MAKNA dan SIGNIFIKANSI FILSAFAT (REFLEKSI HARI FILSAFAT SEDUNIA)

0
3190

Oleh: Dr. Zaprulkhan, M.Si

Sebenarnya ketika seseorang melemparkan sebuah pertanyaan: What is philosophy? Apakah Filsafat itu?, menurut para ahli dan orang-orang yang telah melakukan perjalanan jauh dalam dunia filsafat, kita tetap sulit untuk mendapatkan sebuah jawaban definitif terhadap pertanyaan tersebut. Setiap jawaban yang disuguhkan tidak akan pernah mampu memberi jawaban final.

Sebab perbincangan filsafat bukan hanya sebatas wacana intelektual, pemikiran, konsep-konsep, dan teori-teori abstrak-filosofis, melainkan juga perenungan, penghayatan, pengembaraan tanpa henti, dan pertualangan kehidupan. Filsafat merupakan pergulatan seseorang dalam gelanggang kehidupan; persentuhan, pengalaman, sekaligus pergumulan setiap kita dengan Sang Hidup dan kehidupan itu sendiri. Dalam bingkai pemaknaan ini, filsafat adalah seluruh bentangan episode perjuangan dan pengorbanan seorang anak manusia yang hanya bisa ditutup oleh tirai kematian.

Meskipun demikian, untuk membantu memudahkan kita memahami makna tersebut, mari kita jelajahi definisi dan kita tengok sekilas arti filsafat dari berbagai dimensinya. Secara historis-sosiologis, istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, Philosophia, yang merupakan gabungan dua kata: Philo dan Sophia. Philo berarti cinta, dan sophia berarti kebijaksanaan (yang mencakup pengetahuan, keterampilan, pengalaman, inteligensi). Jadi filsafat berarti mencintai kebijaksanaan; The love and pursuit of wisdom.

Namun dalam konteks historis Yunani klasik, makna istilah sophia tersebut bukan hanya kebijaksanaan dalam pemahaman kita hari ini yang terkadang bersifat parsialistik. Para bijak bestari dari Yunani klasik dahulu, memaknai sophia bukan hanya kebijaksanaan atau kearifan saja, melainkan juga meliputi mengenal Kebenaran Pertama atau Tuhan, pengetahuan yang luas, kebajikan intelektual, pertimbangan yang sehat sampai keterampilan, dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan persoalan-persoalan praktis.

Di sini, makna sophia, bersifat integralistik-holistik: bukan hanya kearifan tentang kehidupan dengan segala perkakasnya, melainkan juga kearifan tentang Sang Pencipta Kehidupan manusia yakni Tuhan. Dalam kata (philosophia) filsafat itu juga menyingkapkan dua kutub, yaitu kutub aktivitas (yang ditunjuk oleh kata kerja philo) yang mengungkapkan aspirasi dan keterarahan kepada sasaran yang belum dimiliki secara utuh dan kutub objek yang padanya pikiran manusia mengarahkan diri yaitu kebijaksanaan atau kebenaran (yang diwakili atau dituju oleh kata sophia).

Menurut tradisi filsafat yang tua, konon istilah Yunani philosophia digunakan Phythagoras untuk menyebut gerak pencarian akan kebijaksanaan dan kebenaran yang bisa dilakukan manusia. Kebijaksanaan dalam bentuk utuh dan sempurna hanya ada pada yang Ilahi, sementara manusia yang terbatas sudah merasa puas dengan menegaskan diri sebagai pencinta dan bukan pemilik kebijaksanaan dan kebenaran utuh. Dengan akal budinya, manusia hanya mampu mendekatkan diri kepada kebenaran utuh. Ia tidak akan pernah meraihnya secara lengkap dan sempurna satu kali untuk selamanya.

Kita semua sebagai manusia bukanlah sophos, sang Pemilik Kebijaksanaan dan Kebenaran utuh; melainkan hanya philosophos, sang pencinta kebijaksanaan dan pencari kebenaran. Dengan kata lain, philosophos adalah orang yang mencintai kebijaksanaan dan mencari kebenaran, bukan orang yang sudah memiliki kebijaksanaan dan kebenaran secara lengkap. Dengan demikian, mencintai kebijaksanaan bukanlah sebuah situasi, melainkan sebuah aktivitas; bukan sebuah pencapaian, melainkan sebuah dambaan.

