Lupa pun Anugerah yang Indah

0
389

Oleh Much. Khoiri

KEBANYAKAN kita menyesali diri ketika kita melupakan sesuatu. Bahkan, kita tak jarang mencaci-makin diri sendiri atau kecerobohan yang dilakukan akibat lupa akan sesuatu itu. Untuk urusan penting dan genting, ‘lupa’ menjadi sesuatu yang tak termaafkan.

Namun, jika direnungkan secara mendalam, kita seharusnya tidak memaki diri sendiri akibat lupa sesuatu. Justru sebaliknya, kita perlu mensyukurinya. Mengapa demikian? Lupa itu anugerah—bukan kutukan, dan karena itu kita wajib mensyukurinya.

Pada suatu ketika di Nusa Tenggara Barat. Gambar: Dok pribadi

Mengapa lupa itu sendiri sebuah anugerah? Ya, lupa itu bagian dari hidup manusia. Bersama kesulitan ada kemudahan, bersama sakit ada obatnya, bersama ingatan ada kelupaan. Ada pasangan-pasangan semacam itu. Itulah keseimbangan.

Tuhan tidak menjanjikan langit itu selalu biru, bunga selalu mekar mewangi, dan mentari selalu bersinar terang. Tetapi, kita sama-sama tahu, bahwa Tuhan juga memberikan pelangi di setiap badai, tawa di setiap derai air mata, berkah di setiap cobaan dan ujian, dan jawaban dari setiap doa.

Tidak mungkin kita selalu mengalami kesulitan sepanjang hidup, sungguh tidak mungkin. Pastilah Tuhan telah menyediakan kemudahan yang menyertai atau tersembunyi di balik kesulitan itu. Itu sebagaimana tidak mungkin kemarau melanda sepanjang tahun, kecuali ada musim hujan yang menyiram kemarau panjang itu. Bukankah musim selalu berganti, sebagaimana kesulitan berganti kemudahan?

Lupa juga demikian. Lupa itu pasangan dari ingat. Lupa-ingat melekat pada diri kita sebagai manusia, ibarat dua sisi mata koin (uang logam). Tidak mungkin kita ingat terus-menerus akan sesuatu, sebagaimana mustahil kita lupa terus-menerus akan sesuatu itu. Semesta telah diciptakan seimbang oleh Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga kita menjalaninya dengan nyaman, seakan kita tidak merasakan ada dua kutub ekstrem yang beroposisi ini.

Sebab itulah, kita tidak perlu memaki diri berlebihan ketika melupakan sesuatu. Coba bayangkan andaikata kita tidak dianugerahi ‘lupa’. Tidak usah jauh-jauh, cukup rentetan kegiatan sehari saja: mulai bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, apa saja ungkapan pasangan, tetangga, teman kerja, orang-orang di jalan yang kita lewati—untuk sekadar menyebut beberapa contoh—semua itu akan membuat kita depresi akibat semua memori berkumpar-kumpar dan terngiang tanpa jeda dalam pikiran kita.

Bayangkan, karena kita tidak lupa sedikit pun, omelan suami atau isteri cerewet pagi ini terngiang detik demi detik dalam pikiran kita—bahkan ketika kita menyetir kendaraan dalam perjalanan ke kantor. Suasana hiruk-pikuk jalan menuju kantor menambah kacaunya omelan itu, seperti alat musik yang dimainkan tanpa irama. Kepala seakan penuh sesak dengan ketidakberesan berpikir. Di kantor, kita tidak akan bisa kerja dengan baik akibat desingan-desingan omelan yang tak kunjung hilang.

Itu baru sehari saja, belum berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sehari saja sudah ada deretan memori yang berkumpar-kumpar dalam pikiran kita. Memori yang menyenangkan saja akan sangat menyibukkan, terlebih lagi memori yang menyesakkan. Dampaknya pastilah lebih dahsyat mengguncang pikiran kita. Sekali lagi, itu baru sehari saja, bayangkan!

Padahal kita sudah hidup sejauh ini, terlebih bagi kita yang lebih cenderung “berbau tanah” dari pada “berbau kosmetik”. Semakin ke sini semakin banyak akumulasi omelan, ungkapan, hapalan, atau apa saja yang seharusnya masuk ke dalam memori—tetapi pada saatnya yang tepat Tuhan telah membuat kita melupakannya. Andaikata Tuhan tidak membuat kita lupa tentang sesuatu pada waktu yang ditentukan, kita benar-benar menjadi manusia-manusia senewen.

Begitulah, lupa itu sebuah anugerah. Karena lupa adalah anugerah, kita justru harus merasakan betapa lupa itu indah (dan berharga). Di manakah letak indahnya lupa? Apakah ia hadir pada saat kita mendapat tugas berat, dan kita tidak mengerjakannya agar kita tidak terbeban apa pun dalam pekerjaan kita?

Letak keindahan lupa adalah ketika dengan segenap hati kita mau mensyukurinya: yakni mensyukuri nikmat lupa yang Tuhan telah berikan, mensyukuri bahwa kita tidak dihantui semua memori harian yang menjejali pikiran sepanjang hidup, dan mensyukuri bahwa kita dianugerahi kekuatan untuk menghayatinya sampai detik ini.

Tepat sekali para bijak mengatakan, bahwa manusia hidup itu tempatnya salah dan lupa. Ini bisa dimaknai, jika manusia salah, itu alamiah dan biasa terjadi. Jika manusia lupa, itu juga bukan hal aneh, juga biasa saja. Secara fisiologis, tampaknya kita ini sudah disetel sedemikian rupa untuk menjadi seimbang antara ingat dan lupa, bukan hanya sehari dua hari melainkan sepanjang hidup.

Dengan kesadaran secara Ilahiah demikian, kita menjalani hidup ini dengan tenang dan nyaman. Pokoknya manut apa yang ditetapkan Tuhan pada kita. Kita harus ridha akan ketetapan Tuhan, agar Tuhan juga memberikan ridha kepada kita. Jika sudah demikian, fadkhulii fii’ibaadii wadkhulii jannatii (Masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. QS Al-Fajr 29-30)*

Gresik, 14/11/2023

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here