Oleh: Rita Audriyanti
Langit senja berawan, membuat bumi seperti berwarna perak.
Dari lantai dua puluh satu, pandanganku terlempar ke luar. Menembus tirai halus dengan batas kaca bening.
Tanganku menggapai.
Tak sampai.
Bangunan-bangunan kokoh bertingkat megah di hadapan, diam membisu.
Hanya sapaan kerlipnya seolah menyapa aku yang sendirian.
Aku memberi senyum dan mengucap “Selamat petang, wahai kawan”.
Dibelai dalam alunan suara layar monitor dan temaran cahaya ruang.
Dan dinding-dinding kecoklatan berpadu padan warna cair, seolah melimpah aura cinta dalam lompatan gelembung-gelembng hati.
Jiwaku dipenuhi oleh kesyukuran tiada tara.
Dalam kesendirianku ini, sesungguhnya aku tidak sendiri.
Jagadku dipenuhi berbagai bintang, bunga dan aneka kupu-kupu.
Aku menari-nari, berjinjit kaki, gemulai bersama irama hati yang ceria.
Aku dalam pelukan bahagia.
Suka cita.
Bibirku tersenyum.
Tak mampu kusembunyikan rasa itu.
Sekejap saja, mataku berkaca-kaca.
Dan… sekali kedip, butiran hangat menyergap hangat hingga ke relung dada yang paling dalam.
Bunga-bunga kecil nan harum itu, jatuh beterbangan.
Diriku bermandikan aroma nan merona dari seantero penjuru.
Lembut terbawa angin sepoi, hingga mataku terpejam.
Aku masih menunggumu.
Di sini.
Sendiri.
Dalam khayalku, aku melihatmu ceria.
Gembira.
Aku melihat sungging senyum khasmu, duhai belahan jiwaku.
Kau dulu pelukis robot-robot di dinding itu.
Berlembar-lembar kertas punah memenuhi imajinasimu.
Aku hanya tersenyum sambil bertanya, hendak jadi apa kau.
Aku mengikuti perjalananmu dalam wujud melangit.
Kubiarkan kau berkutat dalam terang dan gelap.
Satu-satu bintang itu menerang.
Itulah dirimu kini.
Dan kita semua berkata bahwa ini bukan karena peluh.
Tidak.
Ini rahasia sukma.
Sebab DIA sang sutradara.
Alhamdulillah.
Syukurku pada-MU
KL, 23/11/2019