Filsafat adalah sebuah dambaan, dan dambaan (kerinduan) hanya mungkin hadir jika masih ada sesuatu yang belum selesai; masih ada sesuatu yang belum tuntas; masih ada sesuatu yang dicari; masih ada sesuatu kekurangan atau defisit. Yang Paripurna tidak akan pernah mendamba karena tidak ada lagi yang dicari, semuanya sudah utuh dan lengkap. Namun yang defisit dan yang senantiasa merasa kekurangan selalu merindukan karena masih ada rongga di dalamnya yang membuatnya tidak penuh, tidak utuh, dan tidak cukup.

Kesadaran tentang makna filsafat yang demikianlah, konon ketika Phythagoras ditanya oleh orang kebanyakan apakah ia orang arif (Sang Pemilik Kearifan), ia dengan takzim dan rendah hati menjawab bahwa dirinya bukan orang arif, melainkan hanya seorang pencinta kearifan (philosophos). Sekali lagi, jawaban Phythagoras, filosof yang ahli matematika dan geometri tersebut, membentangkan ke hadapan kita tentang makna filsafat secara demonstratif: bahwa filsafat merupakan sebuah kegiatan pencarian dan pertualangan tanpa henti mengenai makna kebijaksanaan dan kebenaran dalam pentas kehidupan, baik tentang Tuhan Sang Pencipta, eksistensi dan tujuan hidup manusia, maupun realitas alam semesta.

Karena kegiatan pencarian itu tidak pernah final, tidak pernah membuahkan sebuah pencapaian kebijaksanaan dan kebenaran secara komprehensif (sempurna), maka setiap orang yang berfilsafat harus bertindak rendah hati. Masih ada semesta makna kearifan dan kebenaran tak terpahami; masih ada sejuta kebijaksanaan yang tersisa, masih ada jejak makna yang belum kita mengerti, masih teramat banyak butir-butir pengetahuan yang luput dari nalar kita, dan masih tak terhingga jejak-jejak misteri Ilahi yang tersembunyi bagi kita.

Tepat pada titik inilah, kita bisa memahami mengapa sang filsuf kearifan kuno Yunani, Socrates meneriakan sebuah adagium terkenal: All that I know is that I know nothing, “Segala hal yang aku ketahui adalah bahwa aku belum mengetahui apa pun”. Dan siapa pun yang telah mengerti kebijaksanaan yang terkandung dalam petualangan filosofis yang tak berkesudahan, ia akan menyadari mengapa Ralph Waldo Emerson, sang filsuf sekaligus pujangga Abad ke-20 itu, mendefinisikan pengetahuan: Knowledge is the knowing that we cannot know, “Pengetahuan adalah mengetahui bahwa kita tidak dapat mengetahui”.

Pernyataan-pernyataan tersebut bukanlah suatu nihilisme, bahwa tidak ada yang bisa diketahui sehingga tidak ada kebenaran;—sebab statemen tersebut justru mengalir ke luar dari kedua insan bijak bestari yang telah diakui oleh dunia tentang kecerdasan, kebijaksanaan, keterampilan, dan kearifan dalam seluruh aktivitas kehidupan mereka—melainkan sebagai puncak kearifan dan kesadaran bahwa masih banyak terdapat wilayah yang belum diketahui, masih banyak kebijaksanaan yang belum diserap, bahkan dalam segala kearifan yang telah dijelajahi pun masih terdapat banyak rongga yang tidak terpahami (unthinkable) dan masih banyak misteri yang tidak bisa dijelaskan dengan untaian kata-kata (unexplainable).

Kedua statemen tersebut di atas, justru melukiskan sikap rendah hati yang otentik bahwa betapa pun tinggi cakrawala pengetahuan yang telah diketahui, bagaimana pun dalamnya samudera kearifan yang sudah diselaminya, dan betapa pun luas semesta kebenaran yang sudah dijelajahinya, namun masih jauh lebih tinggi, lebih dalam, dan lebih luas pengetahuan, kearifan, dan kebenaran yang belum diketahuinya. Itulah puncak kearifan orang-orang arif; puncak kesadaran orang-orang yang telah memiliki kesadaran yang jernih; muara filsafat para filsuf yang justru senantiasa membuka gerbang kearifan yang tak bertepi sehingga membuat mereka terus-menerus menjadi murid kehidupan (the student of life) di tengah-tengah sekolah kehidupan (the school of life).

