RUNTUHNYA KHAZANAH INTELEKTUAL KITA

0
1909

Sekitar sembilan tahun lalu, tepatnya tahun 2011, almarhum Hernowo sang pelopor literasi dengan konsep terkenalnya Mengikat Makna itu, pernah menyampaikan kegelisahannya pada saya tentang pudarnya ghiroh literasi pada sebagian besar institusi Perguruan Tinggi Umum termasuk PTKIN di Nusantara. Pudarnya ghiroh literasi yang dimaksud oleh Hernowo adalah sebagian besar mahasiswa termasuk dosen-dosennya tidak lagi aktif membaca dan menulis, menelaah dan mengkaji, mendiskusikan sekaligus memperdebatkan wacana-wacana pemikiran para ulama, cendekiawan, dan intelektual kita.

Mereka tidak lagi membaca ide-ide cemerlang dalam ranah pendidikan dan keagamaan yang digulirkan oleh Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Mereka tidak lagi membicarakan gagasan-gagasan Bung Karno dan Bung Hatta, Buya Hamka dan Muhammad Roem. Mereka tidak lagi mendiskusikan pemikiran-pemikiran brilian Gus Dur dan Cak Nur, Kuntowojoyo dan Moeslim Abdurrrahman. Mereka tidak lagi membedah pemikiran Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi, Komaruddin Hidayat, Amin Abdullah atau Musa Asy’arie, untuk menyebut segelintir nama.

Padahal pada tahun akhir 1980-an, tahun 1990 sampai awal tahun 2000-an, ide-ide mereka sangat ramai dibicarakan. Pemikiran-pemikiran bernas mereka selalu didiskusikan. Gagasan-gagasan provokatif-positif-inspiratif mereka senantiasa menjadi ajang perdebatan hangat di kalangan dosen dan mahasiswa. Tapi kini, hampir semua diskusi intelektual yang pernah menghidupkan jagad sebagian besar kampus kita itu sudah mulai hilang.

Ternyata tidak berhenti di situ. Setelah diskusi dengan beberapa kawan dan cendekiawan muda kita, dalam beberapa tahun terakhir ini, kita menemukan fenomena yang digelisahkan oleh Hernowo itu justru semakin parah. Sebagian besar mahasiswa dan dosen-dosen kita justru lebih akrab dengan para “teolog, ulama, dan da’i” dari Timur Tengah ketimbang para ulama dan cendekiawan kita sendiri.

Mereka kenal dengan pemikiran Abul A’la Maududi, tapi tidak kenal dengan gagasan KH. Ahmad Dahlan. Mereka akrab dengan pemikiran Hasan Al-Banna tapi tidak paham dengan ide-ide cemerlang Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Mereka menguasai gagasan-gagasan Sayyid Quthb dan Abdul Wahhab, tapi tidak mengerti gagasan-gagasan brilian Cak Nur dan Gus Dur, Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman. Mereka mendalami pemikiran-pemikiran Yusuf Qardhawi dan Said Hawwa, tapi tidak memahami diskursus-diskursus inspiratif dari Buya Syafi’i Maarif dan Jalaluddin Rakhmat, Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi, Amin Abdullah dan Musa Asy’arie, misalnya.

Melihat fenomena ini, tentu saja kita patut gelisah dan prihatin. Ada sebuah adagium bahwa kalau mau menghancurkan suatu bangsa dan negara, salah satu cara yang paling efektif adalah dengan memutus silsilah keilmuan pada generasi muda bangsa tersebut. Inilah fenomena miris yang kita temukan hari ini. Dalam perspektif filsafat sejarah, kini kita tengah mengalami epistemological break atau epistemological disconnection, keterputusan epistemologi dari khazanah keilmuan kita sendiri.

Lebih jauh, setelah membaca hasil sejumlah penelitian mutakhir dari PPIM UIN Syarif Hidayatullah dan beberapa buku hasil kajian ilmiah-akademisi, saya menemukan bahwa strategi gerakan-gerakan Islam transnasional tentang pemutusan silsilah keilmuan pada generasi muda kita memang sudah dirancang secara sistemik, terstruktur dengan rapi dan massif selama hampir dua dekade ini. Berbagai gerakan transnasional semacam Salafi Wahabi, eks HTI, dan gerakan Tarbiyah tersebut melakukan pemutusan silsilah khazanah keilmuan bangsa kita secara terstruktur, sistemik, dan masif.

