Oleh: Sri Lestari Linawati
“Anak-anak, hari ini hadir di hadapan kalian, ibu dosen Unisa Yogyakarta bersama mahasiswa Bioteknologi Unisa. Kita akan menanam. Sebelumnya, para mahasiswa akan menyampaikan penyuluhannya tentang apa itu menanam, manfaatnya apa dan bagaimana kita akan menanam. Dengarkan baik-baik penjelasannya. Apabila sedang ada orang bicara, hendaklah kalian mendengarkannya, jangan bicara sendiri,” kata Bu Parni Kepala Sekolah SDN Kanoman memberikan pengantar. Anak-anak kelas 4 duduk sempurna mendengarkan nasehat Bu Kepala. Selanjutnya Bu Kepala mempersilakan saya menyampaikan pengarahan.
“Ibu yakin anak-anak sudah kenal dengan menanam. Buktinya, di kelas ini pun terdapat “Pohon Motivasi Berkarakter,” kata saya sambil mendekat tembok kelas bergambar pohon itu. Di tiap daunnya terdapat tulisan para siswa. Beberapa di antaranya saya baca keras. Para murid tampak senang karyanya diapresiasi. Kok ya kebetulan ada yang menuliskan “Rawatlah tumbuh-tumbuhan”. Saya lanjut menerangkan, “Alhamdulillah.. Mbak-mbak (maksudnya mbak Afifah, Anisa dan Mia mahasiswa Biotek yang tugas penyuluhan ke murid), artinya kita tinggal melanjutkan program menanam ini, bukan dari nol.” Para mahasiswa mengangguk.
“Kita akan menanam. Kelak bila panen, anak-anak bisa menjual hasil panennya ke pedagang sayur. Dijual ke ibu di rumah? Boleh.. Bu Lina yakin Ibu kalian mau membeli hasil kebun kalian. Beliau akan bangga bahwa anaknya rajin dan shalih. Lalu uangnya? Uangnya bisa kalian tabung ke Simpel, simpanan pelajar. Siapa mau kaya raya?” tanya saya. Segera anak-anak mengacungkan tangannya dan berteriak, “Sayaaaa….” Subhanallah.. Alhamdulillah..
Inilah upaya edukasi pelan dan bertahap terhadap anak-anak SDN Kanoman. Para siswa diajak belajar menabung dari hasil kerja mereka sendiri. Menanam di sekolah merupakan ikhtiar penghijauan sekolah dan menggerakkan roda edukasi sekolah. Ini melatih tanggung jawab, kepedulian, rasa welas asih, menghargai pekerjaan, kemandirian, berfikir jauh ke depan dan menabung untuk sebuah cita-cita mulia. Tak semudah membalik telapak tangan memang, namun langkah ini harus dimulai. Think globally, act locally. Berfikir besar, dilakukan dari tingkat sederhana, kini, di sini.
Tak kalah menariknya adalah saat mahasiswa menyampaikan penyuluhan. Mbak Afifah yang asli Yogya cukup komunikatif berbicara dengan para murid kelas 4 ini. “Adik-adik, perkenalkan, nama mbak adalah Afifah, asli Yogyakarta. Kalau di sebelah saya ini, mbak Anisa, asalnya dari Lombok, tapi bukan cabe lho ya….” Anak-anak tertawa cekikikan. Melihat ada peta Indonesia di bawah meja, segera saya ambil dan menunjukkan kepada para siswa. “Ayo tebak, di manakah letaknya daerahnya mbak Anisa di Lombok?” Bersegera anak-anak berlarian mendekati gambar peta lalu mencarinya. Lucu melihat tingkah polah mereka. Ada sebuah curiosity, keingintahuan yang mendalam. Inilah modal pengetahuan bagi seorang calon ilmuwan, yaitu mengasah adanya keingintahuan.
Mbak Afifah melanjutkan, “Kalau mbak yang di depan ini (yang sedang tugas dokumentasi) adalah mbak Mia. Asalnya Garut Jawa Barat.” Kembali anak-anak berlarian mencari letak Garut. “Numpak opo, mbak, leh ndono?” tanya seorang bocah dengan polosnya pada mbak Anisa dan mbak Mia. Mbak Anisa cukup sabar juga menghadapi anak-anak, “Naik pesawat 1 jam, kalau naik kapal atau bis ya bisa sampai 3 hari, Dik.” “Berapa harga tiketnya, mbak Anisa,” tanya saya coba memotivasi anak-anak. “700 ribu sampai 1 juta,” terang mbak Anisa.
“Nah, anak-anak, yuk kita main ke Lombok, melihat pemandangan indah di sana.. Mari menabung agar uang kita cukup untuk piknik. Mari giat menanam, untuk hari esok lebih baik,” ajak saya. Saya melihat wajah-wajah mereka bersinar cerah ceria.
Mbak Mia focus mendokumentasikan kegiatan. Mbak Anisa membagikan leaflet yang telah dipersiapkan. Mbak Afifah menjadi juru bicaranya. “Adik-adik, siapa yang bersedia membacakan manfaat tanaman cabe?” Ramai anak-anak menjawab, “Dia, mbak….”, “Dia, Bu…”. “Halo, Sayangku, bukanlah seorang pemuda yang mengatakan ini lho bapak saya. Seorang pemuda adalah mereka yang berani mengatakan, “Inilah saya”, kata saya. Ditunggu beberapa saat, ternyata Kevin Ketua Kelas yang maju. Kedua, Vena, Bendahara Kelas, membacakan cara menanam cabe. Ketiga, siswa laki-laki, membacakan manfaat tanaman terong. Keempat, perempuan, membacakan cara menanam terong.
Dari fenomena itu saya belajar bahwa mereka pun mau kok bila dilatih berani tampil bicara di hadapan public. Nah, tinggal kita orang dewasa inilah yang musti sabar melatihnya pelan-pelan. Bahwa tidak langsung jadi, itu jelas, namun keberanian itu musti dipupuk tiap waktu, sebagaimana tanaman juga perlu dirawat setiap saat agar tumbuh sehat dan lebat.
Setelah rehat sejenak, para mahasiswa mengumumkan cethok yang harus dibawa saat menanam pada hari Jumat mendatang. Alhamdulillah. Ada rasa haru dan bangga membersamai para murid SD belajar di kelas. Secercah harapan bagi kemajuan Indonesia tampak terbentang. Semoga Tuhan Allah memberikan kemudahan dan kelancaran bagi terwujudnya cita kecil ini. Amin. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya acara ini: Bu Parni dan keluarga besar SDN Kanoman, Pak Marwanto dan segenap rekan Komite SDN Kanoman, Prodi dan Mahasiswa Bioteknologi Unisa Yogyakarta, Cak David, Kak La Halufi dan teman-teman Rumah Baca Komunitas, Bu Dian, mbak Devi dan segenap Tim Bank Wakaf Mikro Unisa, juga Bank BRI Syari’ah Yogyakarta. []
Yogyakarta, 18 Desember 2019
Sri Lestari Linawati adalah pegiat literasi, penggagas sekolah BirruNA “PAUD Berbasis Alam dan Komunitas”, dan kini mengabdi sebagai dosen Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta. Di mana bumi diinjak, di situlah langit dijunjung. Lina bisa dihubungi via email sllinawati@unisayogya.ac.id atau no hp/WA 0812.15.7557.86.