Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Selepas Ashar, seorang penjual pentol (anggaplah begitu!) secara kebetulan berhenti di depan rumah. Rupanya, kompornya lagi ada kerusakan kecil. Sambil memperbaiki, anak saya yang ada di dalam rumah tiba-tiba ingin membeli. Setelah selesai memperbaiki, ternyata banyak juga orang yang beli. Ngantri, bahkan.
Ketika saya hendak berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib, si penjual pentol itu masih ada di depan rumah. Ia duduk-duduk sambil merokok santai. Sebentar kemudian, ada lagi yang membeli hingga datang waktu isya’.
Saat hendak keluar menunaikan shalat Isya’, si penjual pentol itu masih ada. Baru ketika pulang dari masjid, si penjual pentol dengan sepeda motor itu sudah pergi. Semoga saya tidak sedang bersu’uzh-zhan kepadanya jika ia sedang lupa shalat maghribnya. Bisa jadi, ia akan menjama’nya dengan Isya’.
Pertanyaannya kemudian, berapa duit yang akan diperoleh dari berjualan pentol atau putu atau lainnya, sehingga harus rela meninggalkan kewajiban shalat lima waktu? Dengan bahasa yang lebih galak, seberapa tinggi harga dunia ini di hadapan Allah dibandingkan dengan ridha Allah di Akhirat nanti? Sudah hidup miskin di dunia, dinistakan di Akhirat. Jika bekerja diniatkan dalam rangka memenuhi kewajiban dan perintah Allah, insya Allah akan tetap ingat.
Begitu juga ada seorang guru yang dalam pandangan banyak orang adalah pekerjaan mulia. Setiap hari datang mengajar ke sekolah. Tapi, celakanya, ia mengajar hanya ingin mendapatkan gaji, tunjangan, dana sertifikasi dan honor-honor lainnya. Kasihan, karena niatnya hanya untuk mendapatkan balasan dunia. Naifnya lagi, sudah gajinya kecil, ndak dapat akhiratnya pula.
Mengapa tidak diniatkan untuk mendapatkan balasan di akhirat saja? Digaji atau tidak terserah, yang penting yakin bahwa Allah yang akan mencukupi. Sehingga, saat mengajar ia focus mendidik, memberi tauladan dan sepenuh hati. Bukan hanya rajin dan bersemangat saat mengurus pencairan sertifikasi. Kalau gaji dan honor kegiatan kurang atau telat sedikit protes tak kunjung mereda. Tapi, kalau dana sertifikasinya cair, tidak ada sedikitkan suara gemerisik zakat di dalamnya.
Begitu juga ada yang bekerja sebagai karyawan, pegawai, pedagang, buruh atau bekerja apa saja. Saat niatnya hanya mencari gaji, untung dan dunia saja, maka yang akan didapat ya dunia saja. Tidak lain. Coba niatnya ingin memenuhi kebutuhan keluarga agar bisa berkhidmat kepada Allah dengan lebih khusyu’ atau menjalankan perintah Allah dalam memenuhi kewajiban sebagai orang tua, maka ia akan mendapatkan kebaikan dua sekaligus. Pertama, mendapat pahala dan ridha Allah dan kedua mendapatkan kebaikan dunia.
Mereka yang bekerja karena Allah akan ingat terus kepada Allah sebagai focus tujuan hidupnya. Ia akan berhati-hati dalam bertindak dan tidak mudah melanggar aturan Allah. Karena ingat, merasa diawasi dan takut kepada Allah, ia akan berbuat jujur kepada sesamanya. Ia bekerja bukan karena ingin dipuji oleh atasannya agar diberi posisi tertentu. Ia bekerja saja dengan sebaik-baiknya.
Seorang yang bekerja karena Allah tidak bermental jongos. Jongos itu akan bekerja kalau diawasi oleh majikan dan atasannya. Kalau tidak ada majikan atau atasannya, ia santai-santai saja. Bahkan, tidak masuk kantor atau –kalau guru—tidak mengajar. Jongos itu tidak memiliki inisiatif untuk bekerja dan tidak inovatif, karena bersifat pasif, tidak pro-aktif dan cenderung menunggu perintah.
Dalam konteks inilah semua harus dikembalikan kepada tujuan utama hidup manusia secara menyeluruh. Ibarat seorang petani menanam padi, maka ia juga akan mendapatkan rumputnya. Tetapi, seorang petani yang mananam rumput bisa dipastikan tidak akan mendapatkan padi. Padi adalah simbol akhirat dan rumput adalah dunianya. Allah mengingatkan dalam QS. Al-Qashash 88, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dalam banyak kesempatan dalam Al-Quran Allah senantiasa mengingatkan bahwa dunia itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan akhirat. ”Katakanlah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu nilainya kecil. Nilai akhirat jauh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (An-Nisa: 77).
Dari Al-Mustaurid bin Syaddad r.a. ia berkata : Rasulullah bersabda,
وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ
“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR Muslim no 2868). Dalam riwayat Ahmad, ada tambahan وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ, Lalu beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya”.
Pada satu hari, Utsman bin Affan bercerita, ”Suatu saat di siang hari, aku melihat Zaid bin Tsabit keluar dari istana Marwan. Dalam hati, saya bertanya-tanya, ada apakah ia gerangan pada saat seperti ini? Aku yakin, pasti ada sesuatu yang penting ia bawa.” Utsman lalu mendekati Zaid dan langsung bertanya, ”Ada apa gerangan wahai Zaid?”
Zaid menjawab, ”Aku membawa sesuatu yang aku dengar langsung dari Rasulullah SAW.” Utsman bertanya lagi, ”Apa yang Rasulullah sabdakan kepadamu?” Zaid menjawab, ”Rasulullah SAW bersabda,
Dari Zaid bin Tsabit r.a. ia berkata, kami mendengar Rasulullah bersabda,
مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ له، ومن كانت الآخرةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في قَلْبِه وأَتَتْهُ الدنيا وهِيَ راغِمَةٌ
“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah, hina (tidak bernilai di hadapannya), meskipun ia enggan untuk menerimanya’. (HR Ibnu Majah dari Usman bin Affan).
Sementara itu, Allah SWT berfirman dalam sebuah hadis qudsi, “Wahai anak cucu Adam, kalian mencurahkan segala ibadah hanya karena ingin ridla-Ku, pasti akan Aku penuhi hatimu dengan kekayaan. Aku juga akan tutup kefakiranmu. Jika tidak demikian, Aku akan penuhi hatimu dengan segala kesibukan. Aku juga tidak akan menutupi kafakiranmu.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Bahrus Surur-Iyunk, Guru SMA Muhammadiyah I Sumenep