RAMADAN: MOMENTUM KEMBALI MENJADI MANUSIA SEJATI

0
543

RAMADAN: MOMENTUM KEMBALI MENJADI MANUSIA SEJATI

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro*

 

 

Pendahuluan

Dalam kehidupan ini memang banyak permasalahan yang harus kita hadapi. Kita harus memiliki semangat tinggi dan kemauan yang kuat untuk mampu menjalani kehidupan ini dengan baik. Banyaknya persoalan yang dihadapi terkadang menjadikan kita lupa bagaimana menjadi manusia. Karena kemewahan dan gemerlapan dunia yang dimilikinya, telah menjadikan manusia menjadi layaknya sebuah robot yang tidak lagi memiliki hati nurani. Kesuksesan, kekayaan, dan  ketenaran telah menggerus sisi-sisi spiritual kita menjadi makhluk yang materalistik.

Ramadan merupakan bulan yang memiliki arti penting bagi umat Islam. Di dalam bulan Ramadan, umat Islam meyakini banyak kebaikan dan keberkahannya di dalamnya. Oleh karena itu, ketika datang bulan Ramadan umat Islam di seluruh penjuru dunia akan menyambutnya dengan penuh antusias dan mempersiapkan berbagai program kegiatan yang bernilai ibadah dan  kebaikan. Umat Islam akan jor-joran melakukan berbagai amalan ibadah dan amalan kebaikan  demi mendapatkan maghfirah dan keridhaan Allah Swt.

Di dalam bulan Ramadan Allah Swt mewajibkan ibadah puasa bagi setiap orang Islam yang sudah baligh. Kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadan bagi umat Islam didasarkan pada firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).

 

Puasa Ramadan merupakan jenis ibadah yang tidak hanya berkaitan dengan aktivitas jasmani (fisik) saja, melainkan juga sangat berkaitan dengan aspek ruhani (spiritual). Ibadah puasa Ramadan tidak hanya berorientasi ke hablumminallah tetapi juga berorientasi ke hablumminannaas. Ibadah puasa Ramadan tidak hanya berkaitan dengan aspek kesalehan individual tetapi juga sangat berkaitan dengan aspek kesalehan sosial. Orang yang berpuasa Ramadan selain dituntut harus mematuhi rukun dan syarat sah puasa, juga puasanya diharapkan berdampak positif terhadap masyarakat sekitarnya.

Muncul fenomena yang menggembirakan yang terjadi pada umat Islam ketika memasuki bulan Ramadan. Setiap memasuki bulan Ramadan, umat Islam berlomba-lomba melakukan ibadah dan amal kebaikan, seperti sholat tarawih, tadarus Al-Qur’an, sholat tahajud, sholat dhuha, kultum Ramadan, berbagi takjil dan makanan berbuka puasa, sedekah pada fakir miskin, dan lain sebagainya. Terlihat sekali bagaimana umat Islam begitu antusias dan jor-joran dalam beramal ketika berada di bulan Ramadan. Sayangnya fenomena tersebut hilang ketika berakhirnya bulan Ramadan. Seolah-olah kebiasaan berbuat kebaikan bagi sesama tersebut tidak berbekas lagi di bulan-bulan selain bulan Ramadan. Mengapa bisa terjadi fenomena tersebut? Ada apa dengan pemahaman umat Islam terhadap bulan Ramadan?

Dalam artikel ini, munculnya fenomena umat Islam jor-joran dalam berbuat kebaikan saat berada di bulan Ramadan dan kembali seperti sebelum bulan Ramadan akan didiskusikan. Fenomena tersebut menarik untuk dikaji karena berkaitan dengan pemahaman umum umat Islam terhadap puasa Ramadan.

Mengenal Hakikat Manusia

Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi dengan yang lainnya. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbeda-beda suku, bangsa, ras, maupun bahasa. Tetapi walaupun berbeda-beda, manusia tetap bisa saling berinteraksi satu dengan yang lain karena pada dasarnya dirinya memang makhluk hidup yang tidak bisa hidup sendirian.

