Puasa (al-Shaum, al-Shiyām) secara harfiah berarti menahan diri (al-Imsāk). Dalam khazanah hukum Islam (Fiqh), puasa biasa didefinisikan dengan menahan diri dari makan, minum, berhubungan seks, sejak terbit fajar (subuh) hingga terbenamnya matahari (maghrib).
Pengertian puasa yang dijelaskan oleh para ulama fiqh tersebut adalah pengertian dari sudut pandang syari’at yang paling umum dan mendasar. Ada pengertian puasa yang lebih khusus didefinisikan oleh para ulama tashawuf (sufi) yang dilihat dari sudut pandang hakikat.
Jika dalam pandangan fiqh puasa adalah menahan diri dari hasrat biologis seperti makan, minum, dan berhubungan seks, maka dalam pandangan tashawuf, puasa tidak sekadar menahan diri dari ketiga hal yang membatalkan ibadah puasa secara nyata. Tetapi juga menahan segala hal yang dapat merusak nilai serta pahala ibadah puasa yang kita lakukan.
Dalam salah satu sabdanya, Nabi Muhammad Saw menyatakan, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Al-Bukhari).
Ibn Rajab al-Hanbali dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif mengutip sebuah pesan yang sangat bagus dari Jabir Ibn Abdillah r.a. yang menyatakan, “Jika kamu berpuasa, maka puasakanlah pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta, janganlah menyakiti tetangga, hendaknya kamu penuh ketenangan dan wibawa pada hari puasamu dan jangan jadikan hari puasamu sama dengan hari berbukamu”.
Beberapa keterangan di atas merupakan definisi puasa yang lebih khusus lagi, yaitu memuasakan seluruh anggota tubuh kita dari segala hal yang dapat merusak nilai serta pahala ibadah puasa yang kita lakukan.
Adapun satu hikmah di antara sejumlah hikmah disyariatkannya ibadah puasa, menurut Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam karyanya Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu adalah lahirnya sikap empati, kasih sayang (rahmat) kepada sesama, yakni fakir miskin.
Hal ini dimungkinkan, karena di saat berpuasa, seseorang merasakan lapar dan dahaga, sebagaimana yang biasa dirasakan oleh kaum papa, yakni fakir (al-fuqarā) dan miskin ( al-masakin) tersebut.
Jika di bulan-bulan lain selain Ramadan, sikap empati seringkali menjadi barang langka, digerus oleh keangkuhan dan kesombongan, maka di bulan suci ini, diharapkan sikap empati kembali hadir dalam diri setiap manusia.
Kesadaran kemanusiaan itu digugah oleh sebuah ritual ibadah bernama puasa. Orang-orang yang memahami dan menghayati makna sesungguhnya ibadah puasa ini akan menyadari, betapa manusia adalah makhluk mulia yang diciptakan Tuhan, dan dihadirkan ke muka bumi ini. Kemuliaan itu berasal dari sucinya diri (fitrah) sejak azali, dengan dilengkapi akal dan hati, disempurnakan dengan bimbingan wahyu Ilahi dan teladan Nabi (Saw).
Kemuliaan tersebut akan terus ada dan menyertai manusia, jika dia mempertahankan dan menjaganya melalui aktivitas mulia, berupa peningkatan kualitas hubungan dengan Allah ( hablun minallah ) dan hubungan dengan manusia (hablun minannas). Atau dengan kata lain, kemuliaan manusia akan terjaga dengan baik jika ibadah ritual dan ibadah sosial terjalin erat satu sama lain.
Sebaliknya, jika kualitas hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia terabaikan, atau salah satunya terabaikan, maka kemuliaan yang sudah ada pada dirinya akan berganti dengan kehinaan. Keistimewaan yang melingkupinya akan berubah menjadi kerendahan.
Di titik inilah ibadah puasa menemukan relevansinya. Puasa mengajarkan kepada manusia untuk tetap meneguhkan eksistensi kemuliaan diri, melalui dua hubungan sekaligus. Hubungan spiritual Ilahi (hablun minallah), berupa ibadah puasa di siang hari, dan hubungan sosial insani (hablun minannas) dengan mengajarkan semangat berbagi kepada sesama, baik melalui zakat, infak, sedekah dan yang lainnya.
Singkatnya, bulan suci yang tengah kita jalani ini mengajarkan tidak sekadar bagaimana menjalin relasi yang suci dengan Ilahi, tetapi juga menjalin hubungan yang erat dengan insani, melalui sikap empati. (*)
* Dr. Didi Junaedi, M.A.
Dosen Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Penulis Buku-Buku Motivasi Islam.