SATU ANAK DUA DIMENSI: Sebuah Renungan

0
420

Oleh: Eni Setyowati

Anak…Ia lahir lewat engkau, tetapi bukan dari engkau…Ia ada padamu, tetapi bukanlah milikmu”
(Khalil Gibran)

Tulisan ini terinspirasi dari buku berjudul “Orangtuanya Manusia” karya Munib Chatib. Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan renungan untuk semua orang tua tentang anak-anak mereka. Pernahkah kita menyadari bahwa meskipun anak kita lahir lewat kita, namun ia bukan dari kita? Ataupun ia ada pada kita, namun bukan milik kita? Seringkali kita merasa anak adalah milik kita, sehingga apapun yang ada pada anak kita, kita merasa mereka harus kita genggam dan berhak atas semuanya. Itu tidak salah, akan tetapi apakah memang demikian?

Di dalam tulisan ini marilah kita renungkan siapakah anak kita sebenarnya dan untuk apa mereka ada? Untuk mengetahui siapa anak kita, ada dua dimensi yang harus kita ketahui. Pertama adalah dimensi psikologi dan kedua adalah dimensi fisiologi. Dimensi psikologi berarti melihat anak dari perkembangan mentalnya, seperti kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Anak memiliki kemampuan seluas samudra. Kemampuan kognitif menghasilkan daya pikir positif, kemampuan afektif menghasilkan nilai dan karakter yang manusiawi, dan kemampuan psikomotorik menghasilkan karya yang bermanfaat. Sedangkan dimensi fisiologi berarti melihat anak dari perkembangan jasmaninya, yaitu fisiknya. SATU ANAK DUA DIMENSI.

Dimensi yang pertama adalah dimensi psikologi. Mungkin kita sering mendengar banyak orang tua yang menceritakan keluhan tentang kenakalan anaknya, yang akhirnya menimbulkan kemarahan, bahkan perbuatan-perbuatan kekerasan fisik dan lain sebagainya. Yang menjadi pertanyaan “Mengapa anak tiba-tiba berperangai kasar?” “Bagaimana sebagai orang tua harus mengatasinya?” Salah satu yang harus diketahui orang tua adalah bahwa sesungguhnya setiap anak mempunya fitrah ilahiah. Fitrah ini sebagai pondasi dalam sebuah bangunan, yaitu ruh yang cenderung mengenal Tuhannya. Dapat dikatakan bahwa setiap anak pada hakikaktnya cenderung pada kebaikan.

Ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan mereka menjadi tidak baik. Ulama dan ahli Pendidikan anak menyatakan bahwa faktor-faktor utama yang menyebabkan anak tidak baik adalah: (a) melupakan Tuhan. Sudah menjadi tabiat manusia, jika ditimpa kesusahan atau kesulitan hidup dia akan berdoa kepada Tuhan agar kesulitannya dihilangkan, sayangnya setelah kesulitan itu hilang, ia akan kembali melupakan Tuhan. Kebiasaan melupakan Tuhan ini bisa menjadi sumber peringai buruk manusia. (b) Bangga, riya’, dan sombong. Bangga, riya’, dan sombong adalah penyakit hati. Orang yang demikian merasa bahwa apa yang ia raih selama ini adalah karena usahanya sendiri, ia lupa bahwa semua itu adalah karena Tuhan yang telah memberikan nikmat padanya. Jika anak sejak diri dihindarkan dari sifat bangga, riya’, dan sombong maka anak tidak akan mempunyai perangai buruk. (c) Tidak bersyukur dan mudah putus asa. Sifat ini juga dapat menyebabkan anak beperangai buruk. Ia akan gembira jika mendapat sesuatu yang diharapkan, namun akan sedih bahkan putus asa jika harapannya tidak tercapai. (d) Kikir dan berkeluh kesah. Sifat ini juga merupakan penyakit hati karena ia tidak mau bersedekah (pelit). Ia merasa miliknya telah diperoleh dengan bersusah payah, sehingga ia enggan berbagi dengan orang lain, karena takut apa yang dimilikinya akan habis. (e) Melampaui batas. Sifat ini juga merupakan penyakit hati karena sesuatu yang berlebihan itu akan berdampak tidak baik. (f) Tergesa-gesa. Sifat ini merupakan cerminan bagi seseorang yang kurang berhati-hati, sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak baik. (g) Suka membantah. Manusia mempunyai kecenderungan suka membantah apa yang tidak sesuai dengannya. Hal ini dapat menyebabkan perangai yang buruk. Marilah kita sebagai orang tua menghindari ketujuh faktor tersebut, agar anak kitapun akan mempunyai perangai yang baik. Marilah kita sebagai orang tua selalu mengaktifkan paradigma fitrah anak kita dan selalu berdoa kepada Tuhan semoga anak kita menjadi anak yang baik.