Manusia memang dibekali berbagai kemampuan untuk mampu menaklukan alam dan hidup di dunia yang penuh rintangan dan hambatan. Tetapi penting untuk disadari bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya manusia super. Manusia super hanya ada di film-film fiksi maupun dongeng-dongeng pengantar tidur. Karena manusia bukan makhluk yang serba bisa dan serba mampu, maka manusia membutuhkan keberadaan manusia yang lain. Dengan kata lain, setiap manusia memerlukan berhubungan dan berinteraksi satu dengan yang lain.

Hakikat manusia memang sulit didefinisikan. Manusia adalah makhluk Tuhan yang unik dan sekaligus istimewa. Karena keunikan dan keistimewaannya tersebut, para ahli sampai mengalami kesulitan dalam mendefinisikan hakikat manusia secara memuaskan. Menurut Paula J. C. & Janet W. K., manusia merupakan makhluk yang terbuka, bebas memilih makna di dalam setiap situasi, mengemban tanggung jawab atas setiap keputusan, yang hidup secara berkelanjutan, serta turut menyusun pola hubungan antar sesama dan unggul multidimensional dengan berbagai kemungkinan (Saputro, 2020).

Dalam pandangan agama Islam, menurut Al-Qur’an terdapat empat term yang digunakan Allah Swt dalam mendeskripsikan hakikat manusia. Keempat term tentang manusia menurut Al-Qur’an adalah:

  1. Al-Basyar.

Kata al-basyar dalam Al-Quran disebut 123 kali yang umumnya bermakna “kegembiraan”. Di antaranya 36 kali digunakan untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyahnya dan dua kali dalam pengertian hubungan seksual (QS. al-Baqarah [2]: 187). Hampir keseluruhan ayat Al-Quran yang menggunakan term al-basyar menunjuk pada anak Adam yang biasa makan, minum, dan berjalan di pasar-pasar, dan di dalam pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan. Term al-basyar dalam ayat lainnya berkaitan dengan proses kematian. Term tersebut mengindikasikan manusia sebagai makhluk biologis (fisik) yang selalu bergantung untuk makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya mati. Dilihat dari aspek ini, manusia tidak berbeda dengan makhluk biologis lainnya, seperti kambing, sapi, kuda, dan lainnya (Karman, 2018: 15).

  1. Al-Insan

Kata al-Insan yang  berasal  dari  kata al-uns, dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi kata al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Kata al-Insan digunakan dalam Al-Quran untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara yang satu dengan yang lain, dan sebagai makhluk dinamis, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi (Syarif, 2017).

  1. Al-Naas

Kata al-Naas dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53. Kata al-Naas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya. Dalam menunjuk makna manusia, kata al-Naas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-Insan. Keumuman tersebut dapat dilihat dari penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-Naas menunjuk manusia sebagai sebagai makhluk sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering melakukan kerusakan dan merupakan penghuni neraka, di samping iblis (Syarif, 2017).

  1. Bani Adam

Kata bani Adam ditemukan sebanyak 7 kali dan tersebar dalam 3 surat. Secara etimologi kata bani Adam menunjukkan arti pada keturunan nabi Adam as. Dalam ungkapan lain disebutkan dengan kata dzuriyat adam (Syarif, 2017).

Konsep Islam dalam Al-Quran tentang hakikat manusia berdasarkan ungkapan kata al-basyar, al-insan, al-naas, dan bani adam atau dzuriyyat adam, sebagaimana disebutkan di atas, memberikan gambaran keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia sebagai individu, sosial, budaya, dan makhluk Allah Swt. Kondisi demikian menempatkan manusia secara seimbang antara teosentris dan antroposentris (Syarif, 2017).

Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah Swt. untuk menjadi khalifah di bumi. Agar dapat menjalankan tugas ke-khalifah-annya, maka manusia diberikan bekal oleh Allah Swt. berupa nafsu dan akal. Dengan bekal nafsu, manusia memiliki keinginan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya menjadi lebih baik, lebih nyaman, lebih sejahtera, dan lebih modern. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, manusia dapat menggunakan akalnya untuk berpikir, berkreasi, dan berinovasi untuk menemukan sains dan teknologi guna menciptakan produk-produk teknologi yang memudahkan kehidupan manusia. Dengan bekal akalnya, manusia telah mampu menciptakan berbagai teknologi maju untuk membantu riset-riset yang lebih maju lagi.

