Oleh Much. Khoiri
Ada sesuatu yang patut saya kemukakan sebagai refleksi kopdar Sahabat Pena Kita kali ini, yakni bahwa menulis kreatif (creative writing) sudah berkembang semakin luas dan beragam—berkembang dari cakupan ranah sebelumnya.
Sekitar dua dasa warna silam, menulis kreatif dipandang hanya mencakup tulisan-tulisan bergenre sastra, yang meliputi prosa (cerpen, novelet, novel), puisi, dan drama. Ada pula yang menempatkan esai/prosa kreatif pada posisi tulisan kreatif, sebagaimana yang ditemukan pada esai-esai kreatif dalam sastra.
Dengan demikian, dulu penulis kreatif seakan hanya menjadi dunia pada cerpenis, novelis, penyair, dramawan, dan esais (prosais) kreatif. Penulis di luar mereka bukanlah penulis kreatif, melainkan ‘penulis’ begitu saja—lazim disesuaikan genre tulisan yang ditekuninya: misalnya penulis opini, kolom, resensi, dan sebagainya.
Kemudian dunia jurnalistik berkembang pesat dan demikian pula dunia penulisan sastra, dan hal ini ikut memberikan warna bagi dunia menulis kreatif. Akhirnya, ada perkembangan menarik, yakni bahwa menulis kreatif mencakup bukan hanya menulis sastra, melainkan juga menulis catatan perjalanan (travel writing) dan jurnalisme sastrawi (literary journalism), serta genre-genre baru belakangan ini.
Untuk penulisan karya sastra dan esai kreatif, saya tidak akan membeberkannya di sini. Hal ini sudah sering disampaikan oleh penulis lain di berbagai media dan kesempatan. Sebaliknya, saya hanya ingin menyinggung tentang catatan perjalanan, jurnalisme sastrawi, dan genre-genre baru tersebut.
Pertama, catatan perjalanan (travel writing). Tulisan bergenre catatan perjalanan adalah tulisan tentang tempat, orang, dan benda-benda di tempat lain—juga tulisan tentang cara bepergian, kapan harus bepergian, dan saran bepergian—semuanya dengan mempertimbangkan pembaca. Tulisan harus informatif dan menarik bagi pembaca, agar pembaca benar-benar mengikutinya.
Dengan kalimat lain, catatan perjalanan ini tulisan kreatif tentang menyampaikan pengalaman perjalanan Anda sendiri kepada orang lain sehingga mereka dapat menirunya atau setidaknya tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang Anda lakukan. Gaya tulisan lincah dan komunikatif, bahkan lebih bagus dilengkapi dengan diksi-diksi sastra atau jurnalistik.
Kalau kita mengikuti tulisan-tulisan Dahlan Iskan atau Gol A Gong, banyak di antaranya yang merupakan tulisan catatan perjalanan. Tulisan-tulisan mereka disajikan dengan kemasan yang sangat menarik, mengalir, mendeskripsikan detil-detil yang dipentingkan, sehingga pembaca seakan diajak untuk mengikuti perjalanan mereka. Melibatkan emosi pembaca menjadi kekuatan tulisan mereka. Sekali lagi, bahasanya lincah dan komunikatif.
Jika Anda ingin menelusuri lebih lanjut tentang tulisan-tulisan catatan perjalanan, Anda perlu mendapatkan buku Stephanie Elizondo Griest: The Best Women Travel Writing 2010, atau buku James O’Reilly et.al: The Best Travel Writing 2010, atau buku Laporan Jurnalistik Kompas: Ekspedisi Jejak Peradaban NTT. Ketiga buku ini sedikit contoh yang mudah diikuti.
Kedua, jurnalisme sastrawi (literary journalism). Jurnalisme sastrawi adalah suatu bentuk nonfiksi yang menggabungkan pelaporan faktual dengan teknik naratif dan strategi gaya yang secara tradisional diasosiasikan dengan fiksi. Ia juga dikenal sebagai nonfiksi kreatif (creative nonfiction).
