Oleh Much. Khoiri
INI hari Sabtu 18 November 2023—sudah lebih satu bulan saya belum berziarah kubur, di mana pun yang bisa diziarahi. Rasanya sudah kangen untuk segera bisa melakukan ziarah kubur. Tatkala kangen ini belum terobati, terasa ada yang hilang.
Mengapa sampai kangen? Apakah kekangenan ini sama dengan kekangenan seseorang kepada kekasihnya? Saya tidak bisa membandingkannya head to head dalam hal ini. Masing-masing memiliki dimensi dan kapasitasnya sendiri.
Hanya saja, saya tak memungkiri, bahwa ziarah kubur itu salah satu kesenangan saya dalam hidup ini. Utamanya tentu saya berziarah ke keluarga, termasuk anak-anak, biasanya sebulan sekali. Yang tak ketinggalan, saya menziarahi rumah mertua dan Tegar Aji Pamungkas beserta kakaknya.
Selain itu, saya juga suka berziarah ke makam para wali, bukan hanya Wali Sanga, melainkan juga wali-wali lain yang saya ketahui. Kalau waktu cukup longgar, saya memulai ziarah dari Syech Jumadil Kubro di Mojokerto, kemudian ke Mbah Bungkul, Sunan Ampel, Sunan Giri, dan sebagainya.
Kadang saya juga mencari makam yang tak jauh dari tempat tinggal, yang di dalamnya telah bersemayam para pendahulu masyarakat setempat. Kadang pula saya juga mencari makam terdekat dengan tempat kerja, syukur-syukur ada kesejarahan yang mengesankan semisal makam (petilasan) Syech Abdurrahman dan makam Sawunggaling.
Ada teman pernah berkata bahwa saya memiliki kesenangan aneh. Namun, saya buru-buru menjawab bahwa itu seharusnya menjadi kesenangan semua orang. Saya sekadar mengamalkan saja—sebuah anjuran untuk rajin berziarah kubur, bukan hanya mendoakan arwah-arwah yang telah mendahului, melainkan juga memetik hikmah dengan mengunjungi makam.
Dalam pemahaman saya, dengan rajin ziarah kubur, saya (dan siapa pun juga) akan sering merasa diingatkan oleh petuah diam yang bernama ‘kematian’. Nisan-nisan yang terhampar di seluruh bagian makam seakan meneriakkan pesan bahwa pada saatnya masyarakat akan mematoki saya (dan siapa pun juga) di bagian kepala dan bagian kaki.
Nisan-nisan itulah calon pintu “rumah masa depan” yang hanya 2×1 meter itu. Orang sekaya apa pun—sebutlah punya harta yang tak habis dimakan tujuh turunan—akan ditanam di makam dengan ukuran yang sama. Kendaraan semewah apa pun tak akan dibawa ke dalamnya. Ke sana bekal manusia hanya amal kebajikan—plus tiga warisan: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan orangtuanya.
Andaikata waktu kematian itu tiba, apalah daya saya untuk menolaknya. Kematian akan sabar menanti atau bahkan mendatangi, kendati saya mungkin bersembunyi di dalam bunker besi. Ketika malaikat maut sudah mendapat perintah untuk membawa saya menghadap-Nya, mau tak mau saya akan pasrah.
Lagi pula, mati itu bukan pergi, melainkan pulang, yakni pulang ke negeri kampung halaman ruhaniah. Bukankah manusia di dunia sesungguhnya hanya mengembara dan bersekolah untuk menjadi lebih baik. Dunia ini madrasah dan hidup ini kitab pelajaran yang musti dipelajari.
Kini saya bersyukur sedalam-dalamnya: Pagi ini saya masih dikaruniai usia panjang sampai detik ini. Sekarang saya sedang menyetir Innophard kesayangan. Tidak lama lagi rasa kangen saya segera terobati: Menziarahi makam keluarga, memanjatkan doa, dan memetik hikmahnya.
Gresik, 18/11/2023