SUDAHKAH SEKOLAH KITA MEMBAHAGIAKAN? Refleksi Webinar “Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia”

0
1382

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

Pendidikan merupakan kebutuhan penting di era modern ini. Pendidikan dalam makna secara umum yaitu proses yang dialami peserta didik untuk membangun pengetahuan dan mengembangkan kompetensi dirinya. K.H.R. Zainuddin Fananie (1934) dalam bukunya Pedoman Pendidikan Modern mendefiniskan pendidikan sebagai “Segala yang dapat mempengaruhi kebaikan jiwa manusia sejak kecil hingga dewasa dan hingga menjadi orang tua” (Fananie, 2011). John A. Laska (1976) dalam buku Schooling and Education : Basic Concept and Problems merumuskan pendidikan sebagai “Upaya sengaja yang dilakukan pelajar atau (yang disertai) orang lainnya untuk mengontrol (atau memandu, mengarahkan, mempengaruhi dan mengelola) situasi belajar agar dapat meraih hasil belajar yang diinginkan”. Dilihat dari perspektif ini, pendidikan tidaklah terbatas pada sekolah, dan tidak juga terbatas pada kurikulum atau metodologi tradisional yang dilaksanakan di sekolah-sekolah. Pendidikan adalah suatu proses sepanjang hayat yang dapat mengambil tempat di berbagai lingkungan dan konteks yang tidak terbatas (Knight, 2007).

Tempat terjadinya proses pendidikan dapat di mana saja, salah satunya adalah sekolah. Sekolah dikenal sebagai tempat berlangsungnya pendidikan formal. Selain sekolah, masih banyak tempat lain yang dapat difungsikan sebagai tempat pendidikan. Sejak 1935, Ki Hajar Dewantara telah mengemukakan pandangannya tentang tempat pendidikan dengan konsep Tripusat pendidikan atau Trisentra pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan gerakan kepemudaan. Masing-masing pusat pendidikan tersebut mempunyai tujuannya yang khas, namun tetap berhubungan satu dengan yang lain (Tilaar, 2015). Sementara itu, K.H.R. Zainuddin Fananie (1934) menyatakan bahwa tempat pendidikan terbagi menjadi tiga bagian penting, yaitu rumah, sekolahan, dan pergaulan masyarakat umum. Rumah dan sekolah merupakan tempat yang dengan mudah dapat mengatur dan menguasai dengan seluas-luasnya karena di sinilah letak dan tertanamnya pendidikan yang sebanyak-banyaknya. Sedangkan pendidikan di pergaulan masyarakat umum sangat sulit dipengaruhi dan dicampurtangani karena masing-masing manusia mempunyai kemerdekaan untuk memilih jalannya sendiri (Fananie, 2015).

Keluarga merupakan pusat pendidikan pertama dan utama yang tidak dapat digantikan lembaga pendidikan mana pun. Dari lingkungan keluarga inilah lahir peradaban kemanusiaan karena dari situlah akan lahir budi pekerti manusia yang akan membina suatu hidup bersama, yakni kebudayaan. Tanpa hidup bersama tidak mungkin suatu kebudayaan akan lahir. Keterkaitan antara keluarga dan pendidikan budi pekerti ini, Ki Hajar Dewantara telah menyatakan bahwa, “Menghidupkan, menambah, dan menggembirakan perasaan kesosialan tidak akan dapat terlaksana jika tidak didahului oleh pendidikan diri (pendidikan individual), karena inilah dasarnya pendidikan budi pekerti, yang akan dapat menimbulkan rasa kemasyarakatan atau rasa social (Tilaar, 2015). Menurut K.H.R. Zainuddin Fananie (1934), azas pendidikan rumah (keluarga) adalah kecintaan dan kasih sayang sehingga pendidikan yang diberikan akan mudah tertanam. Pendidikan kepercayaan, keagamaan, dan adat istiadat wajib ditanamkan di dalam rumah.

