Serial ‘Teori’ Menulis (6):
Oleh: MUCH. KHOIRI
(Dosen, penggerak literasi, editor, dan penulis buku dari Unesa Surabaya)
BANYAK orang takut menulis atau tidak pede membagi tulisannya ke grup, blog, atau media lain. Banyak sekali, bahkan, agaknya melebihi orang yang tak terbiasa membaca. Sebab, mereka merasa tulisannya “sampah” alias tidak layak dikonsumsi orang lain.
Tidak jelas apa batasan “sampah” itu, namun dari ungkapan mereka, bisa ditangkap bahwa hal itu mengacu ke kualitas. Tulisan sampah itu diasumsilan rendah kualitasnya. Itulah mengapa si penulis khawatir atau takut membaginya ke orang lain, jangan-jangan diremehkan atau diolok-olok dan dicaci-maki.
Jika itu batasannya, tulisan dianggap sampah karena rendah dalam unsur gagasan, pengorganisasian gagasan, dan penggunaan bahasa. Dalam tiga unsur tulisan ini, tulisan sampah tidak atau belum memenuhi standar kaidah (syariah) tulisan yang baik. Jika dinilai, ia belum mendapatkan nilai memuaskan.
Jika dicermati lagi, mungkin letak sampah ada pada kualitas gagasan, mungkin pula kualitas penataan atau pengorganisasian gagasan itu dalam tulisan, atau mungkin pada kualitas penggunaan bahasa. Atau juga, letaknya hanya satu unsur, dua unsur, atau ketiganya. Apapun jua, hal ini kerap membuat penulis (pemula) jadi minder dan cemas jika harus berbagi. Tak usah jauh-jauh, teman saya banyak.
Untuk Anda yang merasa bahwa tulisan Anda itu sampah, jangan khawatir, Anda punya banyak teman, termasuk saya. Dulu, ketika saya mula-mula belajar menulis untuk media massa (koran dan majalah), tulisan saya benar-benar tulisan sampah (*andaikata saya nilai dari kaca mata kekinian). Padahal, pada saat itu, saya telah berjuang keras untuk menghasilkan tulisan terbaik. Terbaik pun, masih sampah, bayangkan. Masuk akal jika saat itu tulisan saya sulit menembus koran.
Namun, saya tidak berhenti menangisi dan mengutuk tulisan sampah saya. Ada seorang penulis top menegaskan: Jangan biarkan sehari pun terlewati tanpa menulis. Jika sampah yang bisa kautulis, maka tulislah sampah itu. Sampah yang banyak akan menjadi kompos hanya dengan sedikit sentuhan.”
Subhanallah. Andaikata saya melihat sampah hanya sebagai sampah, dan bukan calon kompos, mungkin saya telah berhenti menulis. Seabrek teman saya menyerah begitu. Namun, saya tidak mau takluk semudah itu. Saya ubah mindset saya, sampah itu adalah calon kompos yang bermanfaat. Caranya: beri sentuhan (treatment) yang telaten.
Maka, saya dulu tetap menulis meski tulisan saya sampah. 1986/1987-an belum ada medsos atau smarphone, jadi saya berbagi tulisan dengan membaginya ke teman penulis atau senior saya. Saya hapuskan rasa takut dan khawatir saya. Lebih baik salah tapi mencoba dari pada tidak menulis sama sekali. Tahun-tahun itu saya lantas menulis istiqamah sekitar 20 artikel per bulan.
Saya juga meyakini, saat itu, bahwa menulis itu keterampilan, dan keterampilan akan mencapai tingkat cakap atau mahir jika dilakukan latihan atau praktik yang banyak. Makin banyak praktik, makin besar peluangnya untuk mahir atau cakap. Menulis yang banyak, implisitnya, adalah belajar menulis yang baik.
Pada suatu ketika ada teman yang berkomentar atas kebiasaan saya menulis setiap hari. Katanya, saya boros ide dan kurang kontemplasi. Jawab saya simpel saja: “Satu-satunya cara menemukan ide yang bagus adalah dengan punya banyak ide. Lalu, kita tidak tahu di mana letak nasib tulisan saya: mana yang akan menyentuh kalbu orang lain dan kemudian dinilai bagus.”
Maka, mulai sekarang, jangan tunggu ada ide terbagus. Jangan tunggu mahir menulis untuk menulis. Ayo menulis dengan menulis sebanyak-banyaknya, meski mungkin seperti tulisan sampah. Proses menulis itu akan membuat kita belajar optimal untuk memperbaiki kualitas–disadari atau tidak. Lihatlah, kelak sampah itu akan menjadi kompos yang mahal.[]