Mereka juga sangat ekspansif mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam versi mereka dari Tingkat Dasar hingga Perguruan Tinggi. Begitu pula mereka sangat ekspresif memanfaatkan beragam media massa, baik media online, media elektronik maupun media cetak dengan berbagai variasinya. Demikian juga kegiatan-kegiatan mentoring Islam, dauroh dan halaqoh, liqo’ dan mabit, rohis dan aneka macam diskusi internal di kalangan mereka yang sudah terjadwal dengan ketat. Di atas semuanya, mereka sangat militan pada tataran praktis dalam mensosialisasikan ideologi-ideologi mereka.

Maka jangan heran kalau generasi milenial dunia kampus kita hari ini lebih mengenal Hasan al-Banna, Sayid Quthb, dan Said Hawwa ketimbang KH. Ahmad Dahlan, Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari, dan Ki Hajar Dewantara. Mereka lebih akrab dengan Albani dan Shalih al-Utsaimin daripada Cak Nur dan Gus Dur, Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman. Mereka lebih mengenal An-Nabhani dan Sayyid Quthb daripada Jalaluddin Rakhmat dan Buya Syafi’i Maarif. Dan mereka lebih paham tentang gagasan-gagasan Abdul Wahhab dan Mawdudi, ketimbang gagasan-gagasan brilian Dawam Rahardjo dan Komaruddin Hidayat, Amin Abdullah dan Musa Asy’arie.

Karena itulah, kita perlu menghidupkan kembali khazanah keilmuan dan tradisi intelektual kita yang sangat kaya. Perguruan-perguruan tinggi kita, khususnya perguruan-perguruan tinggi yang bernafaskan Islam perlu aktif, proaktif dan bergerak secara massif untuk mempromosikan dan mensosialisasikan gagasan-gagasan cemerlang para ulama dan cendekiawan kita. Sebagian kalangan civitas akademisi harus menerjemahkan dan menafsirkan kembali secara kontekstual gagasan-gagasan brilian Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, Buya Hamka dan Muhammad Roem, Ki Hajar Dewantara dan Kyai Sahal Mahfud, Gus Dur dan Cak Nur, Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman, Jalaluddin Rakhmat dan Buya Syafi’i, Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi, Harun Nasution dan Mukti Ali, Quraish Shihab dan Komaruddin Hidayat, Amin Abdullah dan Musa Asy’arie agar tetap relevan dan mampu merespons puspa ragam problematika kebangsaan, kenegaraan sekaligus keagamaan kita hari ini.

Selain itu, harus ada kebijakan strategis protektif yang segera dilakukan pihak pemerintah. Pihak pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan harus tegas menolak calon-calon dosen yang berafiliasi dengan salah satu gerakan radikal transnasional yang hendak mengganti falsafah bangsa dan negara kita dengan ideologi Hizbut Tahrir, Salafi Wahabi atau pun Ikhwanul Muslimin. Seperti kita ketahui bersama, tidak sedikit dosen yang mindset-nya sudah menjadi Salafi Wahabi, eks HTI, dan gerakan Tarbiyah. Mereka inilah yang juga sangat aktif menyebarkan gagasan-gagasan para tokoh ideologis dari Timur Tengah kepada para mahasiswa. Kita harus merekrut calon-calon dosen yang memiliki akar keilmuan keislaman yang jelas, kokoh dan menyatu dengan keindonesiaan dan kenusantaraan, dengan kebangsaan dan kenegaraan kita.

Sebab jika tidak, saya khawatir khazanah keilmuan dan tradisi intelektual kita akan benar-benar runtuh. Kalau khazanah keilmuan dan tradisi intelektual kita sudah runtuh, tidak akan butuh waktu lama lagi bagi runtuhnya rumah besar kita bersama yang bernama Indonesia. Dan itu jelas tidak kita inginkan!

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here