TANGGUNG JAWAB CENDEKIAWAN DALAM PEMAJUAN BANGSA

0
158

Dalam KBBI istilah cendekiawan berasal dari kata cendekia yang memiliki arti tajam pikiran, lekas mengerti, cerdas, dan pandai. Cendekia merujuk juga pada makna cepat mengerti situasi, dan pandai mencari jalan keluar atau menawarkan solusi.

Cendekiawan adalah orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu secara keseluruhan yang diimplementasikan untuk membangun peradaban manusia.

Karakteristik kecendekiawanan tersebut lazimnya lahir dari lingkungan perguruan tinggi yang memang mendorong sivitas akademika untuk memiliki kesadaran, kecerdasan, keahlian, dan kedewasaan dalam menghadapi persoalan lingkungan alam semesta, tatanan kehidupan bermasyarakat, beragama, dan bernegara.

Cendekiawan atau intelektual adalah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, menggagas, dan mempertanyakan, serta menjawab berbagai persoalan.

Istilah cendekiawan mengandung tiga pengertian. Pertama, mereka yang amat terlibat dalam ide-ide dan ruang diskusi. Kedua, mereka yang mempunyai keahlian dalam seni dan budaya yang memberikan kewibawaan dan otoritas kebudayaan untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di kalangan luas. Ketiga, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya.

Cendekiawan sering kali dikaitkan dengan individu yang telah lulus dari perguruan tinggi atau universitas. Namun, belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan.

Seorang cendekiawan adalah sosok yang sentiasa berpikir dan mengembangkan serta menyumbangkan gagasan untuk kesejahteraan masyarakat. Ia mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, dan merumuskan segala perkara dalam kehidupan masyarakat di mana ia berada untuk mencari dan menegakkan kebenaran.

Seorang intelektual adalah sosok yang mengenali kebenaran dan berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman. Ada tiga tahap perkembangan intelektual menurut August Comte, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.

Pertama, tahap teologis, yakni tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa yang disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia. Kedua, tahap metafisis, yakni tahap manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Ketiga, tahap positif, yakni tahap di mana manusia mulai berpikir secara ilmiah.

Perguruan tinggi dapat menjadi pusat gagasan dari deretan para ahli atau pakar yang selalu dinanti dan dirujuk publik, yang senantiasa mengajak untuk mengerti, peduli, dan menawarkan solusi terhadap setiap persoalan masyarakat.

Pada masanya kampus pernah menjalankan peran sebagai pilar demokrasi, kekuatan moral, dan intelektual bagi kekuasaan apa dan siapa pun. Peran cendekiawan dibutuhkan untuk mengingatkan badan-badan kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif yang terindikasi menjauh dari tugas dan fungsi sebagai penyelenggara negara yang telah ditetapkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Pengelolaan perguruan tinggi niscaya mengedepankan kemandirian dan kebebasan akademik. Prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah pencarian kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika. Kampus niscaya demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif, dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.

Perguruan tinggi bukan hanya sebagai lingkungan bagi mahasiswa untuk mempersiapkan diri memasuki atau menciptakan lapangan kerja, namun juga lingkungan untuk membangun karakter inklusif yang sangat dibutuhkan bagi tatanan sosial yang sangat plural.

Dewasa ini ada kecenderungan para ilmuwan untuk menjauh dari persoalan masyarakat dan bangsa, sebagai gejala matinya kepakaran dan menandai matinya kecendekiawanan. Seorang cendekiawan bukan hanya berpikir tentang kebenaran, tetapi harus menyuarakannya, apa pun rintangannya. Seorang cendekiawan yang otentik tidak boleh netral, dan niscaya memihak pada kebenaran dan keadilan.

Seorang cendekiawan dapat bertindak dengan menyatakan pikiran melalui tulisan yang ditujukan kepada khayalak ramai. Jika karena kepentingan tertentu ia tidak menyuarakan kebenaran, maka ia harus rela disebut cendekiawan bisu. Cendekiawan palsu mengelabui orang melalui penyelewengan fakta dan pernyataan menggunakan retorika kosong.

