BUKU SEBAGAI IKON PENULISNYA

0
2022
Bersama Cak Sha Suhartoko

Oleh: Much. Khoiri

Kalau buku Merahnya Merah disebut, kita langsung ingat Iwan Simatupang, sebab novel tersebut adalah karya ikonik Iwan Simatupang. Demikian pun kalau kita menyebut Orang-Orang Bloomington, kita langsung ingat Budi Darma, ya karya kumpulan cerpen itu karya ikonik Budi Darma. Tidak akan meleset.

Di sini hanya dua contoh judul karya yang saya sebut di sini, bukan karena hanya mereka berdua yang memiliki karya-karya ikonik, melainkan karena cukup banyak pengarang Indonesia yang tak perlu saya eja di sini hanya untuk memberi contoh. Sebaliknya, silakan selidiki sendiri siapa saja mereka. Bukankah penulis adalah investigator terbaik di bidangnya.

Untuk mengenali apakah karya tersebut termasuk ikonik, sederhana saja. Ketika kita mencari artikel tentang seorang pengarang atau penulis di Google.com (mungkin Wikipedia.com) , karya manakah yang (hampir) selalu disebut dan dilekatkan dengan nama pengarang/penulis. Semakin kerap disebut, semakin mendekati kebenaran, bahwa karya tertentu merupakan karya ikoniknya. Jika karyanya tak disebutkan, abaikan saja.

Perlu saya sampaikan, karya ikonik adalah karya kreatif yang menjadi ikon pribadi pengarang, serta representasi diri dan karya pengarang itu secara keseluruhan. Andaikata membaca karya itu, kita akan mampu memduga bahwa karya-karya lainnya berkualifikasi lebih kurang sama. Tentu, semua itu akibat keajegan atau konsistensi pengarang di dalam menuangkan gagasan ke dalam tulisan.

Dalam hal ini, untuk mencapai karya ikonik, seorang pengarang wajib mengasah ars poetica sendiri secara terus-menerus dan berkelanjutan. Waktunya berapa lama, itu sangat relatif. Guna menemukan ars poetica yang konsisten dan bagus, dia harus berlatih habis-habisan—bukan hanya menulis setiap hari, melainkan menulis setiap hari dan konsisten.

Justru dengan menulis konsisten setiap hari itulah, writing style (sebagai wujud ars poetica) pengarang itu akan terbentuk dengan alamiah dan meningkat dari satu waktu ke waktu selanjutnya. Mengapa demikian? Jangan lupa, menulis itu keterampilan. Semakin sering dan konsisten dalam berpraktik dan berlatih, maka otomatis kemahiran akan diperoleh. Kemahiran yang diwujudkan dalam karya, menunjukkan keikonan karya yang dihasilkan.

Pertanyaannya, apakah karya (buku) Anda sudah merupakan ikon Anda sendiri? Apakah buku yang Anda hasilkan bisa menjadi representasi Anda dan karya Anda, ataukah tidak jelas hubungannya? Jika belum, apakah Anda berani meniti jalan berliku dan terjal untuk menemukan “kemuliaan” dari menulis setiap hari secara konsisten.

Sekarang, mari camkan dan renungkan dengan saksama, seberapa dalam Anda menemukan mutiara hikmah terpendam dari judul tulisan ini: “Buku Sebagai Ikon Penulisnya.” Setelah itu, tentukan sikap Anda dalam memilih keputusan yang tepat. Lalu, biarlah saya saksikan kapan Anda  mewujudkan amanat dari judul tersebut. []

*Much. Khoiri adalah dosen Unesa, penggerak literasi, editor, dan penulis buku dari Universitas Negeri Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

 

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here