Malam ini hujan turun dengan derasnya. Kupandang langit yang gelap. Air turun bagai ditumpahkan begitu saja dari langit. Daun-daun menari diterpa angin, meliuk ke kanan dan ke kiri. Kuseru namaMu diantara derasnya air hujan. Ya Rabb.. aku akan kembali kepadaMu, sebagaimana Pak Hernowo dan Pak Taufiqi. Ya Rabb ya Tuhanku..
Ya, aku tahu bahwa setiap yang berjiwa akan mati, kembali pada Sang Pemilik Kehidupan. Namun saat kubaca pesan Prof. Imam Suprayogo menjelang siang kala itu, aku tak kuasa menahan tangis. Ya, aku hanya mampu menangis. Aku tidak bisa menulis. Tak mampu melukiskan perasaanku. Memang kami hanyalah teman dalam komunitas menulis Sahabat Pena Kita, namun hatiku perih dan pedih mendengar berita kepergian beliau. Sakit rasanya. Rasanya tak percaya, secepat itu beliau pergi.
Pertama kali mulai mengenal Pak Viqi adalah ketika beliau membagikan buku Graphologi karya beliau ke semua anggota komunitas menulis SPN. “Wah, keren nih,” pikirku. Tentu hanya niat baik dan modal kuat yang mampu mewujudkan kebaikan begitu.
Di Kopdar SPN di UNESA, beliau datang dengan gayanya yang khas. Santai, berkemeja, pakai sarung. Beliau menyapa Pak Emcho tuan rumah Kopdar. Tampak beliau berdua berbincang asyik. “Unik nih orang,” pikirku. Selebihnya aku hanya mendengar cerita tentang beliau dan membaca di buku tentang Bululawang rumah beliau sebagai awal pendirian SPN.
Tiba-tiba SPN diterpa badai. Gonjang-ganjing. Aku mengikuti diskusinya di grup. Aku tidak faham pokok persoalannya. Prihatin saja. Hingga suatu ketika kami musyawarah di UNESA. Pak Viqi datang, duduk dan “Saya hanya punya waktu lima menit..,” kata beliau sambil menjelaskan kepentingan untuk menyelamatkan grup ini. Aku menjadi kian faham kesungguhan para pendiri komunitas penulis ini. Setelah itu beliau segera pergi melanjutkan perjalanannya. Beliau harus segera ke bandara. “Keren nih orang..” pikirku. Aku beruntung terlibat dalam proses ini. Aku melihat bagaimana budaya menulis itu dibangun dengan darah dan air mata oleh segenap pendirinya. Dengan tertatih-tatih. Dengan peluh.
Kopdar pertama SPK digelar di Yogyakarta. Nekat aku menghubungkannya dengan pihak kampus UNISA. Hla yo nekat namanya, wong aku bukan termasuk pendiri, bukan penggagas. Menulis pun aku masih tergolong lola, loading lama. Sederhana saja. Aku berusaha membantu meringankan langkah teman-teman penulis. Itu saja. Jadi yach… kalau ditanya grand disain pengembangan SPK aku belum punya. Aku sekadar memfasilitasi sebuah perhelatan menulis. Senang saja melihat teman-teman antusias menulis. Aku sadar bahwa menulis itu butuh suasana batin yang nyaman.
Dari diskusi pengurus, ditetapkan Pak Viqi sebagai pembicara seminar kepenulisannya. “Siapa, Bu, namanya?” tanya bagian Humas. Kusebutkan, “Dr. HM Taufiqi, SP., M.Pd., HC.C., Ht.Ci., C.NL.p., CT.C., MT.C.sg.” Spontan dikomentari, “Panjang sekali, Bu..” “Ya,” jawabku. Kukoordinasikan pembuatan backdrop dalam ruangan dan luar ruangan sebagaimana disarankan kampus. Dan kupikir nekat juga, wong aku tidak pegang uang kok punya gawe. Lobi dengan pihak kampus dan oke fifti-fifti anggarannya. Aku pun tidak tahu, tapi kok sama sekali aku tidak khawatir. Alhamdulillah kuasa Allah diberikan kemudahan dapat rejeki untuk menutup keuangannya. Ada keuangan penjualan buku Prof. Muhammad. Ada pula sumbangan anggota SPN Malaysia yang kebetulan hadir di Yogya. Dari hal ini aku belajar bahwa niat baik itu penting dikuatkan dengan tekad bulat, maka niat mulia itulah yang pertama kali harus diikrarkan. Innamal a’malu binniyyah. Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung niatnya.
