan karakter untuk setiap mata pelajaran dan panduan penilaian karakter untuk setiap mata pelajaran, bukan malah mengalihkan melimpahkan tugas penilaian hanya kepada guru mata pelajaran tertentu lain. Mengapa langkah pemerintah tersebut tidak tepat? Karena karakter yang dapat diajarkan di setiap mata pelajaran dapat berbeda-beda dan unik, sesuai karakteristik mata pelajaran. Karakter/sikap dari sebagai dampak pembelajaran mata pelajaran kimia, seharusnya tidak dapat dinilai oleh guru agama maupun guru PKn, apalagi mengajarkan nilai-nilai karakter yang karakteristik sesuai materi kimia.

Untuk membenahi kelemahan dan kekurangan dari sistem penilaian pendidikan kita dapat dimulai dari perbaikan kurikulum terkait HOTS dan penyusunan dokumen penilaian yang spesifik dan sesuai dengan karakteristik untuk setiap mata pelajaran. Terkhusus adalah panduan pengajaran sikap/karakter dan panduan penilaiannya sesuai karakteristik mata pelajaran. Langkah berikutnya adalah sosialisasi dan pelatihan serta monitoring implementasi pendidikan karakter di setiap mata pelajaran. Harus ada skema monitoring kemajuan implementasi pendidikan karakter di setiap mata pelajaran. Untuk mendukung kesuksesan program pembenahan pendidikan karakter tersebut, perlu tersedianya buku-buku pendamping buku pelajaran yang berisi panduan bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran mata pelajaran [].

 

_________________________________

*Dosen, Penulis Buku dan Pegiat literasi di Universitas Sebelas Maret (UNS)

*Mahasiswa Program Studi S3-Pendidikan Kimia PPs Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here