Siapa yang tidak pernah merasakan malas? Setiap orang pernah merasakannya. Dalam ibadah, bekerja, dan segala hal yang kita lakukan. Bahkan dalam pekerjaan yang kita sendiri mempunyai passion di dalamnya. Malas merupakan sifat lumrah dari seorang makhluk dengan sebutan ‘manusia’.
Lebih rinci lagi, dalam menulis pun, bagi seorang penulis atau mahasiswa yang memang pekerjaannya adalah menulis, tetap saja perasaan itu muncul. Meski kadang kala.
Nah, untuk mengusir rasa malas itu, tentu setiap orang mempunyai tips. Dalam kasus Penulis sendiri, ketika dalam kondisi demikian, sering saya mengembalikan kepada niat menulis itu sendiri; untuk apa dan siapa sebenarnya kita menulis?
Ketika kita menulis demi meraih nilai A, sebagai contoh, maka ketika nilai tersebut didapat, sangat boleh jadi kita tidak akan menulis lagi. Sebab, tujuan sudah tercapai. Ketika kita menulis hanya untuk menyebarkan kebencian, ketika kebencian sudah menyeruak, maka selesai menulis tersebut. Menulis yang dimaksudkan hanya untuk diperhatikan oleh seseorang, ketika orang tersebut sudah memerhatikan kita, maka aktivitas menulis itu berhenti.
Seorang yang menulis karena ada tugas yang harus disetorkan pun akan merasa hilang semangat ketika menghadapi kenyataan bahwa, misalkan, tugas itu akan diawasi oleh saudaranya sendiri. Artinya, tugas menulis itu tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan dan menantang baginya.
Atau bahkan sebaliknya, dalam keempat contoh kondisi tersebut, justru kita semakin semangat menulis. Karena merasa berhasil dan ingin mengulang keberhasilan itu. Namun tetap ada kalanya muncul rasa malas, karena “gitu-gitu aja”. Karena tujuannya sudah terlihat, tercapai. Atau karena sudah tidak muncul kerisauan ketika keempat hal tersebut tidak kita lakukan. Ketika itu, maka aktivitas menulis itu menjadi berhenti sama sekali.
Pada titik ini, kita sesungguhnya memerlukan sebuah tujuan yang jauh lebih menantang. Yang tidak akan pernah selesai bahkan sepanjang hidup kita di dunia ini. Di sinilah saya melihat betapa pentingnya doktrin Islam bahwa Allah Swt itu ghaib. Tidak kasat oleh mata. Artinya, Tuhan seorang Muslim sama sekali tidak bisa dilihat oleh mata telanjang. Dia baru bisa dilihat ketika di akhirat nanti. Konsekuensinya; tujuan hidup seorang Muslim itu panjang sekali. Tidak hanya di dunia ini. Di sepanjang hidupnya, dia akan terus berusaha. Karena memang tujuannya belum dan tidak akan sepenuhnya tercapai di dunia ini saja.
Paradigma semacam ini akan menjadikan seorang Muslim selalu semangat karena merasa tujuan puncaknya masih belum tercapai; ila rabbiha nadhirah, yaitu melihat dan menggapai ridha-Nya. Berbuat sesuatu dengan maksud menyenangkan orang bisa membahagiakan kita. Bisa juga mengecewakan kita. Disebutkan ridha al-nas ghayatun la tudrak. Betapa pun baik kita, tetap saja kita tidak akan mampu membahagiakan setiap orang.
Karena itu, meniatkan pekerjaan kita untuk membahagian orang tentu sah sah. Dan memang itu dianjurkan. Namun, itu semua harus kita letakkan dalam bingkai besar yang inti dan puncaknya adalah ibtigha’i mardhatillah.
Lalu bagaimana mekanisme yang disediakan Allah Swt agar manusia senantiasa menggantungkan tujuan hidupnya hanya kepada-Nya?
Dalam perenungan saya, fakta atas keghaiban-Nya barang kali menjadi jawaban pertanyaan tersebut. Andaikan Dia kasat oleh mata kita, maka betapa lemahnya Dia. Orang akan berjingkat-jingkat mencari celah bagaimana agar tidak ketahuan tidak shalat subuh. Pun betapa kita akan melihat jutaan orang meluber di jalanan hanya untuk sowan kepada-Nya. Hanya untuk bisa dilihat-Nya. Mungkin fikiran kita akan mengatakan; bukankah Dia bisa pakai CCTV sebagaimana yang terjadi sekarang? Tapi serta merta argumen itu diruntuhkan dengan fakta bahwa teknologi pun ada batasnya; bagaimana kalau pasokan energi terhenti?
Keghaiban Gusti Allah mengajarkan manusia untuk menjadi hamba yang otentik – meminjam istilah alm Prof Syafii Maarif. Seorang menulis karena memang bertujuan utama untuk mencerahkan umatnya. Yang prosesnya tidak akan tercapai hanya dalam satu malam perenungan atau satu minggu bersemedi. Namun ia perjalanan intelektual yang panjang. Dengan menyadari itu, maka ia tidak akan mudah kehilangan energi. Tidak lekas putus asa.
Di sini, saya selalu ingat pesan Prof Ahmed Mabrouk dalam satu kelasnya di IIUM (International Islamic University Malaysia). Pakar komputer, ekonomi Islam, dan fiqh al-ibadah asal Mesir itu menjelaskan betapa penting iman kepada yang ghaib. Malam itu, di salah satu ruangan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, beliau menjelaskan 5 ayat pertama surat al-Baqarah. Ketika penjelasan sampai pada ayat ke-3, alladzina yu’minuna bi al-ghayb, saya tersadar bahwa iman kepada yang ghaib di situ, yang merupakan tanda pertama seorang muttaqin, adalah berarti juga larangan terhadap paham materialisme. Seorang Muslim sejati bukanlah seorang materialis atau positivis yang hanya melihat sesuatu dari bentuk luarnya. Senada dengan spirit moderasi Islam, seorang Muslim sejati adalah mereka yang mampu menggabungkan antara substansi dan materi. Antara teks dan realita. Antara seorang subtansialis dan positivis. Wallahu A’lam.