Karena memiliki nafsu dan akal lah, maka manusia berbeda dengan makhluk-makhluk Allah Swt yang lain. Manusia memiliki keistimewaan di hadapan Allah Swt., sehingga manusia diutus untuk menjadi khalifah di bumi. Nikmat Allah Swt. berupa nafsu dan akal menjadikan manusia merupakan makhluk yang unik. Keunikan manusia sampai sulit dipahami oleh manusia itu sendiri. Hingga saat ini, para ahli masih mengalami kesulitan untuk mendefinisikan hakikat manusia secara lengkap dan komprehensif. Para ahli mendefinisikan manusia secara parsial-parsial dimana definisi satu ahli tidak mampu mengakomodir definisi ahli yang lain.  Para ahli masih belum mampu merumuskan satu definisi paripurna yang mampu mendeskripsikan hakikat manusia secara lengkap.

Manusia Sebagai Makhluk Bermasyarakat

Di antara makhluk-makhluk di dunia ini, manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt. yang paling sempurna. Kesempurnaan penciptaan manusia dibandingkan makhluk lain ini dinyatakan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tiin [95]: 4).

Walaupun menjadi makhluk yang paling baik bentuknya dan paling sempurna penciptaannya, manusia tetaplah makhluk yang memiliki kelemahan. Manusia memiliki banyak kelemahan dibandingkan makhluk lain. Tetapi kelemahan yang dimiliki manusia justru mampu membuatnya menjadi makhluk yang paling beradab. Peradaban maju umat manusia dapat terwujud karena manusia berusaha mencari solusi atas segala permasalahan hidupnya. Kelemahan yang dimilikinya justru telah mendorong manusia mengenali potensi dan kemampuannya sehingga akhirnya mampu membangun peradaban yang maju dan modern. Pemenuhan segala kebutuhan hidup manusia akhirnya tidak hanya bergantung pada alam, melainkan dapat terfasilitasi berkat daya pikir, kreasi, dan inovasinya yang tiada henti.

Dalam mewujudkan keinginannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak bisa bekerja secara individual. Manusia memerlukan saling bekerjasama dan berkolaborasi. Karena setiap individu memiliki keunggulan sendiri-sendiri, maka ketika individu-individu bersatu bekerjasama dan berkolaborasi dalam satu tujuan yang sama, maka akan dihasilkan hasil yang maksimal. Sebaliknya jika tujuan tersebut dilakukan secara individu maka hasilnya pasti kurang maksimal karena setiap individu memiliki kelemahan.

Fitrah diciptakannya manusia adalah untuk menjadi makhluk yang bermasyarakat. Manusia tercipta dengan kondisi yang berbeda-beda -berbeda suku, ras, bangsa, bahasa, warna kulit, bentuk rambut, warna bola mata, bentuk hidung, dan lain sebagainya- agar manusia saling mengenal satu sama lain. Dengan mengenal satu dengan yang lain, manusia akan berinteraksi dan akhirnya bekerjasama. Sekumpulan manusia yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama akhirnya akan membentuk unit-unit masyarakat kecil hingga unit masyarakat yang lebih besar. Semakin besar tujuan yang ingin dicapai maka semakin besar unit masyarakat yang dibentuk.

Karena banyak memiliki kelemahan, maka manusia memerlukan kerjasama. Ikan mampu  hidup dan menyelam di samudera yang dalam, sedangkan manusia tidak mampu. Burung bisa terbang tinggi mengarungi angkasa luas sedangkan manusia tidak mampu. Cacing bisa hidup dan menembus ke dalam tanah sedangkan manusia tidak mampu. Tetapi dengan kelebihan kemampuan akal untuk berpikir, manusia mampu melakukan apa yang dilakukan oleh hewan-hewan tersebut dan bahkan melebihinya. Manusia dengan teknologi maju yang diciptakannya mampu menyelam ke dalam samudera, mampu terbang dan bergerak dengan sangat cepat di udara, dan mampu menembus ke dalam bumi. Tetapi untuk dapat menciptakan teknologi maju tersebut, manusia harus bekerjasama satu sama lain. Tidak ada seorang pun yang sendirian mampu menciptakan alat atau pesawat modern. Sebuah pesawat terbang dapat diciptakan melibatkan banyak ahli seperti ahli material, ahli matematika, ahli fisika, ahli aerodinamika, ahli navigasi, ahli penerbangan, ahli bahan bakar, dan lain sebagainya. Sebuah kapal selam dapat diciptakan melibatkan banyak ahli seperti ahli material, ahli bahan bakar, ahli fisika, ahli navigasi, ahli kimia, ahli matematika, dan lain sebagainya.

