Potensi Berliterasi bagi Perempuan

0
413

Oleh: M. Arfan Mu’ammar

Kantor saya berada di gedung lantai 4, di setiap lantai ada petugas cleaning service yang membersihkan. Nama petugas kebersihan yang ada di lantai 4 tempat kerja saya bernama mbak Wati. Ia sampai kampus jam 07.00 WIB, langsung membersihkan 4 kantor yang ada di lantai itu. Kantor Fakultas Hukum, Fakultas Agama Islam, Fakultas Psikologi dan kantor Pascasarjana.

Dalam waktu 1 jam (07.00-08.00) ia harus menyelesaikan pembersihkan 4 kantor tersebut, paling lambat ya pukul 08.30 WIB. Karena para karyawan mulai masuk kantor kisaran pukul 08.00-08.30 WIB.

Setelah membersihkan kantor, ia melanjutkan membersihkan kamar mandi, halaman depan kantor dan lain-lain. Mbak Wati selesai mengerjakan semua pekerjaannya sekitar jam 10.00 WIB. Setelah itu ia duduk di dekat tangga belakang gedung. Tangga itu dekat dengan kamar mandi.

Setiap orang yang akan ke kamar mandi tentu melewati mbak Wati. Saya amati ia hanya bermain HP sejak jam 10.00 hingga sore. Di sore hari, setelah para karyawan pulang, ia baru kembali bersih-bersih.

Ada waktu sekitar 5 jam yang digunakan mbak Wati hanya untuk bermain di HP. Tidak jelas apa yang dilakukan di HPnya. Mungkin seperti orang pada umumnya, menonton video di Youtube, melihat IG story, membaca status di Facebook, bermain game dan seterusnya.

Waktu terbuang sia-sia. Saya membayangkan seandainya dalam waktu 5 jam itu ia gunakan untuk kegiatan berliterasi. Anggaplah 3 jam saja, karena yang 2 jam mungkin digunakan untuk istirahat, salat dan makan.

Maka 3 jam setiap hari akan sangat bermakna. 1,5 jam bisa digunakan untuk membaca dan 1,5 jam bisa digunakan untuk menulis. Walaupun sekedar cleaning service, saya rasa banyak buku ringan yang bisa dibaca, seperti novel dan buku-buku motivasi.

Begitu juga dengan menulis. Banyak aktivitas atau kejadian yang bisa ditulis dari pengamatan sehari-hari. Contohnya saja tulisan ini, hanya bermula dari pengamatan saya dan kegelisahan yang saya amati setiap hari.

Bukan hanya mbak Wati, para perempuan lain yang tidak bekerja, just stay at home, bisa memanfaatkan waktu luang untuk berliterasi.

Saya tidak mengatakan bahwa ibu rumah tangga tidak memiliki banyak pekerjaan. Tetapi tentu ada jeda dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Apalagi para istri yang sudah disupport suami dengan pembantu rumah tangga, tentu pekerjaan rumah tangga akan menjadi lebih ringan.

Daripada menghabiskan waktu berjam-jam untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, maka sebaiknya para ibu rumah tangga memanfaatkan waktu luang tersebut untuk membaca dan menulis.

Saya kira kisah Kartini cukup menjadi inspirasi bagi para perempuan, dalam keadaan terhimpit masih menyempatkan waktu untuk membaca dan menulis, dengan kondisi lingkungan yang waktu itu sangat tidak mendukung bagi perempuan untuk berpendidikan. Sangat berbeda dengan saat ini, lingkungan sangat mendukung para perempuan untuk berpendidikan setinggi-tingginya.

Seandainya Kartini waktu itu tidak menulis, tidak berkorespondensi dengan temannya Belanda tentang ketertindasannya di Jawa, mungkin kita tidak akan mengenalnya seperti sekarang ini.

Kartini jangan hanya dicontoh dari emansipasinya dalam perannya di ruang publik saja, tetapi mencontoh Kartini dari kegemarannya dalam membaca juga mengungkapkan gagasan.

Para wanita bisa menulis emansipasi dalam perspektif Islam misalnya. Apakah memang derajat wanita dengan laki-laki betul setara sebagaimana yang disuarakan oleh para pejuang feminis? Atau setara yang bagaimana menurut Islam?

Saya rasa banyak sekali hal-hal yang bisa ditulis oleh para wanita, apalagi wanita-wanita yang memiliki banyak waktu, agar waktu tidak terbuang begitu saja, membicarakan sesuatu yang tidak penting.

Saya punya saudara, wanita karier, ia sebagai ASN, ia rajin menulis, tetapi tulisannya tidak dipublish. Ada tulisannya yang menarik, yaitu ia menulis tentang perkembangan buah hatinya, hari demi hari, bulan demi bulan. Setiap ada perkembangan pada anak balitanya selalu ia tulis. Bisa tengkurap, bisa mengangkat leher, bisa tersenyum, bisa jalan dan seterusnya.

Saya tidak tahu sampai usia berapa ia mencatat perkembangan anaknya. Yang jelas catatan itu kini ia kumpulkan menjadi sebuah buku sederhana, lalu diberikan kepada anaknya yang saat ini sudah beranjak dewasa. Buku itu lalu diberi judul “who am i?”.

Anak kecil itu saat ini tumbuh menjadi perempuan yang cantik, pintar dan juga punya kegemaran menulis seperti ibunya. Dengan kesibukan mendidik tiga buah hati, ia masih sempat meneruskan studi di jenjang akademik tertinggi yaitu S3 di perguruan tinggi negeri di Surabaya. Perempuan cantik itu juga aktif di beberapa komunitas menulis, baik sebagai anggota maupun pengurus.

Perempuan sekali lagi, sejatinya sangat akrab dengan literasi, banyak hal yang bisa ditulis oleh perempuan.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here