Dimensi kedua adalah dimensi fisiologi. Kekuatan genetika dan lingkungan sangat mempengaruhi perilaku anak kita. Setiap anak selalu mendambakan anaknya lahir sehat dan normal. Pertumbuhan anak di dalam kandungan salah satunya dipengaruhi oleh pertumbuhan gen. Sementara pertumbuhan gen dipengaruhi oleh faktor lingkungan, misalnya nutrisi dan kebersihan lingkungan. Agar anak tumbuh dengan sehat ibu hamil harus cukup nutrisi dan tentunya lingkungan yang sehat, bersih, dan tenang. Nutrisi dan kebersihan lingkungan saat ibu hamil, nantinya akan mempengaruhi perkembangan fisik dan otak janin.

Perkembangan otak akan mempengaruhi kecerdasan seseorang. Orang tua harus tahu bagaimana perkembangan otak anaknya, karena golden age tak mungkin akan terulang lagi. Usia 0 – 8 tahun ibarat pondasi pada sebuah bangunan. Jika pondasi itu disusun dengan bahan-bahan yang baik dan kuat, bangunan itu akan berdiri kukuh, tak terguncang oleh angin, tak roboh oleh gempa. Benyamin S Bloom, menyatakan bahwa pada saat anak berusia 4 tahun, seluruh potensi intelektualnya sudah terbentuk sehingga apabila pada usia 0 – 4 tahun anak tidak mendapat rangsangan otak yang tepat, kinerja otaknya tidak akan berkembang maksimal. Pada usia 8 tahun, kinerja otak berkembang mencapai 80%, dan selanjutnya akan mencapai 100% pada usia 18 tahun. Sehingga tak salah jika usia anak 0-8 tahun disebut sebagai usia emas (golden age).

Apabila 7 tahun pertama dilewati oleh orang tua dengan cara yang salah, maka pada 7 tahun kedua, orang tua akan banyak mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan anak. Akhirnya, pada 7 tahun ketiga, si anak tumbuh menjadi pribadi yang kehilangan kepercayaan dan moral. Anak adalah amanah dari Allah SWT, dan kita sudah terpilih menjadi orang tuanya. Tugas kita sebenarnya sederhana, yaitu menerima dengan ikhlas dan mendidiknya dengan berbagai cara. Jika orang tua menyalakan tombol “on” dalam benak mereka bahwa anak adalah bintang, maka anak akan menjadi bintang. Sebenarnya yang membuat anak gagal adalah penghalang-penghalang negatif tentang anak yang diciptakan oleh orang tua. Padahal, jika kita mampu merobohkan penghalang negatif itu, anak akan menjadi bintang yang bersinar terang. Kalau kita percaya bahwa ada harta karun dalam diri anak kita, kita harus jadi penyelam untuk menemukannya. Tak perduli kedalaman samudra yang terdalam, tak peduli gelapnya lautan yang tergelap. Semoga kita bisa menjadi orang tua hebat untuk anak-anak kita…aamiin.

 

Menjadi orang tua…

tidak hanya sebagai takdir,

namun seperti hadirnya sebuah kesempatan

untuk membuktikan

peranan kita di muka bumi,

meneruskan rencana Illahi,

mewarnai anak-anak dengan cinta.

Lalu, biarkan siklus berputar

Sampai zaman ditamatkan..

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here