Demikianlah, kelemahan yang dimiliki oleh manusia dapat ditutupi oleh kelebihan akalnya untuk berpikir, tetapi untuk mewujudkan hasil pemikirannya menjadi produk teknologi yang bisa dipergunakan, manusia memerlukan kerjasama dan kolaborasi antar sesama yang memiliki keahlian berbeda-beda. Perbedan keahlian yang dimiliki manusia jika disatukan melalui sebuah kerjasama yang kompak dan solid akan menghasilkan hasil temuan ilmu dan teknologi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Inilah fitrah penciptaan manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat.

Puasa Ramadan: Hikmah Kewajiban Berpuasa

Bulan Ramadan adalah bulan yang istimewa. Keistimewaannya bukan hanya karena bulan diturunkannya kitab suci Al-Qur’an hingga terdapatnya malam Lailatul Qadar. Tetapi, di bulan Ramadan juga terdapat ibadah yang diwajibkan untuk dilaksanakan oleh seluruh umat Islam, yaitu berpuasa, sebagaimana telah diperintahkan Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Karena keistimewaan inilah maka bulan Ramadan diyakini sebagai bulan yang penuh kemuliaan (Saputro, 2023a).

Puasa Ramadan merupakan ibadah yang diwajibkan bagi setiap orang Islam yang telah baligh selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Ibadah puasa Ramadan memiliki kedudukan yang istimewa bagi setiap orang Islam. Orang Islam memaknai puasa Ramadan sebagai jenis ibadah yang “istimewa” karena berbeda dengan ibadah-ibadah wajib lainnya. Pahala dari menjalankan ibadah puasa Ramadan tidak dinyatakan secara jelas sebagaimana ibadah yang lain, melainkan hanya dinyatakan bahwa puasa Ramadan itu untuk Allah Swt dan Allah Swt sendiri yang akan membalasnya.

Setiap tahun di bulan Ramadan umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Ibadah puasa Ramadan bukan hanya ibadah terkait aspek fisik jasmani, tetapi juga sangat berkaitan dengan aspek psikis (rohani). Banyak hikmah yang terkandung dalam perintah ibadah puasa Ramadan. Agung Nugroho Catur Saputro dalam bukunya berjudul Spiritualisme Lapar dalam Ibadah Puasa  (KBM Indonesia, 2023) menjelaskan beberapa hikmah dari puasa Ramadan, yaitu antara lain puasa sebagai sarana membangkitkan empati diri, puasa mengajarkan kejujuran, puasa membangkitkan sifat welas asih, puasa melatih sikap profesional, dan lain sebagainya (Saputro, 2023b).

Puasa Ramadan memang jenis ibadah yang unik. Ada beberapa dalil yang mendukung keunikan dari puasa Ramadan. Dalam salah satu hadis, Rasulullah Saw menyatakan bahwa banyak orang yang menjalankan puasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan haus. Artinya, banyak orang yang menjalankan puasa Ramadan tetapi puasanya tidak diterima Allah Swt. Mereka tidak mendapatkan pahala atas puasa yang dilakukan. Mereka hanya telah menggugurkan kewajibannya untuk menjalankan puasa Ramadan. Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang yang merugi karena telah bersusah payah menjalankan puasa Ramadan tetapi tidak memperoleh fadhilah dari puasa itu sendiri. Mengapa bisa seseorang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan haus? Pertanyaan ini harus menjadi renungan umat Islam.

