Serial ‘Teori’ Menulis (18):
Oleh: MUCH. KHOIRI
Penggerak literasi, editor, dan penulis 34 buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
KATA siapa teori menulis itu tidak penting? Untuk memotivasi orang agar tidak takut menulis, itulah yang kerap disampaikan oleh tutor atau motivator kepenulisan. Katanya, jangan pedulikan teori, langsung tulis, tulis, dan tulis. Belajar menulis ya dengan menulis, bukan dengan belajar teori menulis. Namun, nanti dulu, mari renungkan sejenak, benarkah demikian?
Kalimat motivatif itu benar adanya jika dialamatkan untuk menggerakkan orang menulis, dan membuatnya tidak takut menulis. Itu untuk mereka yang menghadapi kecemasan besar untuk menulis. Terlebih bagi para pemula atau mereka yang akan belajar menulis, kalimat itu tepat konteksnya. Namun, bagi yang sudah masuk ke dalam lingkaran pembelajaran menulis, kalimat itu akan menemukan tuntutan yang lebih realistis: bahwa untuk menulis, teori itu penting dan latihan itu wajib.
Jika Arswendo Atmowiloto menulis buku Mengarang Itu Gampang, bukan berarti bahwa mengarang itu sah mengabaikan teori dan kaidah-kaidah penulisan sama sekali. Sementara, Budi Darma pernah menulis artikel di harian Kompas (29/9/1993) yang berjudul “Menulis Itu Sulit.” Dua sastrawan kenamaan kita itu, dengan gayanya masing-masing, tidak akan memungkiri betapa pentingnya penerapan kaidah menulis ketika orang menulis. Saya yakin, keduanya sudah memiliki teori menulis sendiri.
Jika ada pernyataan penulis mengatakan bahwa dirinya menulis tanpa teori apapun, itu sebenarnya pantas diperdebatkan. Sebab, dalam menulis, dia pastilah telah mempraktikkan teori-teori menulis yang telah dikuasainya dan menyatu dengan dirinya selama ini. Dia telah memiliki dan menerapkan _ars poetica_nya sendiri, yang telah dia bangun berdasarkan teori dan praktik dirinya selama ini. Sedangkan teorinya dia peroleh dari membaca buku teori atau karya-karya penulis (terdahulu) lain, entah disengaja atau tidak. Ada konstruksi teori menulis yang menjadi basis bagi praktik menulisnya.
Mustahil penulis menolak kehadiran berlakunya teori menulis dalam dirinya. Teori menulis itu luas jangkauannya, bisa tentang hakikat tulisan, menangkap inspirasi, menentukan ide, mencari informasi pendukung, membuat kerangka tulisan, menulis draf, mereview, dan merevisi. Dengan kata lain, teori menulis bisa tentang seluk-beluk ide, mengorganisasikannya, dan menerapkan penggunaan bahasa dengan baik. Khusus tentang penggunaan bahasa sendiri, ada teori tentang sintaks, semantik, diksi, dan sebagainya.
Terus terang, apakah kita bisa mengabaikan unsur-unsur teori menulis di atas pada saat menulis? Bisa diyakini, semua itu penting dan tidak bisa diabaikan. Masalah kapan seseorang harus mempelajari dan menguasainya, itu yang layak ditakar. Ada yang menuntut orang lain untuk mempelajari teori dulu dan kemudian melakukan praktik atau latihan. Ada pula yang meminta orang lain untuk menguasai teori dengan teknik membaca ngemil, dan menerapkannya secara bertahap di dalam tulisan. Karena pada dasarnya orang Indonesia telah “menguasai” bahasa Indonesia, motivasi yang diberikan lebih mengarah ke wajibnya praktik menulis.
Padahal untuk menghasilkan tulisan yang bagus, teori menulis itu perlu dikuasai, setidaknya dipelajari dengan baik. Lebih dari itu, praktik dan latihan menulis wajib adanya. Teori naik sepeda itu penting, termasuk bagaimana memedal, mengerem, membelokkan, dan sebagainya. Tapi praktik dan latihan naik sepeda jauh lebih penting. Untuk bisa mahir naik sepeda, jangan hanya menguasai teori naik sepeda, namun perlu praktik dan latihan naik sepeda secara nyata.
Salah dan jatuh saat praktik/latihan bersepeda, itu biasa. Kali lain, jangan sampai jatuh lagi. Jika terpaksa jatuh, ya bangkit lagi, dan latihan lagi, hingga kita mahir mengendarai sepeda. Yang penting bukan berapa kali jatuhnya, melainkan berapa kali kita bangun kembali dari kejatuhan. Analoginya, tulisan kita dinilai salah atau kurang, itu wajar. Kita revisi lagi, dan berlatihan lagi, sebanyak-banyaknya. Kesuksesan bukan diperoleh dengan satu lompatan besar, melainkan dengan puluhan atau ratusan langkah kecil yang dilakoni dengan istikamah.
Jika orang menulis tanpa penguasaan teori menulis yang mumpuni, bisa dicermati bagaimana dia telah menuangkan kekayaan idenya, penataan idenya dalam paragraf-paragraf yang koheren, dan penggunaan bahasanya. Bisa dijamin, tulisan orang itu tidak mudah diikuti dan cenderung membingungkan. Pembaca yang kritis, termasuk para editor, mengenali perbedaan antara tulisan yang ditulis oleh penulis yang menguasai teori menulis dan penulis yang kurang menguasai teori menulis.
Maka, jangan alergi dengan teori menulis. Pun tak usah ragu untuk banyak berlatih menulis. Menulis banyak itu adalah belajar menulis yang berkualitas. Kemahiran itu lahir karena latihan yang tanpa kenal lelah. Tentu, kita tidak mau selamanya menulis sekadar menulis. Ke depan tulisan kita harus lebih berkualitas. Jika menulis sekadar menulis, anak kecil pun bisa. Masak kita orang dewasa hanya menulis seperti anak kecil?[]