Oleh: M Arfan Mu’ammar
Jika yang suci selalu bening, maka tidak ada kopi di antara kita (Sudjiwo Tedjo)
Para pecinta kopi, sambil ngopi bisa menikmati tulisan reflektif ini. Untuk menengok sejenak sejarah perkopian di dunia.
Saya baru “mudeng” setelah baca buku Gus Nadir. Ternyata kopi awal mulanya dari Yaman. Dan budaya minum kopi (ngopi) pertama kali justru dibawa oleh para sufi. Para sufi di Yaman terbiasa meminum kopi sebelum memulai ritual zikirnya. Konon, meminum kopi dapat membuat mereka lebih konsentrasi dan fokus (dalam bahasa agama: lebih khusuk). Dari Yaman kemudian menyebarlah tradisi minum kopi (ngopi) ke Makkah, Mesir, Syiria, serta Turki di abad 15 dan 16 Masehi.
Karena efek kafein di dalam kopi yang dianggap setara dengan alkohol, maka minum kopi sempat diperdebatkan halal-haramnya oleh para ulama di Makkah, Kairo dan Istanbul pada saat itu.
Bahkan pada masa kepemimpinan khalifah Sultan Murad IV (1623-1640), kopi difatwakan haram, bahkan peminum kopi dijatuhi hukuman mati. Untung Anda dan saya tidak hidup di zaman itu. Hehe
Dari Yaman dan Istanbul, kopi kemudian menyebar ke dunia Barat. VOC Belanda yang menjajah Nusantara juga punya andil besar menyebarkan kopi dari wilayah Nusantara ke Eropa di abad ke-17.
Akan tetapi ketika kopi masuk Eropa, kopi sempat dicurigai sebagai minuman muslim dan banyak yang enggan meminumnya.
Baru setelah Paus Clement VIII dilaporkan sangat menikmati minum kopi, lalu keluarlah statemen dari Vatikan bahwa “kopi tidak selayaknya menjadi monopoli orang Islam”. Setelah kejadian itu, Eropa pun memulai menikmati tradisi minum kopi, yang sebelumnya Eropa memiliki tradisi minum teh.
Saya sendiri, memulai tradisi minum kopi (ngopi) baru tiga tahun terakhir. Tapi bukan kopi murni, namun kopi yang sudah dicampur dengan rasa lain, seperti susu, hazelnut, caramel macchiato, milk tea dan lainnya.
Dahulu, ketika belum suka minum kopi, saya selalu minta es teh ketika diajak ngopi di warung sama teman, kalau gak es teh ya es milo. Gak keren banget kan. Hehe
Saat ini sudah mulai suka kopi, walaupun bukan murni kopi. Pokoknya ada manis-manisnya, tidak murni pahit.
Jarang sekali saya ngopi di rumah. Di satu sisi memang karena tidak nyetok kopi, di sisi lain istri tidak begitu pandai membuat kopi.
Tempat ngopi saya tidak menetap, tidak fanatik pada tempat tertentu. Mulai dari cafe mentereng seperti starbuck dan excelso, hingga warung kopi di emperan jalan, seperti warung kopi mbak Sri Pongangan dan warung kopi Jl. Usman Sadar.
Karena saking sukanya minum kopi yang manis (bercampur susu, caramel macchiato, vanilla, hazelnut dan lainnya), saya sempat mendapat sindiran dari kakak saya yang perawat ketika mengomentari gambar kopi yang saya buat status di WA: “Saiki lebih sering ngopi ya? Imbangi dengan olahraga. Karena tak lihat kopine kopi manis”.
Saya langsung terbayang dengan penyakit diabetes yang sangat mengerikan itu. Teman saya, harus rela diamputasi kakinya karena penyakit diabetes.
Sejak masih menjadi tradisi timur tengah, kopi memang disajikan dengan jahe dan rempah-rempah di gelas yang kecil. Tapi sejak minum kopi menjadi tradisi di Eropa, ia memiliki varian rasa yang lebih beragam, dengan gelas yang lebih besar, perusahaan yang memproduksi itu sekarang kita kenal dengan Starbucks.
Racikan kopi yang semakin beragam itu, tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa pahitnya. Itulah filosofi kopi, “sesempurna-sempurna racikan kopi, pasti tetap ada rasa pahitnya”, begitu juga dengan hidup kita, sebahagia-bahagia hidup, pasti ada pahit-asamnya.
Sembari menikmati lembar demi lembar pengetehuan dalam buku. Ku seruput kopiku sambil bersenandung membacakan kutipan bait syair Sudjiwo Tedjo: “Kekasih, engkau kopi puncak malamku, pahit dan kelam tanpa kusedu”.