Puasa : Menahan Diri dan Empati

0
80

 

Puasa (al-Shaum, al-Shiyām) secara harfiah berarti menahan diri (al-Imsāk). Dalam khazanah hukum Islam (Fiqh), puasa biasa didefinisikan ‎dengan menahan diri dari makan, minum, berhubungan seks, sejak terbit fajar ‎‎(subuh) hingga terbenamnya matahari (maghrib).‎

Pengertian puasa yang dijelaskan oleh para ulama fiqh tersebut adalah ‎pengertian dari sudut pandang syari’at yang paling umum dan mendasar. Ada ‎pengertian puasa yang lebih khusus didefinisikan oleh para ulama tashawuf ‎‎(sufi) yang dilihat dari sudut pandang hakikat.‎

Jika dalam pandangan fiqh puasa adalah menahan diri dari hasrat ‎biologis seperti makan, minum, dan berhubungan seks, maka dalam ‎pandangan tashawuf, puasa tidak sekadar menahan diri dari ketiga hal yang ‎membatalkan ibadah puasa secara nyata. Tetapi juga menahan segala hal ‎yang dapat merusak nilai serta pahala ibadah puasa yang kita lakukan. ‎

Dalam salah satu sabdanya, Nabi Muhammad Saw menyatakan, ‎‎“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah ‎mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia ‎tahan.” (HR. Al-Bukhari).‎

Ibn Rajab al-Hanbali dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif mengutip ‎sebuah pesan yang sangat bagus dari Jabir Ibn Abdillah r.a. yang menyatakan,  ‎‎“Jika kamu berpuasa, maka puasakanlah pendengaranmu, penglihatanmu dan ‎lisanmu dari dusta, janganlah menyakiti tetangga, hendaknya kamu penuh ‎ketenangan dan wibawa pada hari puasamu dan jangan jadikan hari puasamu ‎sama dengan hari berbukamu”.‎

Beberapa keterangan di atas merupakan definisi puasa yang lebih ‎khusus lagi, yaitu memuasakan seluruh anggota tubuh kita dari segala hal ‎yang dapat merusak nilai serta pahala ibadah puasa yang kita lakukan.‎

Adapun satu hikmah di antara sejumlah hikmah disyariatkannya ibadah ‎puasa, menurut Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam karyanya Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu adalah lahirnya sikap empati, kasih sayang (rahmat) kepada ‎sesama, yakni fakir miskin.

Hal ini dimungkinkan, karena di saat berpuasa, ‎seseorang merasakan lapar dan dahaga, sebagaimana yang biasa dirasakan ‎oleh kaum papa, yakni fakir (al-fuqarā) dan miskin ( al-masakin) tersebut.‎

Jika di bulan-bulan lain selain Ramadan, sikap empati seringkali ‎menjadi barang langka, digerus oleh keangkuhan dan kesombongan, maka di ‎bulan suci ini, diharapkan sikap empati kembali hadir dalam diri setiap ‎manusia. ‎

Kesadaran kemanusiaan itu digugah oleh sebuah ritual ibadah ‎bernama puasa. Orang-orang yang memahami dan menghayati makna ‎sesungguhnya ibadah puasa ini akan menyadari, betapa manusia adalah ‎makhluk mulia yang diciptakan Tuhan, dan dihadirkan ke muka bumi ini. ‎Kemuliaan itu berasal dari sucinya diri (fitrah) sejak azali, dengan dilengkapi ‎akal dan hati, disempurnakan dengan bimbingan wahyu Ilahi dan teladan Nabi ‎‎(Saw).‎

Kemuliaan tersebut akan terus ada dan menyertai manusia, jika dia ‎mempertahankan dan menjaganya melalui aktivitas mulia, berupa peningkatan ‎kualitas hubungan dengan Allah ( hablun minallah ) dan hubungan dengan ‎manusia (hablun minannas). Atau dengan kata lain, kemuliaan manusia akan ‎terjaga dengan baik jika ibadah ritual dan ibadah sosial terjalin erat satu sama ‎lain.‎

Sebaliknya, jika kualitas hubungan dengan Allah dan hubungan ‎dengan manusia terabaikan, atau salah satunya terabaikan, maka kemuliaan ‎yang sudah ada pada dirinya akan berganti dengan kehinaan. Keistimewaan ‎yang melingkupinya akan berubah menjadi kerendahan.‎

Di titik inilah ibadah puasa menemukan relevansinya. Puasa ‎mengajarkan kepada manusia untuk tetap meneguhkan eksistensi kemuliaan ‎diri, melalui dua hubungan sekaligus. Hubungan spiritual Ilahi (hablun minallah), berupa ibadah puasa di siang hari, dan hubungan sosial insani ‎‎(hablun minannas) dengan mengajarkan semangat berbagi kepada sesama, ‎baik melalui zakat, infak, sedekah dan yang lainnya.‎

Singkatnya, bulan suci yang tengah kita jalani ini mengajarkan tidak ‎sekadar bagaimana menjalin relasi yang suci dengan Ilahi, tetapi juga ‎menjalin hubungan yang erat dengan insani, melalui sikap empati.‎ (*)

 

Dr. Didi Junaedi, M.A.

Dosen Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Penulis Buku-Buku Motivasi Islam.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here