Terkait bagaimana proses pendidikan yang berlangsung di sekolah selama ini, dalam sebuah acara webinar bertajuk “Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia” yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dr. Haidar Bagir memberikan pandangan dan pemikirannya. Tulisan berikut ini adalah hasil resume yang penulis buat berdasarkan paparan materi webinar yang disampaikan oleh narasumber. Artikel ini penulis tulis menurut gaya penulisan penulis dengan sedikit tambahan kata-kata interpretasi penulis pribadi, tetapi tetap mempertahankan esensi materi yang disampaikan narasumber. Artikel ini merupakan hasil dari penangkapan dan pemahaman penulis pribadi ketika mengikuti webinar. Sambil menyimak pemaparan materi oleh narasumber, penulis mencoba membuat mindmap materi webinar. Dari mindmap yang penulis buat selama mengikuti webinar tersebut, kemudian penulis kembangkan menjadi sebuah tulisan sebagaimana di bawah ini.

Dalam paparan materi webinarnya, Dr. Haidar Bagir menyatakan bahwa proses pendidikan haruslah berlangsung secara merdeka. Proses pendidikan yang dialami peserta didik harus terbebas dari tekanan. Peserta didik harus menjalani proses pendidikan secara alamiah. Oleh karena itu, hak peserta didik untuk mendapatkan kebebasan dan tersedianya fasilitas dan suasana lingkungan belajar yang kondusif untuk proses mengeksplorasi potensi diri dan berlatih mengembangkan diri.

Problem sekolah selama ini adalah kurang relevannya materi pendidikan dengan kebutuhan peserta didik. Selama ini peserta didik hanya dijejali dengan pelajaran-pelajaran yang terkadang kurang dibutuhkan oleh peserta didik. Selama ini peserta didik tidak memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri pelajaran apa yang akan diikuti sesuai minat dan bakatnya. Selama ini proses pendidikan berlangsung satu arah yakni dari sekolah ke anak didik. Peserta didik tidak diperlakukan sebagai subjek pendidikan tetapi justru sebagai objek pendidikan.

Sejak masyarakat mengenal sekolah, masyarakat dunia terlalu berlebihan dalam memberikan penilaian terhadap sekolah. Sekolah dianggap satu-satunya institusi pendidikan yang dapat memberikan jaminan kesuksesan bagi masa depan anak didik. Para orang tua kurang menyadari bahwa kesuksesan anak didik bukan ditentukan oleh sekolah, melainkan bergantung pada seberapa bahagia peserta didik belajar dan mengembangkan potensi dirinya. Sekolah bukanlah sumber kesuksesan anak didik tetapi hanyalah media bagi  anak didik untuk mengenali dan mengeksplorasi potensi dirinya dan tempat kondusif untuk mengembangkan diri. Karena sekolah bukanlah satu-satunya sumber kesuksesan anak didik, maka di masa pandemic Covid-19 ini ketika Kemendikbud memutuskan untuk melaksanakan pembelajaran secara daring untuk mencegah terjadinya penularan virus, maka seharusnya para orang tua tidak perlu terlalu khawatir dengan hasil belajar peserta didik. Para orang tua tidak perlu ketakutan jika nanti anaknya tidak sukses sekolahnya.

Di masa pandemic Covid-19 ketika pembelajaran di sekolah dialihkan dalam moda daring sebenarnya anak didik tidak terlalu dirugikan karena sebenarnya poin penting dari proses pendidikan adalah berada pada anak didik sendiri. Ketika pembelajaran jarak jauh (PJJ) diterapkan dengan moda daring, sebenarnya peserta didik tetap dapat belajar dengan maksimal karena mereka sendiri yang menentukan pola belajarnya. Di era pembelajaran daring ini justru peserta didik memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk mengeksplorasi potensi dan kompetensi serta keterampilan dirinya melalui berbagai sarana belajar. Di sini hanya diperlukan dukungan orang tua terhadap proses belajar anak didik dan penyediaan sarana prasarana yang mendukung proses belajar anak didik.