Cendekiawan, intelegensia, ulul albab, dan apa pun namanya, adalah sosok yang punya ilmu dan kecerdasan, yang terus dikapitalisasi agar mampu membaca realitas zaman yang ia hadapi. Dengan itu cendekiawan mengkontruksinya menjadi pikiran-pikiran yang mencerahkan, sekaligus memberi tawaran-tawaran alternatif untuk memandu jalannya umat manusia.

Cendekiawan niscaya mampu berpikir substantif. Dewasa ini kita berada di dalam dunia simulakra, di mana banyak realitas sebagai realitas buatan, dan yang tampak ternyata sekadar bayangan. Sering terjadi persoalan kehidupan yang semakin rumit. Para cendekiawan niscaya mampu tetap berpikir jernih dan mampu membaca hakikat dari sebuah realitas.

Cendekiawan harus mampu menjelaskan kepada umat dalam membaca dan mencari jalan tentang visi keislaman dan keindonesiaan dalam banyak aspek. Karena di sini banyak sumber persoalan yang terjadi, kaitannya dengan relasi agama dan negara.

Cendekiawan niscaya menuntaskan relasi Islam dan negara, serta menjadi kekuatan moderat, terutama ketika ada orang yang mengkonstruksi Pancasila dengan negara sekular. Pandangan negara sekular adalah salah satu bentuk ekstremisme yang tidak cocok dengan karakter negara Pancasila.

Kebinekaan adalah sunnatullah, tetapi dalam konteks beragama, pluralisme mengarah pada sinkretisme, relativisme, dan menyamakan serta menyatukan semua agama.

Fenomena radikalisme dan ekstremisme bukan hanya ada pada agama, namun, juga ada pada primordialisme kesukuan, ideologi, bahkan politik dan ekonomi. Pokok permasalahannya terletak pada tidak adanya pengayaan dan kemajuan dalam cakrawala berpikir. Cendekiawan harus berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah.

Akar permasalahan bangsa, bahwa negeri ini salah urus. Demikian, menurut Buya A. Syafi’i Maarif. Meminjam ungkapan Rocky Gerung, telah terjadi perselingkuhan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Amanat Reformasi telah diselewengkan dengan mengubah UUD 1945. Hal itu ditandai dengan Tindakan Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 yang kebablasan. Melalui amandemen tersebut, menurut Prof. Kaelan, Guru Besar Fakultas Filsafat UGM, bahwa UUD 1945 telah mengalami perubahan lebih dari 90%, sehingga layak disebut penggantian.

Sekian banyak pasal dan ayat-ayat UUD 1945 hasil amandemen telah bertentangan dengan Pancasila. Salah satu produknya ialah Pilpres langsung oleh seluruh rakyat Indonesia satu kepala satu suara. Hal itu bertentangan dengan sila ke-4 Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kritik Mohammad Iqbal atas demokrasi liberal Barat tersebut ialah satu kepala satu suara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya.

Amandemen UUD 1945 telah men-downgrade MPR sebagai lembaga tertinggi negara pemberi mandat kepada Presiden untuk melaksanakan GBHN menjadi lembaga tinggi yang sejajar dengan DPR dan Presiden. Sebagai akibatnya Presiden telah bertindak semena-mena.

Solusi atas fenomena tersebut ialah kembali ke UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dengan addendum. Tanpa kembali ke UUD 1945 asli, siapa pun Presidennya tidak akan bisa melaksanakan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dengan saksama. Sementara itu Pancasila hanya menjadi pemanis bibir belaka.

Adapun mekanisme dan langkah proses kembali ke UUD 1945 asli secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut. (1) Bentangkan UUD 1945 asli; (2) Bentangkan UUD 1945 hasil amandemen pertama sd keempat; (3) Evaluasi pasal-pasal UUD 1945 yang bertentangan dengan Pancasila; dan (4) Tentukan catatan-catatan untuk penyempurnaan UUD 1945.

Tindak lanjutnya ialah lakukan koreksi dan perbaikan atas semua produk undang-undang dan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Semoga Indonesia makin Berjaya dan menyejahterakan serta membahagiakan seluruh rakyatnya.

 

*Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga, Ketua Umum MUI dan Ketua Umum FKUB Kota Yogyakarta.

 

 

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here