Santri dan Literasi

0
1019

Santri

Ngainun Naim

 

Santri itu bukan hanya konsumen kitab kuning tetapi juga produsen. Kitab demi kitab telah dibaca. Kitab demi kitab atau buku demi buku juga telah ditulis. Meskipun jumlah santri yang menulis belum banyak namun karya-karya mereka telah mewarnai tradisi keilmuan dan membangun tradisi keislaman khas Indonesia.

 

Pokok pikiran ini saya simpulkan usai membaca bab dengan judul “Kitab Kuning: Buku-buku Berhuruf Arab yang Dipergunakan di Lingkungan Pesantren”. Bab ini termuat dalam buku karya Martin van Bruinessen. Judulnya Pesantren, Kitab Kuning dan Tarekat. Edisi awal buku ini diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung. Edisi baru diterbitkan oleh Gading Yogyakarta (2017).

 

Buku ini, menurut saya, termasuk buku monumental. Buku kaya data yang menunjukkan bahwa penulisnya melakukan kerja intelektual yang sangat serius. Tiga bagian buku ini—kitab kuning, pesantren, dan tarekat—adalah bagian tidak terpisah dari kehidupan kalangan santri.

 

Salah satu pelajaran penting dari buku ini, menurut saya, adalah relasi antara santri dengan dunia literasi. Selain sebagai konsumen ilmu pengetahuan, santri juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan buku-buku ilmu pengetahuan. Jumlah santri—yang kemudian banyak yang menjadi kiai—yang menulis buku semakin hari semakin banyak.

 

Pembelajaran di pesantren sesungguhnya memberikan modal yang sangat penting untuk tumbuh dan berkembangnya budaya literasi. Namun sebagai modal, sifatnya pasif. Jika diolah dan dikelola secara baik maka modal itu akan fungsional dan bisa berubah menjadi bagian penting dari terbangunnya tradisi literasi.

 

Salah satu basis literasi adalah membaca. Ngaji substansinya adalah membaca. Mengkaji kitab adalah membaca itu sendiri. Soal metode yang digunakan, tergantung kepada kiai atau ustadz. Ngaji adalah belajar.

 

Membaca, sebagaimana kegiatan ngaji, memiliki banyak manfaat. Melalui aktivitas membaca membuat otak menjadi fungsional. Membaca memerlukan keterlibatan secara aktif pikiran dan imajinasi. Membaca merangsang kedua belahan otak dan juga sistem limbik (Hernowo: 2008).

 

Sayang, ketika membaca belum mengakar kuat dalam budaya kita, telah datang serbuan teknologi informasi yang sedemikian dahsyat. Membaca semakin tidak menarik. Handphone dan segenap fasilitasnya membuat literasi, khususnya membaca, semakin minggir. Masyarakat—tua atau muda—asyik dengan layar ponsel daripada asyik menelusuri halaman demi halaman buku.

 

Ini menjadi tantangan serius bagi dunia literasi, termasuk bagi santri. Ngaji itu identitas santri. Ia harus terus dirawat dan dikelola secara baik. Hadirnya teknologi informasi dan komunikasi sebaiknya diposisikan sebagai tantangan yang penting untuk dikelola secara kreatif-konstruktif agar mendukung budaya ngaji.

 

Bagi santri tertentu yang kreatif, ngaji tidak sekadar mendengarkan penjelasan kiai dan menulis arti di bawah teks kitab yang ditulis. Lebih dari itu, ia juga mencatat hasil dari ngajinya. Kumpulan dari catatan ini, pada kasus tertentu, bisa diolah menjadi buku.

 

Santri sendiri sesungguhnya bukan sebatas mereka yang menuntut ilmu di pondok pesantren. Menurut Mulkhan (2010), santri itu cakupan maknanya cukup luas. Santri adalah mereka yang menjalankan ajaran agama Islam. Motivasi untuk menjadi santri ternyata tidak hanya konteks keagamaan. Bisa juga karena dorongan ekonomi, politik, budaya, pekerjaan, psikologi, dan keluarga. Meskipun demikian, mereka dipertemukan oleh identitas sebagai santri.

 

Aspek yang relevan untuk ditumbuhkembangkan adalah menulis. Santri dan kehidupan yang berkaitan dengan santri merupakan modal untuk menulis yang sangat kaya. Khazanah kehidupan ini sayang jika tidak ditulis.

 

Dalam konteks ini penting untuk merenungkan pendapat Gol A Gong (2006). Ia menulis bahwa budaya tulis itu tidak terbentuk dengan sendirinya. Ia berkaitan dengan banyak variabel yang saling berkait-kelindan satu sama lain.

 

Budaya tulis bisa tumbuh subur karena adanya dukungan dari masyarakat. Gong menyebutnya sebagai learning society (masyarakat senang belajar). Selain itu perlu juga dimilikinya karakteristik well informed (terbuka dengan segala informasi) yang sudah terbangun sama tingginya dengan budaya baca (literate society) dan tulis.

 

Jika kondisi semacam ini sudah tercipta maka apa pun yang kelihatannya remeh selalu mampu menggerakkan untuk menulis. Persyaratan dasar bagi terbangunnya budaya literasi sudah ada di kalangan santri. Agenda yang penting adalah bagaimana menumbuhsuburkannya menjadi tradisi yang semakin kuat mengakar.

 

 

Tulungagung, 22-10-2023

 

Ngainun Naim, Dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Lahir di Tulungagung pada 19 Juli 1975. Penulis aktif dalam kegiatan literasi. Karya tulisnya dalam bentuk buku, esai, dan artikel jurnal ilmiah. Penulis juga mengelola: https://www.spirit-literasi.id/, https://ngainun-naim.blogspot.com/, dan Halaman Artikel Profil Ngainun Naim – Kompasiana.com. Penulis bisa dihubungi di email: naimmas22@gmail.com.

 

Daftar Bacaan

Abdul Munir Mulkhan. (2010). Marhaenis Muhammadiyah, Yogyakarta: Galang Press.

Gol A Gong. (2006). Menggenggam Dunia, Bukuku Hatiku. Bandung: DAR!

Hernowo. (2018). Membacalah Agar Dirimu Mulia. Bandung: Mizan.

Martin van Bruinessen. (2017). Pesantren, Kitab Kuning, dan Tarekat. Yogyakarta: Gading

 

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here