Oleh: Much. Khoiri
Dewasa ini guru kreatif—yakni guru yang berbudaya kreatif di era disrupsi—dituntut oleh situasi untuk wajib menulis. Ada alur rasional yang dapat menjelaskan mengapa guru kreatif wajib menulis. Tulisan ini akan menjelajahinya, bersama Anda, berikut ini.
Dalam dasawarsa ini manusia sudah berada dalam penguasaan teknologi komputasi dan data yang dahsyat, sebagai akibat dari kemajuan internet, kecanggihan teknologi informasi, dan teknologi digital. Manusia terhubung satu sama lain secara global dengan mudahnya. Jarak geografis seakan tidak penting, karena jarak itu dijembatani oleh kehadiran teknologi canggih. Mau tak mau manusia harus hidup berdampingan dengan teknologi komputasi-data. Era ini juga mendisrupsi berbagai aktivitas manusia.
Tak terelakkan, manusia dikondisikan untuk menghayati hegemoni era disrupsi—yakni sebuah perubahan dahsyat, masif, dan cepat dalam pemikiran, pola interaksi dan perilaku manusia, dengan pola yang sulit ditebak (volatility), perubahan yang cepat penuh ketidakpastian (uncertainty), terjadinya kompleksitas relasi antar penyebab perubahan (complexity), dan kekurangjelasan arah perubahan penyebab ambiguitas (ambiguity).
Bahkan era disrupsi telah berhasil mengondisikan manusia untuk tunduk pada kuasa hegemoniknya. Andaikata ini berkonteks perang darat, ada semacam ancaman “genosida”, pemusnahan etnis. Ini laksana hidup atau mati (survival or death). Maka, untuk bertahan hidup, kita perlu hijrah kultural (bertransformasi secara budaya), dan hidup berdampingan (koeksisten) dengan makhluk-makhluk turunan era disrupsi.
Dalam konteks dunia pendidikan, salah satu pihak penting yang langsung terlibat dalam hijrah kultural adalah siswa (pembelajar). Yang sedikit melegakan, mereka bukan pendatang baru dalam dunia digital. Mereka adalah siswa atau pembelajar yang akrab teknologi digital (digital native learners), dengan sejumlah cirikhas yang akan dijelaskan kemudian. Meski mereka berada dalam konteks hijrah kultural, sebagai generasi milenial mereka tidaklah canggung dalam beradaptasi.
Sebaliknya, kenyataan itu merupakan tantangan bagi guru. Kehadiran siswa digital native menantang guru, apakah guru mampu menghadapi siswa yang melek digital dalam pembelajaran dan pendidikan di sekolah. Jika guru mampu beradaptasi untuk melek digital, maka permasalahan akan tertangani dengan baik. Namun, jika sebaliknya, dalam arti bahwa guru tidak mau beradaptasi, guru akan ketinggalan dibanding kemajuan siswa mereka dalam pemanfaatan teknologi pembelajaran.
Maka, tiada pilihan lain, guru harus menjadi guru kreatif, guna menjawab tantangan kemelekan digital para siswanya. Jika siswa kemampuan digital yang bagus dalam belajar, dan jika guru tidak mampu mengimbanginya, apa yang akan terjadi? Bukankah guru akan kehilangan muka—dan akan tertinggal oleh kemajuan dalam bidang pembelajaran. Ujung-ujungnya, gangguan relasional antara guru dan siswa akan mengganggu pembelajaran.
Siapakah guru kreatif itu? Sebenarnya ada tujuh cirikhas dari guru kreatif—yang akan dijelaskan dalam artikel tersendiri—namun guru kreatif haruslah memiliki kompetensi yang sangat sentral, yakni kemampuan menulis. Ini semacam harga mati yang harus dibayar. Boleh dikata, kemampuan menulis itulah sumber bagi keberadaan cirikhas yang lain.
Lalu, untuk apakah guru kreatif menulis? Sebagaimana penulis pada umumnya, guru kreatif menulis untuk kepentingan publikasi karya-karya yang dihasilkan, baik karya akademik maupun karya kreatif. Publikasi itu bisa berupa publikasi karya ilmiah di jurnal dan prosiding, buku (daras/teks, monograf, referensi), dan karya populer dan kreatif di blog, youtube, atau media sosial.
Tatkala publikasi telah dilakukan dalam rentang waktu tertentu, guru kreatif menulis akan memanen suatu “bonus sosial”—sebuah istilah untuk mengkonotasikan hadiah atau privilege yang diperoleh guru kreatif setelah membiasakan publikasi karya. Karya mereka menjadi bukti eksistensi, identitas, kartu nama, dan mahkota sebagai penulis.
Demikianlah penjelajahan sepintas ini. Dalam tulisan-tulisan selanjutnya akan dibahas lebih lanjut tentang sejumlah sub-topik terkait dengan guru kreatif wajib menulis. Oleh karena itu, kehadiran Anda dalam tulisan-tulisan selanjutnya sangat diharapkan. Mari terus belajar dan saling berbagi.[]
*Much. Khoiri adalah dosen, penggerak literasi, blogger, youtuber, editor, penulis buku dari Unesa Surabaya; Penasihat Sahabat Pena Kita. Tulisan ini pendapat pribadi.