Oleh: Syahrul
Terlalu banyak kenangan yang bisa diceritakan pada Kopdar kali ini. Mulai dari persiapan sebelum berangkat sampai ketika sudah berada di rumah saat ini. Rasanya belum bisa move on dari kehangatan keluarga besar SPK. Pelukan hangat para Suhu literasi, Kiai, emak-emak perhatian dan teman sebaya seperjuangan menyisakan kerinduan untuk berjumpa kembali. Rasanya Kopdar ke IV terlalu lama.
Baik. Mungkin akan saya buat cerita bersambung saja, dan ini bagian pertama.
From nothing to something mungkin adalah saya. Sejak bergabung awal pertama kali, SP* (Tiiit) sampai bertransformasi menjadi SPK terlalu banyak komunitas ini memberikan warna perjalanan literasi hidup saya. Mulai dari menjadi bagian dari pengurus, editor antologi sampai yang paling terakhir saat diberi amanah untuk menjadi moderator 2 tokoh senior SPK; Prof. Muhammad dan Dr. Ngainun Naim. Wow Amajing. Seperti mimpi. Itu tidak akan pernah terjadi tanpa ada SPK.
Meskipun sebagai badal, tapi ada kehormatan dan kepercayaan yang sangat besar kepada saya. Eh siapa sih? Seorang guru yang baru belajar menulis. Pemula dan pemalu, meminjam istilah Uni Rita.
Maka kesempatan emas ini tidak saya sia-siakan. Meskipun terlalu gugup untuk bisa berbicara di kampus dan dengan audiens terkeren yang pernah saya temukan. Melalui Dr. Agus Hariyono yang menyampaikan pesan ketua SPK Dr. Arfan, saya pun maju memberanikan diri.
Ada dua hal yang saya sampaikan sebagai pembuka. Pesan pertama tentang bagaimana saya berkarya setelah bergabung dengan SPK. Persis seperti apa yang dikatakan Dr. Ngainun, bahwa menulis akan membuatmu PD (Percaya Diri), dan saya merasakan itu. Setelah menulis saya ternyata jadi sangat PD sebagai guru saat berhadapan dengan guru-guru yang lain.
Pesan kedua kurang tersampaikan. Bahwa SPK bukan hanya komunitas penulis yang an sich ngomongin kepenulisan dengan segala tata tertib yang katanya “jahat” itu. Lebih dari itu, ada suasana kekeluargaan. Bahkan bisa lebih hangat dari hanya sekedar keluarga beologis. Tapi ada satu hal yang luput saya sampaikan saat itu. Dan sangat saya sesali setelah seminar selesai. Daripada mengganjal, maka late is better than nothing.
Berapa banyak grup yang kita ikuti? Dan hampir semua grup menjadi ajang perang bratayuda selama Pilpres dan Pileg. Perang antara Kampret dan Cebong. Dan hanya SPK lah yang steril dari hiruk pikuk politik. Bukan karena anggotanya apolitik, tapi karena kita keluarga besar yang lebih menjaga kedamaian perasaan daripada serang menyerang jagoan masing-masing.
Pilpres hanya emosional 5 tahunan, sementara SPK adalah komunitas tanpa akhir. Toh, kini mereka sudah duduk manis bagi-bagi kue. Sementara kita tetao harus menulis wajib dan menghindari pentol. Ya, komunitas tanpa akhir. Meminjam istilah Dr. Viqy, “Mari bersaudara sampai akhirat.” Kalau bisa minta SK dari malaikat agar di Surga kelak SPK tidak bubar tapi dibuatkan semacam nama surga. Hehehe.
Aliran dan afiliasi organisasi apa yang tidak ada di SPK? Lengkap. NU, Muhammadiyah, HTI, Taliban, sampai mazhab Jombloisme pun ada. Tapi, semajemuk ini kita sudah selesai dengan perbedaan. Saling menghargai pilihan. Tulisan yang dirasa menimbulkan konflik cukup di share di akun pribadi masing-masing.
Alhamdulillah, meskipun di grup ada pro 01 dan pro 02, tapi tidak ada dualisme grup. SPK Cebong vs SPK Kampret, atau SPK perjuangan.
Bersambung…
*maaf, judul dibuat provokatif untuk mengajak anda melirik tulisan sederhana ini. Hehe.