Dalam karya jurnalisme sastrawi, hakikatnya ia adalah fakta, dan itulah titik beratnya—namun penyampaiannya bersifat sastrawi (menggunakan diksi-diksi sastra yang estetik). Fakta dinarasikan sedemikian rupa sehingga pembaca, jika tidak waspada, akan menyimpulkan bahwa karya yang dibacanya adalah karya fiksi, padahal itu karya jurnalistik.
Ada beberapa contoh buku jurnalistik sastrawi yang bisa Anda telusuri, yakni buku Truman Capote: In Cold Blood (1965/2017), buku Tom Wolfe: The Electric Kool-Aid Acid Test (1968/2008), buku Joseph Mitchell: Up in the Old Habel and Other Stories (1992), atau buku Mark Newzil & Norman Sims: Canoes (A Natural History in North America) (2016).
Dalam hal ini, Anda jangan kaget. Ketika membaca buku-buku tersebut, mungkin saja Anda menganggapnya sebagai buku fiksi atau novel. Bahasanya indah, penyajiannya naratif dengan dialog sana-sini. Meski demikian, itu bukan fiksi atau novel, melainkan karya jurnalistik sastrawi. Anda penasaran? Silakan dapatkan buku-buku itu dan nikmati isinya.
Ada pengalaman kecil. Entah tahun berapa saya lupa, ada mahasiswa menulis proposal skripsi—bukan bimbingan saya. Dia membahas suatu topik yang menarik dari buku karya jurnalistik sastrawai yang dia kira sebuah novel. Lalu, saya sampaikan bahwa buku yang akan bahas dalam skripsi tu adalah karya jurnalistik sastrawi. Saya tunjukkan buktinya, siapa penulis buku itu, yang ternyata adalah seorang jurnalis dari sebuah media di Amerika. Semula dia terkejut dan menyesal. Namun, akhirnya mahasiswa itu memahaminya, dan siap berganti topik bahasan.
Ketiga, berkembangnya genre-genre baru. Belakangan ini telah hadir genre-genre tulisan baru di kalangan penulis, yang diciptakan oleh sejumlah penulis. Anda mengenal pentigraf (cerpen tiga paragraf), flash fiction, cermin (cerita mini) atau fiksi mini, puisi 2.0, dan sebagainya. Kehadiran genre-genre baru itu menambah wawasan bagi penulis. Anda tinggal memilih saja mana yang cocok untuk kita pelajari dan tekuni dengan sungguh-sungguh.
Contoh-contoh tulisan semacam ini akhir-akhir ini menghuni dan berseliweran secara masif di grup-grup WhatsApp yang terdiri atas para penulis dari berbagai kalangan. Kebanyakan mereka masih sedang mempelajarinya, meski ada pula yang sudah menguasainya dengan baik. Bahkan tidak sedikit buku yang sudah berhasil diterbitkannya. Dengan demikian, tidak sulit menemukan karya-karya seperti itu.
Pertanyaannya, apakah signifikansinya dunia menulis kreatif bagi para penulis? Pada satu sisi, ini merupakan peluang bagi para penulis untuk menulis lebih banyak genre yang menjadi tren dewasa ini. Pada sisi lainnya, Anda sebagai penulis juga tertantang untuk menguasai lebih banyak genre tulisan.
Mengapa penulis perlu menguasai lebih banyak genre tulisan? Semakin banyak genre tulisan yang dikuasai, semakin mudah bagi penulis untuk menentukan genre apa yang tepat untuk mewadahi inspirasi/ide menulis. Inspirasi/ide menulis lah yang mencari bentuk (genre) tulisan, dan bukan sebaliknya.
Mudahan-mudahan catatan singkat ini memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi sahabat penulis sekalian. Memang, apa pun bisa dijadikan bahan menulis, namun semua itu hanya akan jadi bahan belaka ketika penulis tidak menindak-lanjutinya dengan menulisnya ke dalam genre yang tepat. Inspirasi/ide yang sempurna bukan hanya di dalam angan, melainkan yang selesai diketik dan dibagikan kepada pembaca.
Gresik, 30 September 2023