Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Kita mungkin pernah mendengar kisah yang sangat terkenal di kalangan warga Muhammadiyah. Kisah ini menginspirasi banyak orang untuk membaca dan merenungkan ulang sebuah surat pendek dalam Al-Quran yang sangat sering dibaca saat shalat, yaitu Surat Al-Ma’un. Dari surat ini pula Muhammadiyah berkembang pesat seperti yang kita lihat sekarang ini.
Dalam sebuah pengajian rutin Subuh, K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir Surat Al-Ma’un secara berulang-ulang selama beberapa hari tanpa diganti atau pindah ke surat yang lain. Mungkin karena bosan atau merasa sudah hafal dan paham, salah seorang santri memberanikan diri bertanya kepada sang kiai. “Pak Kiai, mengapa pengajian kita tidak berganti ke surat lain dan hanya mengulang-ulang Surat Al-Ma’un?,” tanya santri bernama Sudjak itu penasaran.
Mendengar pertanyaan itu, sang kiai justru bertanya balik kepada santrinya, “Apakah kalian sudah benar-benar mengerti akan maksud Surat Al-Ma’un?”
Para santri serentak menjawab bahwa mereka tidak hanya sekedar paham, bahkan mereka semua sudah hafal. Kemudian Kiai Dahlan bertanya kepada mereka, “Apakah makna ayat-ayatnya yang sudah dihafal itu sudah diamalkan?”
Para santri menjawab dengan bertanya, “Apa yang harus diamalkan, bukankah Surat Al-Ma’un sering dibaca ketika shalat?”
Kiai Dahlan pun menjelaskan kepada muridnya bahwa bukan itu yang dimaksud dengan mengamalkan. Tapi, apa yang sudah dipahami dari ayat ini untuk bisa dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari. Kiai Ahmad Dahlan pun memerintahkan kepada santrinya untuk mencari orang-orang miskin yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.
“Dan mulai besuk kalian harus membawa beras, gula, pakaian, dan makanan apa saja yang kalian punya di rumah. Kumpulkan di mushalla ini. Kalau ada tetangganya yang sakit segera jenguk dan bawa ke rumah sakit. Setelah itu, kita bagikan ke fakir miskin, anak yatim, orang-orang yang sakit yang ada di sekitar kita.”
Kisah ini menginspirasi kita bahwa beriman itu memang harus didasari dan dibarengi dengan berilmu secara terus menerus. Dengan redaksi yang berbeda-beda, Rasulullah mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu di mana saja dan kapan saja. Sejak ada dalam buaian ibunda hingga hidup telah berakhir di dalam keranda. Dalam QS. Al-Mujadilah: 11, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Namun, menurut KHA Dahlan, orang yang berilmu itu tidak cukup, karena ilmu itu bisa menjadi tidak berguna. Ia harus bisa mengamalkan sesuai kemampuannya. Orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan dalam keseharian itu ibarat sebuah pohon rindang tapi tidak ada buahnya. Dalam Al-Quran, kata amanu (beriman) seringkali bergandengan dengan amilu ash-shalihat (berbuat kesalehan).
Imam Syafii mengatakan al-imanu yazidu wa yanqushu, iman itu bertambah dan berkurang. Iman bisa bertambah dengan amal kesalehan, baik kesalehan personal antara dirinya dengan Allah maupun kesalehan social sesama manusia. Iman berkurang karena kemaksiatan dan dosa yang kita lakukan.
Kendati demikian, Imam Al-Ghazali berpesan, “Semua manusia akan merugi kecuali mereka yang berilmu. Semua orang yang berilmu juga akan merugi kecuali mereka yang beramal. Dan semua orang yang beramal akan merugi kecuali mereka yang IKHLAS”. Jadi, beriman tidak cukup dengan ilmu dan amal, tetapi harus didasari keikhlasan karena Allah.
Bahkan, kita juga dituntut untuk selalu konsisten (istiqamah) dalam beramal, karena Allah mencintai amalan baik yang dilakukan secara konsisten walaupun sedikit. Istiqamah dalam beramal akan memudahkan seseorang untuk mencapai garis finish kemenangan. Istiqamah memudahkan seseorang untuk beramal secara rutin, sehingga tidak merasa kesulitan untuk mengerjakannya dan tidak gampang lupa. Dan, istiqamah dalam amalan rutin akan membuat seseorang bersemangat terus dengan variasi amalannya. Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang-orang ikhlas. Amin. Wallahu a’lam.
Bahrus Surur-Iyunk, Guru SMA Muhamamdiyah I Sumenep, penulis buku-buku motivasi Islam.