Oleh Much. Khoiri
JUDUL tulisan ini sejatinya tidak kosong makna, melainkan mengandung makna hakiki! Sebagaimana kita menjalani hidup ini, proses belajar apa saja tidak ada yang instan, demikian pula proses kreatif—terlebih lagi proses menulis kreatif. Tegasnya, proses menulis kreatif tidaklah instan.
Ungkapan ini sengaja saya sampaikan sebagai pengingat (reminder) bagi diri sendiri dan teman sesama penulis—terutama kita yang masih belajar untuk menguasai berbagai genre menulis, atau mendalami salah satu genre menulis. Dengan reminder ini, kita akan mensugesti diri bahwa menjalani proses menulis itu perlu dinikmati, tidak perlu grusa-grusu alias tidak perlu terburu-buru.
Tentu saja, mensugesti dengan cara demikian tidaklah sederhana. Kebanyakan kita tidak memiliki kesabaran dan keihlasan yang berlimpah untuk mempraktikkan proses menulis kreatif kita sendiri. Jarang sekali ditemukan (calon) penulis yang bermental demikian.
Untuk menguasai salah satu genre tulisan saja—sebutlah menulis cerita pendek (cerpen)—banyak dari kita yang hanya ingin menulis apa yang ada di dalam pikiran kita. Kita malas membaca karya-karya cerpen yang sudah bagus, termasuk yang telah dimuat di surat kabar. Kita juga malas membaca teorinya, dan malas bertanya (baca: konsultasi) kepada cerpenis yang berpengalaman.
Banyak dari kita mengira, bahwa menulis sebuah cerpen itu menulis narasi mentah tanpa menyertakan unsur-unsur instrinsik cerpen. Tokohnya tidak digarap dengan baik, setting-nya kering, alurnya tidak menarik, temanya mengambang, dan sebagainya. Itu pun kita berharap instan, agar cerpen bisa dimuat di surat kabar atau diterbitkan dalam buku.
Kita kurang sabar dan ihlas dalam berproses. Seharusnya kita menulis cerpen dengan mengikuti minimal kaidah dasar menulis cerpen, sama dengan menulis genre lainnya. Kita tidak boleh puas hanya menulis dua atau tiga cerpen. Kemudian, jangan lupa, kita wajib berkonsultasi kepada penulis cerpen berpengalaman. Dari merekalah kita memperoleh masukan (feedback) untuk memperbaiki cerpen kita. Seno Gumira Adjidarma pernah menyiratkan, “Di antara seribu tulisan pasti ada satu tulisan yang bagus.”
Itu baru satu genre tulisan, belum lagi genre-genre lainnya. Mengapa demikian? Sering saya sampaikan, bahwa penulis seyogianya menguasai banyak genre tulisan—cerpen, puisi, catatan perjalanan, catatan harian, feature, drama atau lakon, biografi, dan sebagainya. Menguasai banyak genre berarti siap menulis genre apa saja ketika ada inspirasi (ide) hadir dalam diri. Kita yakin bahwa inspirasi atau ide akan mencari bentuknya, bukan sebaliknya.
Kalau menguasi satu genre tulisan saja kita tidak mau instan, apalagi beberapa genre tulisan. Belajar menulis “multiprojek” demikian justru menuntut kita menyiapkan kesabaran dan keihlasan lebih banyak lagi. Perjuangan pun juga perlu dilipatgandakan, dan dipertahankan dari waktu ke waktu. Jatuh bangun teramat mungkin akan kita alami, tetapi kita musti selalu ingat bahwa bukan berapa kali kita terjatuh dalam proses, melainkan berapa kali kita bangun dan bangkit dari kejatuhan itu.
Kadang kita sudah berproses mati-matian, dan karya kita kerap mendapat apresiasi atau pujian dari sesama penulis (belum berpengalaman), kemudian kita membaca penulis berpengalaman untuk mendapati bahwa karya kita berbeda level dengan karya penulis itu. Dalam kondisi ini, kita masih beruntung, sebab kita sadar bahwa kita sudah mampu menilai kualitas karya sendiri dan membandingkannya dengan karya penulis berpengalaman.
Jika demikian halnya, buru-buru kita musti menyadari pula, bahwa penulis berpengalaman itu sudah berproses lebih dulu—mungkin sepuluh tahun, dua puluh tahun, atau tiga puluh tahun lebih awal dari pada kita. Dalam hal ini, kita justru bersyukur untuk mensugesti diri, bahwa dalam sepuluh tahun ke depan, kita akan menyalip di tikungan.
Sekali lagi, permasalahan kita adalah bahwa kita suka berpikir proses menulis kreatif itu bisa instan. Kita kerap terlalu cepat puas dengan karya yang telah kita hasilkan, dengan kaca mata kuda alias melihat dari lingkup mata sendiri, tanpa bersedia membandingkannya dengan karya-karya lain di luar sana. Padahal, membandingkan karya kita dengan karya penulis lain, sangatlah penting, untuk mengetahui posisi kualitas karya sendiri.
Dan inilah yang perlu kita didikkan pada diri sendiri: Menulis kreatif perlu proses, kadang panjang dan berliku, kadang juga lempang. Kesibukan selalu akrab dengan kita setiap hari, tetapi kita musti mampu menyisihkan waktu untuk menulis. Setiap kita memiliki keunikan dalam berproses, dan karena itu tidak perlu disamakan. Setiap kita juga memiliki perbedaan waktu untuk tiba pada suatu momen di mana menulis menjadi candu.
Memang ada momentum di mana menulis menjadi candu. Momentum itu hadir ketika kita mendapati apa saja bisa menjadi tulisan. Itu juga momentum kita akan gelisah dan merasa bersalah kalau tidak menulis. Semakin banyak genre tulisan yang dikuasai, semakin banyak tulisan bisa kita hasilkan setiap hari. Ketika melihat demo buruh, misalnya, jika kita kecanduan menulis, amat boleh jadi kita akan menulis puisi, opini, catatan harian, atau fiksi mini.
Untuk tiba pada momentum kecanduan itu (bagi penulis tertentu ‘sangat menyenangkan’, tapi bagi penulis lain ‘menggelisahkan’), banyak dari kita yang tidak sabar dan ihlas—ya karena kita berpikir instan tadi. Manulis satu tulisan per bulan saja belum tentu terpenuhi, apalagi jika diminta untuk menyetor satu tulisan per pekan atau satu tulisan per hari. Paksaan positif semacam ini hanya kita terjemahkan sebagai tekanan yang membebani—kita suka lupa bahwa penulis pun harus naik kelas, sebagaimana siswa belajar di sekolah juga naik kelas.
Sekarang, marilah bongkar mindset kita. Kita singkirkan pikiran untuk berhasil instan dalam berproses menulis kreatif. Kita ubah menjadi pikiran yang legawa untuk manjalani proses menulis secara alamiah, dengan kesabaran dan keihlasan yang memadai. Untuk tiba pada momentum kecanduan, memang kita tidak akan berbarengan. Namun, kita yakini, bahwa kita akan tiba pula di momentum kecanduan menulis itu.
Gresik, 17/11/2023