Puasa identik dengan rasa lapar dan haus. Orang yang berpuasa pasti merasakan rasa lapar dan haus. Merujuk pada firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 183 yang menyatakan tujuan diperintahkannya puasa adalah untuk menjadi orang yang bertakwa. Apakah berpuasa yang hanya menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari mampu menjadikan seseorang menjadi orang yang bertakwa? Jika hanya menahan rasa lapar dan haus selama sehari saja mampu membuat seseorang mencapai derajat muttaqin, maka muncul pertanyaan: Apakah fakir miskin dan kaum dhuafa yang mungkin tidak hanya sehari mereka  menahan rasa lapar dan haus, tetapi bahkan mungkin bisa beberapa hari, tidak lebih tinggi derajat ketakwaannya dibandingkan orang yang berpuasa? Jika orang berpuasa yang karena mampu menahan lapar dan haus sehari dibalas dengan surga, apakah fakir miskin dan orang-orang dhuafa yang mungkin kelaparan selama berhari-hari tidak lebih berhak mendapatkan surga? Secara akal sehat, jika keutamaan puasa karena menahan lapar dan haus, maka seharusnya fakir miskin dan kaun dhuafa lebih bertakwa dan lebih berhak mendapatkan surga dibandingkan orang yang puasa. Di sinilah kita umat Islam harus berpikir dan merenungkanannya.

Menurut pendapat penulis, mengapa orang yang berpuasa Ramadan bisa mendapatkan keutamaan dan balasan kebaikan yang berlipat ganda dari Allah Swt pastilah karena ada sesuatu yang istimewa di balik pelaksanaan ibadah puasa Ramadan.  Dengan mendasarkan pada hadis Rasulullah Saw bahwa puasa itu untuk Allah dan Allah lah yang akan membalasnya, tanpa menyebutkan balasan apa yang akan diberikan kepada orang yang berpuasa, dan juga hadis Nabi Saw yang menyatakan banyak orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh apa-apa selain rasa lapar dan haus, sudah cukup memberikan petunjuk bagi orang yang mau berpikir dan merenung bahwa rasa lapar dan haus akibat menjalankan puasa tidak memiliki keistimewaan di hadapan Allah Swt. Mengapa? Karena masih banyak orang lain yang lebih kelaparan dan kehausan dibandingkan orang yang berpuasa, yakni orang-orang fakir miskin dan kaum dhuafa. Jika orang berpuasa masih bisa berharap merasakan kelezatan makanan dan minuman saat waktu berbuka telah datang, maka tidaklah demikian dengan fakir miskin dan kaum dhuafa. Fakir miskin dan kaum dhuafa tidak tahu sampai kapan mereka akan merasakan kelaparan dan kehausan karena mereka memang tidak memiliki makanan untuk dimakan.

Dengan menggunakan pola pikir tersebut di atas, maka penulis berpikir bahwa yang membuat orang yang berpuasa istimewa di hadapan Allah Swt adalah bukan karena puasanya, tetapi dampak positif atau hikmah kebaikan yang muncul dari pelaksanaan ibadah puasanya. Lantas, apakah dampak positif atau hikmah kebaikan yang terkandung dalam perintah kewajiban ibadah puasa Ramadan? Inilah tugas umat Islam untuk memikirkan, merenungkan, menemukan dan melaksanakannya.

Pengaruh Puasa Ramadan Terhadap Sifat Kemanusiaan

Puasa Ramadan mendidik umat Islam mengenali kembali sisi kemanusiaannya. Dengan melatih diri merasakan rasa kelaparan dan kehausan setiap harinya selama sebulan penuh diharapkan akan mampu membangunkan kesadaran diri bahwa betapa hidup dalam kondisi menahan lapar dan haus itu tidak menyenangkan. Merasakan lapar dan haus seharian saja sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari telah terasa sangat berat dan tidak enak, lalu bagaimana keadaan orang-orang miskin dan tidak punya yang mungkin sepanjang hari dan entah akan berapa hari mereka harus merasakan perihnya perut menahan lapar? Di sinilah umat Islam diajarkan oleh Allah Swt melalui perintah puasa Ramadan selama sebulan penuh agar memiliki rasa empati pada sesama.

Umat Islam setiap tahun selalu diingatkan melalui perintah puasa Ramadan bahwa hidup di dunia ini tidak sendirian. Hidup di dunia ini harus saling tolong-menolong sesama manusia. Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk sosial yang memerlukan interaksi dan saling membantu satu sama lain. Dalam berinteraksi sesama manusia diperlukan sikap pengendalian diri agar terwujud pola interaksi dan pola kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai, dan tenteram. Tanpa ada kemampuan mengendalikan diri, maka setiap orang akan mengedepankan sikap egois dan mementingkan kebutuhan pribadi, sedangkan kebutuhan bersama atau kepentingan masyarakat akan terabaikan. Jika di masyarakat orang-orang sudah hanya mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama, maka dapat dipastikan kehidupan di masyarakat tersebut akan kacau dan timbul banyak permasalahan. Di sinilah kita diingatkan melalui kewajiban puasa Ramadan setiap tahun di bulan Ramadan untuk melatih diri memperkuat sikap pengendalian diri.