Izinkan saya menayangkan segelintir signifikansi filsafat ke hadapan pemirsa. Pertama, filsafat dapat menguji asumsi-asumsi fundamental dalam kehidupan umat manusia: pandangan umum, keyakinan-keyakinan masyarakat, ideologi-ideologi, bahkan keberagamaan kita. Sebagai contoh sederhana, mari kita lihat tentang afiliasi keberagamaan kita. Sebagai Muslim, secara normatif-subjektif, kita merasa bahwa keberagamaan kita merupakan keyakinan terbaik dan keyakinan kita sebagai Muslim merupakan hidayah atau anugerah teristimewa yang diberikan Tuhan kepada kita.

Ini perspektif teologis yang bersifat subjektif. Paradigma agama yang bercorak metafisis. Paradigma berpikir seperti ini, seringkali membuat kebanyakan kita merasa nyaman dengan keberagamaan kita, merasa puas dan merasa seolah-olah mempunyai hak istimewa dari Tuhan tanpa pernah mempertanyakan kembali kualitas keberagamaan kita. Padahal hakikat keberagamaan adalah proses pembenahan diri dan perjalanan mendekat menuju Tuhan yang membutuhkan peningkatan kualitas kebajikan yang terus menerus tanpa henti.

Tapi coba bayangkan pengandaian berikut: Jika Anda dilahirkan di India, kemungkinan besar Anda akan beragama Hindu; Bila Anda lahir di Amerika Serikat, sangat mungkin Anda akan menganut agama Kristen, khususnya Kristen Protestan. Seandainya Anda lahir di Jepang atau Cina, boleh jadi Anda akan mengikuti agama Buddisme, Kong Hu Chu, atau Shintoisme. Dan seandainya Anda dilahirkan di Mesir, Arab Saudi, atau Indonesia, kemungkinan besar agama Anda adalah Islam.

Inilah yang dalam ilmu sosiologi disebut dengan ‘elective affinity’ konsep kedekatan suatu agama atau umat beragama dengan struktur sosial tertentu. Dari perspektif sosiologis tersebut, keberagamaan mayoritas orang bersifat ‘ascriptive’ (given) sesuatu yang ‘taken for granted’, sesuatu yang terberi dan tidak jarang tanpa dipertanyakan lagi, atau katakanlah faktor keturunan. Memang sulit dipungkiri bahwa afiliasi keberagamaan kita dalam sudut pandang sosiologis sangat ditentukan oleh faktor geografis, bahkan faktor keturunan.

Melalui komparasi tersebut, filsafat mengajak kita mempertanyakan ulang makna keberagamaan kita: Benarkah keberagamaan yang kita anut selama ini merupakan hidayah atau anugerah istimewa dari Tuhan atau jangan-jangan hanya karena faktor keturunan semata? Benarkah agama kita merupakan yang terbaik, atau jangan-jangan karena kita hidup dalam sebuah lingkungan yang sama dengan kita dalam beragama? Dan benarkah kita sudah mengamalkan perintah terbaik agama kita, atau jangan-jangan hanya klaim geografis semata karena kita hidup dalam sebuah masyarakat yang mayoritas seagama dengan kita?

Dengan pertanyaan-pertanyaan kritis-filosofis tersebut, filsafat tengah berusaha membedakan antara ‘having religion’ memiliki agama dengan ‘being religious’, menjadi beragama. Setiap orang boleh jadi memiliki agama, ‘having religion’, tapi tidak setiap orang benar-benar ‘being religious’, menjadi religius, yakni mereka yang benar-benar memahami, menghayati, menjelajahi, dan mengamalkan keberagamaannya. Being religious merupakan sebuah proses pencarian kebenaran sekaligus pendakian tanpa henti menuju Tuhan sebagai Sumber Kebenaran itu sendiri.

Komparasi dan pertanyaan-pertanyaan kritis-filosofis tersebut bukanlah untuk meragukan keyakinan kita. Bukan pula untuk mencari kesalahan-kesalahan dalam substansi agama dan cara keberagamaan kita. Gugatan filosofis-kritis tersebut hanya bertujuan untuk membangunkan kita dari keterlelapan panjang bahwa dengan memiliki sebuah agama seolah-olah kita telah mengenal agama tersebut secara utuh. Refleksi filosofis tersebut hanya ingin menyadarkan kita dari keterlenaan semu bahwa kebenaran dalam sebuah agama tidak mutlak menjadikan kita sebagai penganutnya menjadi benar mutlak pula secara otomatis dalam keberagamaan kita.