Tibalah saatnya menjemput Pak Viqi ke bandara Adisutjipto Yogyakarta. Meluncurlah kami ke bandara dengan mobil kampus. Pak Wirdan drivernya. “Ibu harus ikut,” kata Pak Wirdan menjelaskan prosedur penjemputan yang musti kami taati. Beberapa saat menunggu di bandara, tibalah Pak Viqi bersama Bu Erna istrinya dan Dik Qotton bungsu beliau. Beliau semuanya ramah. Tentu saja aku bersyukur. Baru kali ini aku berinteraksi langsung dengan maestro SPK. Sssst…. Jangan bilang-bilang… aku memang selalu malu untuk memulai pembicaraan. Aku lebih memilih untuk duduk, diam, mendengarkan, memperhatikan, mengamati. Nggak berani tanya. Takut salah.
Ternyata Pak Viqi dan Bu Erna orangnya welcome banget. Sepanjang perjalanan cerita ini itu. Seru. Intinya komunitas menulis ini musti diselamatkan dan terus dikembangkan. “Ya, setuju,” jawabku pendek. Dalam hati aku bersorak kegirangan, “Yes, betul banget. Ukhuwah mustilah dijaga. Komunitas menulis ini mustilah dilanjutkan, demi sebuah nilai utama kehidupan: Majunya Peradaban.”
Dengan malu kusampaikan pada beliau, “Prof. Muhammad yang memasukkan saya ke grup, Pak. Sebenarnya saya belum bisa apa-apa..” Nah, menariknya, baik Pak Viqi maupun Bu Erna langsung menyanggah, “Itu karena Prof. Muhammad melihat potensi Bu Lina yang luar biasa.” Makjleb. Aku heran. Bukankah Bu Erna baru pertama kali ini bertemu denganku? Kok beliau berdua kompak mengatakan hal itu? Mungkin inikah yang namanya persaudaraan karena dipertemukan Allah? Katanya, kalau dasar pijakannya sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunah, insyaallah gampang ketemunya. Obrolan di warung makan pun, bersama Pak Wirdan driver kampus pula, tampak penuh kekeluargaan. Beliau tidak memandang sebelah mata profesi driver. Setara dan baik-baik saja. Aku syukuri ini.
Di UNNES, senang berkolaborasi dengan beliau. Ice breaking seminar aku sempat coba menghidupkan suasana, kemudian Pak Viqi tampil dengan gagahnya. Peserta pun tampak rileks dan antusias melanjutkan seminar.
Malam hari pelaksanaan Kopdar, pembahasan sangat ramai, yaitu tentang pentol merah. Duh, kalau sudah sampai di titik ini, aku merasa disorot kamera. Pak Viqi mengulas panjang lebar sejak apa perlunya grup ini dibuat, pentingnya persaudaraan, hingga kebijakan bahwa deadline kembali ke “akhir bulan”. Tentu saja kopdar yang sangat berkesan. Hingga tengah malam membahasnya! Bagaimana pun, perkembangan ini musti kita syukuri. Bahwa mulai kopdar UNNES ini waktunya lebih panjang, sehingga memungkinkan kita semua duduk bersama membicarakan dinamika dan perkembangan yang ada. Tidak lagi hanya sehari.
Keesokan paginya, kami kumpul di halaman depan hotel untuk senam dan game ringan. Sekadar menjalin ukhuwah. Permainan pun kita rumuskan sambil jalan. Seru kan? Nah, Pak Viqi keluar bersama dik Qotton nonton kami.