Sikap pengendalian diri dimulai dari pengendalian terhadap kebutuhan fa’ali yaitu kebutuhan makan, minum, dan berhubungan seksual. Kebutuhan fa’ali merupakan kebutuhan pokok manusia yang pertama. Kebutuan pokok manusia yang kedua adalah kebutuhan akan ketenteraman dan keamanan, kemudian kebutuhan ketiga adalah kebutuhan akan keterikatan pada kelompok. Kebutuhan pokok keempat adalah kebutuhan akan rasa penghormatan, dan kebutuhan pokok manusia yang kelima adalah kebutuhan akan pencapaian cita-cita (Shihab, 1992).

Mengapa berkaitan dengan aspek fisik jasmani, puasa Ramadan lebih ditekankan pada pengendalian terhadap kebutuhan fa’ali? Terhadap pertanyaan ini, Prof. Dr. M. Quraish Shihab (1992) memberikan penjelasan karena kebutuhan fa’ali merupakan kebutuhan pokok manusia yang pertama. Seseorang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan pertama, akan dengan mudah mengendalikan kebutuhan-kebutuhannya yang berada pada posisi berikutnya. Kebutuhan kedua tidak akan mendesaknya sebelum kebutuhan pertama terpenuhi. Bahkan seseorang dapat mengendalikan kebutuhan berikutnya jika kebutuhan sebelumnya belum terpenuhi.

Puasa Ramadan sebagaimana dinyatakan Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 183 adalah bertujuan untuk memperoleh takwa. Tujuan tersebut dapat tercapai hanya jika kita dapat menghayati arti puasa itu sendiri. Untuk dapat memahami dan menghayati arti puasa memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok menyangkut hakikat manusia dan kewajibannya di bumi. Pertama, manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah yang kemudian dihembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya dan kemudian diberikan potensi diri (kemampuan, bakat, minat) sehingga manusia layak menjadi khalifah (pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi. Dijelaskan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab (1992), bahwa dalam Kitab Perjanjian Lama dan juga hadis-hadis, ditemukan bahwa Tuhan menciptakan manusia menurut “petanya”, dalam arti diberi potensi untuk memiliki sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju bumi, ia (Adam) transit dulu di surga agar pengalaman yang diperolehnya di sana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugas pokoknya di bumi. Hal ini akan mendorongnya untuk menciptakan bayangan surga di bumi.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab (1992) menambahkan, jika ditinjau dari segi hukum puasa, maka sifat Tuhan yang diusahakan untuk diteladani oleh orang yang berpuasa adalah: (1) bahwa Dia (Tuhan) memberi makan dan tidak (diberi) makan (QS. 6: 14); dan (2) Dia (Tuhan) tidak memiliki teman wanita (istri) (QS.6: 101). Kedua hal ini terpilih untuk diteladani oleh orang yang berpuasa karena keduanya merupakan kebutuhan fa’ali manusia yang terpenting. Keberhasilan dalam mengendalikan kedua hal tersebut akan mengantarkan kepada kesuksesan dalam mengendalikan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Banyak orang yang menjalankan ibadah puasa Ramadan tetapi tidak memperoleh (pahala) kebaikan apa-apaun dari Allah Swt. selain hanya merasakan rasa lapar dan dahaga. Terjadinya fenomena ini telah lama dinyatakan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya. Mengapa fenomena tersebut bisa terjadi? Hal itu terjadi karena disebabkan yang bersangkutan tidak menghayati tujuan puasa yang sebenarnya, yaitu meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya yang berjumlah sembilan puluh sembilan itu. Sifat “Maha Pengampun” dan “Maha Pemaaf”, misalnya, haruslah diteladani oleh siapa saja yang berpuasa Ramadan. Demikian pula dengan sifat “Maha Pengasih” dan “Maha Penyayang”. Sifat-sifat ini dituntut pula untuk diteladani sehingga rahmat dan kasih sayang terasa bagi seluruh makhluk Tuhan (Shihab, 1992).