Di dunia pendidikan masih ada pandangan yang keliru tentang proses belajar. Belajar masih dipandang sebagai anak didik menerima mentah-mentah pengetahuan dari pendidik. Mengajar masih diartikan sebagai aktivitas menjejalkan pengetahuan ke peserta didik. Padahal menurut teori belajar konstruktivisme, anak mengetahui dengan cara mengkonstruk pengetahuan dan informasi yang diterimanya, bukan dengan menjejalkan pengetahuan dan informasi yang diterimanya dalam struktur kognitifnya tanpa melalui proses aktif. Dalam belajar peserta didik sebenarnya telah memiliki prior knowledge (pengetahuan awal) yang diperoleh ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Ketika anak-anak didik menerima pengetahuan dan informasi baru dari pendidik, maka mereka akan mengolah pengetahuan dan informasi baru tersebut dalam struktur kognitifnya dan mengkaitkan dengan pegetahuan awal mereka. Dalam struktur kognitifnya, peserta didik akan mengalami proses asimilasi dan akomodasi sehingga mampu membentuk sebuah pemahaman yang bermakna. Menurut seorang filosof, pikiran bukanlah bejana untuk diisi tetapi api untuk dinyalakan. Kegagalan peserta didik menjalani proses belajarnya di sekolah bukan karena kurangnya usaha sekolah tetapi karena sekolah justru membuat siswa gagal atau dengan kata lain sekolahlah yang telah merusak peserta didik. Jadi jika seorang anak telah lulus sekolah tetapi ternyata dia tidak sukses, maka penyebabnya karena sekolah tidak membekalinya dengan kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan. Seharusnya sekolah (baca : pendidik) berpikir visioner yaitu memilihkan dan mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan peserta didik di masa depan.

Kenyataan di lapangan, umumnya pendidik di sekolah formal hanya mengajarkan pengetahuan-pengetahuan yang sudah kadaluwarsa atau pengetahuan zaman sekarang. Di sinilah diperlukan pendidik-pendidik yang mampu melihat masa depan dalam arti memiliki kemampuan memprediksi pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang sehingga kompetensi yang dimiliki peserta didiknya tidak kadaluwarsa nantinya.

Proses pendidikan di sekolah seharusnya mampu membuat peserta didik bahagia. Indikator bahwa peserta didik bahagia ketika mengikuti proses pendidikan adalah apakah peserta didik betah berada di sekolah? Apakah peserta didik merasa belajar secara serius ataukah justru mereka merasa enjoy di sekolah? Di sinilah peran pendidik sangat diperlukan untuk menghadirkan lingkungan pendidikan yang membahagiakan. Sekolah yang baik harus mampu menghasilkan peserta didik yang tidak hanya sukses tetapi juga bahagia. Itulah tujuan penting penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Peserta didik tidak boleh merasa tersiksa dan tidak bebas ketika belajar. Mereka harus merasakan kebahagiaan dan kebebasan dalam proses belajarnya. Oleh karena itu penting sekali kreativitas para pendidik dalam mendisain suasana pendidikan yang membahagiakan bagi peserta didik.

Dalam upaya menciptakan kreativitas-kreativitas dalam proses pendidikan diperlukan upaya mengkhayal seandainya suasana yang sangat menyenangkan itu dapat dihadirkan di sekolah. Mengkhayal merupakan aspek penting dalam kreativitas. Tanpa kemampuan mengkhayal sulit bagi seorang pendidik untuk kreatif dalam mendisain suasana pendidikan yang membahagiakan. Selama ini ada keyakinan bahwa hanya yang empiris saja yang bersifat objektif, sedangkan pengalaman-pengalam non empiris dianggap tidak objektif kebenarannya. Padahal sudah diakui kalangan saintis bahwa instusi yang tidak empiris juga merupakan bentuk memperoleh pengetahuan, selain juga wahyu. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman non empiris juga penting untuk dipertimbangkan sebagai metode proses pendidikan di sekolah. []

———————————————————

*) Penulis adalah staff pengajar di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS), Peraih Juara 1 Nasional bidang kimia pada lomba penulisan buku pelajaran di Kemenag RI (2007), penulis buku tersertifikasi BNSP, penulis dan pegiat literasi yang telah menerbitkan 30 judul buku, dan konsultan penerbitan buku pelajaran bidang kimia dan IPA.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here