Di wisata Eling Bening Ambarawa, kami foto-foto. Ceria. Maklumlah, ini wisata pertama kami Komunitas SPK. Ini hasil musyawarah kopdar sebelumnya, bahwa seminar dan kopdar sebaiknya disertai wisata. Untuk refreshing. Benar juga, menulis itu bukan hanya urusan keilmuan, namun juga wilayah hati. Nah, di pertemuan ini Bu Erna menyampaikan, “Bu Lina besok Kopdar Malang nginep di rumah saya ya.. Ajak juga suaminya. Bener ya..?” Pak Viqi pun tersenyum dan mengangguk, seakan ingin membahagiakan sang istri. Tentu saja aku bahagia melihatnya. Maklumlah, sebelum ini Pak Viqi harus ekstra merawat sang istri yang sakit. Beliau pun menyampaikannya padaku. Karena melihat Bu Erna sudah sembuh dan keluarganya bahagia, membuatku ikut bahagia. “Dik Qotton selalu mencari pesawat,” kata Bu Muhammad. Aku pun tersenyum bangga karena Bu Muhammad Sang Guru TK berhasil merayu dan mengalihkan perhatian dik Qotton.
Rapat persiapan kopdar SPK di Malang dipimpin langsung oleh Pak Viqi. Aku biasa memanggilnya “Doktor Viqi”, kadang pula “Kiai Viqi”. Kesungguhan dan keseriusan beliau menyiapkannya tampak nyata. Dengan penuh keyakinan, kami bertiga dari Yogyakarta berangkat menuju Malang. Aku, Mas Syahrul dan Prof. Muhammad. Aku membayangkan nanti akan kembali berkolaborasi dengan Sang Maestro di seminar kepenulisan, kemudian di senam pagi sebelum wisata. Kubayangkan pula akan singgah sejenak di rumah beliau, sebagaimana pesan yang disampaikannya saat di Eling Bening. Ternyata pupus semua harapan. Sesampai penginapan, kami mendapat informasi bahwa Pak Viqi sakit, harus istirahat total, tidak boleh dijenguk agar benar-benar bisa istirahat, di sebuah tempat yang dirahasiakan.
Jadilah kami seminar kepenulisan dan kopdar tanpa kehadiran Sang Maestro. Namun demikian kami agak terhibur dengan kehadiran Prof. Imam Suprayogo, juga Sang Maestro Menulis. Sejak awal hingga akhir uraiannya, beliau sampaikan menulis itu dengan sangat sederhana. Menulis tiap hari. Ya, menulis saja. “Hla saya menulis itu karena saya bodo..” ungkapnya dengan nada datar. “Sekaliber beliau menulis hanya karena merasa bodoh?” tanyaku dalam hati, “Sesederhana itukah semangat menulis?” Subhanallah.. Alhamdulillah.. Tentu saja aku bersyukur bisa berjumpa beliau dan mengikuti kuliah menulisnya.
Saat wisata ke Masjid Tiban Turen, bis kami melewati SMK Bululawang. “Ow.. di sini tempat pertama kali komunitas ini digagas…” pikirku, sambil kuselipkan doa, “Semoga lekas sembuh ya, Pak Viqi..”. Berharap suatu saat bisa berkumpul kembali dengan Pak Viqi, tepuk tangan bersama, memandu bersama, menulis bersama. Tetapi Allah berkehendak lain. Allah memanggilnya. Beliau kembali menghadapNya.
Pelajaran apakah yang dapat kuambil? Menulis dan terus menulis. Bangun terus komunitas menulis untuk perkuat literasi. Perkuat jaringan dan terus tebar kebaikan.
Pak Doktor Kiai Viqi, selamat menghadap ke haribaan Ilahi. Terima kasih atas semua ilmu yang telah dibagi. Semangatmu kan senantiasa terpatri. Untuk kemajuan negri kita semua kan mengabdi. Aral melintang pastilah kan menghadang. Kau ajarkan pantang menyerah hadapi tantangan. Kau ajarkan pula, ukhuwah dan mahabbah mustilah senantiasa kibarkan. []