Jika sifat-sifat Allah yang berjumlah sembilan puluh sembilan tersebut dapat diteladani oleh orang yang mengerjakan puasa Ramadan, maka yang bersangkutan akan mampu mewujudkan dirinya menjadi manusia sejati, yaitu manusia dengan sifat-sifat seperti peta penciptaannya, menjadi khalifah Allah di bumi dan memakmurkan bumi. Dengan mengerjakan puasa Ramadan setiap tahun dan menghayati tujuan puasa itu sendiri, maka umat Islam dapat merealisasikan tujuan penciptannya sebagai khalifatullah fi al ardhi.

Penutup

Puasa Ramadan merupakan jenis ibadah wajib yang memiliki makna tersendiri bagi orang Islam. Dalam perintah puasa Ramadan, Allah Swt memang tidak menyatakan secara jelas pahala yang akan didapat oleh orang yang mengerjakan puasa. Tetapi Allah Swt sebagaimana termaktum dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 menjelaskan bahwa tujuan diperintahkannya ibadah puasa Ramadan adalah agar orang-orang yang beriman menjadi orang-orang yang bertakwa.

Tujuan pembentukan menjadi orang-orang yang bertakwa (muttaqin) inilah yang menjadi keistimewaan dari ibadah puasa Ramadan. Kata muttaqin memiliki makna yang mendalam karena merujuk kepada sebuah sikap kepatuhan pada perintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian karena puasa Ramadan dikatakan dapat membentuk seseorang meencapai derajat muttaqin, maka tentulah dalam perintah ibadah puasa Ramadan terkandung pesan tersirat yang sangat penting dan sangat istimewa dalam pandangan Allah Swt. Pastilah pelaksanaan ibadah puasa Ramadan tidak hanya berkaitan dengan aspek kebutuhan jasmani individual seperti menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan seksual di siang hari., tetapi pasti juga merujuk ke aspek yang lebih luas yang menyangkut kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Perintah puasa Ramadan dengan tujuan yang begitu mulianya pastilah terkandung pesan agar orang yang berpuasa kembali menjadi sosok manusia sejati. Sosok manusia yang benar-benar bersifat dan bersikap layaknya manusia dengan segala kelebihan dan keistimewaannya di mata Allah Swt. Sosok manusia yang memiliki sifat kemanusiaan dan cinta pada sesama. Karena kesibukan dengan urusan pemenuhan kebutuhan duniawi terkadang membuat manusia melupakan jati dirinya sebagai makhluk bermasyarakat. Nah, puasa Ramadan dengan misi mengembalikan manusia kembali ke jati dirinya sebagaimana peta penciptaannya melalui hikmah menahan rasa lapar dan haus. Jadi ibadah puasa Ramadan merupakan jenis ibadah yang membawa misi kemanusiaan, yakni mengajarkan umat Islam mengenali hakikat dirinya sebagai manusia yang meneladani sifat-sifat Tuhannya. Wallahu a’lam bish shawab. []

 

Referensi

Karman, K. (2018). Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Saputro, A. N. C. (2020, September 12). Pendidikan Sebagai Sarana Aktuallisasi Fitrah Manusia. Retrieved March 25, 2023, from Agung Nugroho Catur Saputro website: https://sharing-literasi.blogspot.com/2020/09/pendidikan-sebagai-sarana-aktualisasi.html

Saputro, A. N. C. (2023a). Spiritualisme Lapar dalam Ibadah Puasa: Mencari Mutiara Hikmah Dibalik Kemuliaan Bulan Ramadan. Yogyakarta: KBM Indonesia.

Saputro, A. N. C. (2023b, February 23). Ramadan Bulan Perbaikan Diri. Retrieved March 27, 2023, from Sahabat Pena Kita website: https://sahabatpenakita.id/ramadan-bulan-perbaikan-diri/

Shihab, M. Q. (1992). Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Penerbit MIZAN.

Syarif, M. (2017). Hakekat Manusia dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 2(2), 135–147. doi: 10.25299/althariqah.2017.vol2(2).1042

__________________________________________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro, Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta : KBM Indonesia, 2022), Spiritualisme Lapar dalam Ibadah Puasa (Yogyakarta : KBM Indonesia, 2023), dan 90-an buku lainnya.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here