Oleh : Ahmad Tri Sofyan
Selesai mengajar di sebuah kelas, seorang siswi mendekat dan menyampaikan informasi kepada saya bahwa libur sekolah selama 4 hari (9 s.d 12 Mei 2024) ia manfaatkan untuk membaca sebuah novel. Tentu ini berita yang sangat menggembirakan. Mengapa sangat menggembirakan? Karena pada umumnya hal-hal yang diceritakan oleh siswa yang baru saja liburan yaitu keseruan pikinik dan kepuasan dalam bermain gadget. Tapi siswi ini beda dari yang lainnya. Ternyata ia melakukan suatu kegiatan yang tidak disukai oleh kebanyakan teman-temannya.
Sebagai orang yang punya minat besar dalam dunia literasi, maka saya menanggapi dengan antusias apa yang disampaikan oleh siswi yang masih duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar tersebut. Saya juga bertanya lebih lanjut tentang buku atau novel apa yang dibaca, beli di mana, dan uang yang digunakan untuk membeli buku ia dapatkan dari mana. Dengan senang hati ia menjawab bahwa uang yang digunakan untuk membeli buku berasal dari THR yaitu pemberian orang-orang saat hari raya Idul Fitri. Kebahagiaanku bertambah besar saat mendengar informasi ini.
Sungguh sangat membahagiakan jika mayoritas siswa memiliki minat yang besar dalam dunia literasi. Tapi faktanya kebalikan dari itu, bahkan para guru atau pendidik yang seharusnya punya hobi baca dan tulis atau minimal suka baca, ternyata tidak demikian. Masih perlu perjuangan besar untuk mendorong teman-teman pendidik dan siswanya agar punya minat dalam dunia literasi. Langkah sederhana yang bisa saya lakukan yaitu dengan membiasakan baca buku di sekolah dan mengampanyekan budaya literasi saat ada kesempatan bicara, misalnya saat apel pagi atau upacara.
Saya sampaikan pada para siswa bahwa dengan membaca maka wawasan akan semakin luas dan kosa kata akan semakin bertambah banyak sehingga akan memberikan dampak yang baik dalam mendukung kesuksesan belajar. Apakah setelah diberikan motivasi seperti ini mereka langsung tergerak untuk giat membaca? Tidak semudah itu. Perlu terus menerus diberikan motivasi, arahan, dan bimbingan agar mereka kenal dan cinta pada dunia literasi.
Jika saya amati, siswa atau anak-anak yang gemar membaca biasanya ada peran besar dari orang tuanya. Teladan dan dukungan dari orang tua sangat mempengaruhi ketertarikan anak pada buku. Dukungan berupa motivasi sekaligus dana yang disisihkan dalam sebuah keluarga untuk membeli buku ternyata sangat berkorelasi pada kebiasaan anak.
Sepengetahuan saya, di sekolah kami pernah ada 2 siswa yang memiliki karya dan menghasilkan buku Kecil-Kecil Punya Karya yang diterbitkan Mizan. Tumbuhnya minat dan bakat yang ada pada dua siswa tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa orangtuanya memiliki andil yang sangat besar. Oleh karena itu, tidak hanya para siswa yang didorong melainkan para orang tua juga perlu diajak untuk bisa mengenalkan buku pada anak sejak dini.
Sinergi antara guru, orang tua dan program-program yang ada di sekolah merupakan upaya yang bisa dilakukan demi melancarkan misi ini. Jika anak-anak senantiasa melihat orang tua dan gurunya banyak berinteraksi dengan smartphone, tidak usaah heran jika mereka juga ingin menirunya. Demikian juga jika mereka senantiasa melihat orang tua dan gurunya gemar membaca buku, maka bukan hal mustahil mereka akan tergerak untuk ikut membaca buku secara sukarela. Untuk hal ini saya sudah membuktikan di rumah, baik banyak berinteraksi dengan smartphone maupun dengan buku. Kedua hal tersebut sama-sama diminati dan ingin ditiru oleh anak-anak balita maupun yang sudah berumur lebih dari 5 tahun.
Sekolah-sekolah saat ini sebetulnya sudah menciptakan berbagai program untuk peningkatan literasi. Misalnya di sekolah kami ada program pojok baca, pagupon literasi, dan waktu kunjungan perpustakaan. Sebetulnya program ini bagus, hanya saja belum terlaksana dengan baik. Contoh kecil bahwa program ini belum berjalan dengan baik yaitu buku-buku yang ada hanya akan dijamah manakala ada tugas untuk membaca dan meringkas isi buku. Apabila tidak ada kewajiban mengerjakan tugas, maka perpustakaan dan pojok literasi tidak akan banyak yang mengunjungi.
Sumber utama dari ketidak terlaksanakannya program ini, saya amati terjadi karena para guru yang belum kompak dan allout dalam menyebarkan virus literasi di lingkungan kelas maupun sekolah. Kalau hanya satau atau dua guru yang peduli sementara sebagian besar lainnya acuh tak acuh, maka hasilnya bisa dipastikan belum memuaskan. Dari sini saya menyimpulkan bahwa para pendidik yang sudah melek literasi sebaiknya jangan putus asa, terus berkarya, dan gaungkan gema-gema literasi pada guru lainnya untuk mencintai dunia literasi. Jika para pendidik sudah memiliki kesadaran yang tinggi, maka para siswa akan lebih mudah untuk digerakkan.