Akhirnya kegelisahan-kegelisahan filosofis tersebut bertujuan untuk menyadarkan sekaligus membimbing kita bahwa hakikat keberagamaan adalah sebuah proses tanpa henti tentang pembenahan diri, peningkatan kualitas kebajikan dan perjalanan panjang menuju Tuhan. Di sini salah satu keinginan filsafat, mengajak kita memasuki lorong makna being religious yang otentik bukan hanya sekadar having religion yang munafik.

Kedua, memperkaya perspektif dalam menatap kehidupan. Filsafat mengajarkan kita untuk memandang realitas dengan perspektif yang plural, ambigu, dan sarat interpretasi atau makna. Sebagai contoh sederhana, manusia jika dikaji dari aspek jasmaninya secara fisikal, melahirkan ilmu biologi. Jika manusia dilihat dari aspek adat istiadatnya, bahasanya, dan asal usulnya akan melahirkan ilmu antropologi. Bila ditinjau dari interaksi antar sesama dalam sebuah negara dan asas-asas produksi, distribusi serta pemakaian barang-barang dan kekayaan, membuahkan ilmu politik dan ilmu ekonomi.

Tatkala manusia ditelaah mengenai proses-proses mental, kegiatan-kegiatan jiwa, dan pengaruhnya pada perilaku, maka akan melahirkan ilmu psikologi. Dan apabila sosok manusia ditinjau dari dimensi sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat secara sosial, niscaya akan melahirkan munculnya ilmu sosiologi. Jika masing-masing ilmu tersebut berdiri sendiri dan terpisah antara yang satu dengan yang lain dalam melihat sosok manusia, filsafat justru berupaya melihat melalui keseluruhan perspektif ilmu-ilmu tersebut dalam membidik manusia agar menghasilkan pengetahuan yang lebih holistik tentang figur seorang manusia. Bahkan lebih jauh, filsafat berusaha merangkum puspa ragam paradigma keilmuan tersebut dan berusaha melampauinya dengan pencarian-pencarian baru terus menerus tanpa henti agar semakin mendekati pengetahuan yang benar dan komprehensif tentang manusia dengan segala aspeknya.

Dengan cakrawala pandangan yang kaya tersebut, menyebabkan kita (akan) terbebas dari penjara-penjara fanatisme yang sempit. Kalau ada sebuah pandangan tentang manusia, melalui filsafat kita mengetahui pula ada pandangan-pandangan lain yang berbeda pula tentang manusia. Masing-masing memiliki kebenaran dan keabsahannya sendiri tergantung dari perspektif mana melihatnya. Dengan kata lain, filsafat membekali kita dengan ‘compound eye’ horizon penglihatan yang kaya terhadap realitas sehingga kita terbebas dari perangkap lingkaran fanatisme palsu.

Ketiga, sebagai kelanjutan makna kedua di atas, filsafat mengajarkan orang-orang yang mendalaminya untuk bersikap rendah hati. Kerendahatian yang diajarkan filsafat kepada kita, disebabkan filsafat hanya mampu menangkap realitas secara fragmentaris, berserakan, sepotong-potong, dan karena sifatnya fragmentaris, perjalanan filsafat tidak pernah berhenti.

Dalam konteks ini, filsafat adalah sebuah ketidaktuntasan mengenai arus realitas yang tidak berkesudahan. Meminjam ungkapan H. Lawson filsafat merupakan sebuah upaya untuk ‘saying the unsayable’, mengatakan sesuatu yang tak terkatakan. Jangankan tentang Tuhan, mengenai realitas sebagai suatu hamparan kemungkinan yang tak terkatakan namun menunggu pemaknaan, pertualangan filsafat tidak pernah tuntas. Jadi ciri dari fundamental filsafat adalah fragmentaris atau perspektivis.

Namun jangan salah paham, perpsektivisme bukanlah relativisme. Kebenaran tidaklah relatif dalam arti benar di sini dan salah di sana, melainkan perspektivis: Kita hanya menangkap dalam salah satu perspektif. Hasil bidikan filsafat walaupun berupaya merangkum pelbagai pandangan, hasilnya tetaplah bersifat fragmentaris, perspektivis, atau sepotong dan masih ada yang tersisa sehingga mengajarkan kita sebagai penjelajahnya untuk tertunduk dalam sikap rendah hati. Meminjam statemen Bertrand Russell, filsafat mengajarkan kita bagaimana hidup tanpa kepastian, namun tanpa dilumpuhkan oleh keragu-raguan.

Keempat, filsafat akan mengantarkan kita kepada sebuah ‘docta ignorantia’, sebuah ketidaktahuan yang terpelajar. Apakah maknanya hal ini? Perhatikan analogi komparatif berikut ini: Bagi kebanyakan orang, dunia dengan segala isinya, interaksi manusia dengan segala problema yang mengitarinya, semesta jagad raya dengan seluruh isyarat-isyaratnya, Tuhan dengan segala kemisteriannya, bahkan sosok manusia sendiri dengan semua atribut yang melengkapinya merupakan sesuatu yang normal, lumrah, pasti, clear, dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Orang kebanyakan berada dalam kepastian dan karenanya tidak pernah merasakan kegelisahan sebab semuanya sudah terkuak sehingga tidak ada yang dicarinya lagi.

Filsafat justru mengajarkan kepada orang-orang yang mengkajinya untuk selalu berada dalam keterbukaan; keterbukaan untuk senantiasa menanyakan (menggemakan) makna bagi segalanya: Tentang alam semesta dengan seluruh perhiasannya, manusia dengan segala promlema yang melingkupinya, tentang Tuhan dengan segala kerahasiaan-Nya, dan diri sendiri dengan semua atribut yang melingkarinya. Jika satu persoalan terkuak maknanya, filsafat akan mengajak kita untuk menjelajahi makna yang lebih luas dari sebelumnya. Bila satu misteri tersingkap hijabnya, filsafat akan menyadarkan kita bahwa ternyata masih ada begitu banyak hijab-hijab lain yang belum terkuak sepenuhnya.

Bahkan seandainya lapisan demi lapisan rahasia diri kita dan Tuhan telah tersibak maknanya bagi kita, filsafat akan mengajak kita untuk berlayar ke dalam lapisan diri yang lebih dalam lagi dan menyadarkan kita bahwa masih banyak samudera makna yang belum kita ketahui. Namun dengan semua pertualangan tersebut, filsafat selalu mengajak kita untuk menumbuhkan semacam gairah: gairah dalam merajut helai demi helai tentang ketidaktahuan kita. Namun jangan salah paham, ketidaktahuan ini bukanlah jenis ketidakmengertian (ignorance) biasa, melainkan lebih mirip dengan apa yang disebut oleh para mistikus sebagai ‘docta ignorantia’, suatu ketidakmengertian yang bijak, yang paham bahwa kita tidak tahu, dan tahu bahwa ketidaktahuan ini merupakan horizon yang tak terelakkan yang di dalamnya kita harus bertindak, dengan seluruh semangat, dengan seluruh dorongan yang diminta oleh sang kehidupan.

Docta ignorantia ini, sebuah ketidaktahuan terpelajar ini, dikatakan demikian karena terus-menerus mencari dan menyadari keterbatasan segala perangkat intelektual, mental, emosional, dan spiritual yang kita miliki dalam mengikuti panggilan Sang Kehidupan itu sendiri. Filsafat membawa kita untuk menyemai kemungkinan dari semesta ketidakmungkinan, merajut harapan demi harapan dari samudera kehampaan, merengkuh kepastian di tengah-tengah cakrawala ketidakpastian. Itulah docta ignorantia, sebuah ketidaktahuan terpelajar, sebuah keterbukaan terhadap segala ketidakmungkinan dan kemustahilan.

Karena itulah, sudah saatnya kita semua bersahabat dengan filsafat; Mari kita bercumbu, bergumul, dan bercinta dengan filsafat, sebab dengan filsafat-lah kita akan dibukakan dengan semesta lapisan-lapisan makna kehidupan yang tak berkesudahan. Akhirnya kalau kita enggan juga bersahabat dengan filsafat, barangkali kita mesti menyimak titah Sang Filsuf Kehidupan Socrates: “The unexamined life is not worth living”, Hidup yang tak teruji dengan refleksi filosofis, bukanlah kehidupan yang layak untuk dijalani.
Semoga

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here