Berburu Takjil jangan Sampai Menghilangkan Pahala Puasa

0
124

Oleh : Ahmad Tri Sofyan

Ada fenomena menarik di Ramadhan tahun ini, yaitu takjil war. Istilah takjil war yang berarti “perang takjil” ini muncul dan viral lantaran banyak orang-orang non Islam yang ikut berburu takjil di sore hari. Alasan karena harganya murah, menunya lengkap dan bervariasi, serta hanya bisa didapati saat bulan Ramadhan adalah hal-hal yang menjadi motif bagi mereka untuk ikut berburu takjil. Selain itu, berburu takjil juga bisa mengakrabkan jalinan pertemanan.

Bagaimana umat Islam merespon hal ini? Kita ambil sisi positifnya saja, dan semoga tidak ada sisi negatifnya.  Secara teori ekonomi, semakin banyak yang membeli, maka semakin banyak barang yang terjual dan otomatis profit atau keuntungan juga semakin banyak. Selain itu, dengan bergabungnya non Islam dalam perburuan takjil, semoga bisa semakin mempererat tali persaudaraan sesama manusia atau ukhuwah insaniyah.

Di luar itu semua, saya berharap semoga bagi kalangan non Islam khususnya para perempuan juga pakaiannya bisa menyesuaikan. Dalam arti tidak menggunakan pakaian yang terlalu terbuka, karena berdasarkan pantauan di media sosial yang beredar ternyata ada perrempuan non Islam yang berburu takjil dengan memakai pakaian yang kurang pantas, misalnya mengenakan celana pendek di atas lutut.

Kalau pantauan secara langsung di tempat orang-orang jualan takjil , secara sekilas saya memang tidak melihat para perempuan yang berpakaian kurang sopan. Barangkali saya tidak melihat karena memang hanya lewat sekilas dan tidak ikut berburu takjil, bisa juga memang semua orang yang berburu takjil menggunakan pakaian yang sopan.

Untuk urusan berburu takjil di pinggir-pinggir jalan, tahun ini memang saya belum keluar secara khusus untuk melakukan hal ini. Saat ini lebih nyaman berbuka puasa di rumah bersama keluarga, jika tidak ada jadwal mengisi kajian jelang buka atau kegiatan lainnya.  Berbeda dengan tahun lalu, dimana kami sekeluarga kadang ikut dalam keramaian di pinggir-pinggir jalan untuk membeli takjil. Lebih-lebih saat masih lajang, momen jalan-jalan sore sambil berburu takjil adalah sesuatu yang sangat menyenangkan.

Kalau saya perhatikan, para pencari takjil di pinggir jalan memang didominasi oleh anak muda. Kebanyakan usia mahasiswa. Sedangkan yang sudah berkeluarga, lebih banyak perperan sebagai penjualnya. hal ini saya perhatikan di beberapa tempat di Jogja, salah satunya saat saya melintas di kawasan masjid Jogokariyan.

Bersenang-Senanglah dalam Berburu Takjil, Tapi Jangan Sampai Merusak Kesempurnaan Puasa

Takjil sebetulnya berasal dari kata bahasa Arab yang berarti menyegerakan, yaitu menyegerakan untuk berbuka. Tapi kata tersebut sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan sudah lazim bermakna makanan pembuka untuk berbuka puasa. Di Indonesia, saat orang dengar kata takjil biasanya pikirannya langsung tertuju pada berbagai aneka jenis makanan untuk berbuka puasa.

Bagi penggemar takjil di pinggir jalan biasanya akan memanfaatkan momen ini untuk sekaligus jalan-jalan sore. Menunggu waktu berbuka memamng merupakan kebahagiaan tersendiri bagi umat Muslim. Nabi juga pernah menyampaikan ahal ini.

“Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, kegembiaran ketika berbuka puasa/berhari raya, dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya,” (HR Muslim)

Pertanyaannya adalah, apakah kesenangan dalam berburu takjil dan menunggu waktu berbuka ini mendukung kesempurnaan puasa yang akhirnya akan mendatangkan kebahagiaan abadi atau justru sebaliknya? Jika kita perhatikan, saat berburu takjil ada kerawanan-kerawanan yang patut diwaspadai.

Pertama, berbaurnya antara perempuan dan laki-laki. Hal ini tidak bisa dihindari, karena untuk saat ini pergelaran takjil belum memisahkan antara pengunjung laki-laki dan perempuan. Atau sudah ada di daerah Anda? Setahu saya belum ada. Hal ini berpotensi mengurangi pahala puasa bahkan bisa memunculkan dosa baru. Misalnya saat seseorang dengan sengaja memandang lawan jenis dengan pandangan nafsu birahi.

Kedua, berkumpulnya dengan orang lain atau teman sambil jalan-jalan untuk memilih takjil sangat berpotensi untuk mengghibah atau membicarakan orang lain. Kadang kita tidak berniat melakukan ini, tapi ada teman yang memulainya dan akhirnya kita terbawa untuk ikut membicarakan tanpa sadar. Untuk mengantisipasi hal ini, kita harus bisa menjaga diri dan mampu menasehati teman yang melakukan perbutaan tercela. Jika kita tidak mampu, sebaiknya pilih-pilih teman yang memang senantiasa berakhlak baik.

Ketiga, waktu shalat maghrib yang terabaikan. Shalat maghrib adalah kewajiban. Lebih utama dikerjakan dengan berjamaah. Kewajiban ini seringkali saya lihat diabaikan pada orang-orang yang larut dalam kenikmatan berbuka setelah sebelumnya mengumpulkan berbagai jenis makanan “hasil buruannya.” Mereka berlama-lama dalam menikmati buka puasa dan melaksanakan shalat maghrib jelang adzan isya berkumandang. Jika hal ini terjadi, bukankah menandakan bahwa puasanya pada hari tersebut sebetulnya merupakan puasa yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga?

Dari berbagai uraian di atas, maka saya memandang bahwa takjil sebetulnya adalah sesuatu yang positif. Bahkan dengan takjil yang digelar dan diberi tajuk dengan berbagai penamaan, misalnya pasar sore Ramadhan, jajanan Sore Ramadhan, Kampung Ramadhan, Grebek Ramadhan, Bazar Ramadhan dan lain sebagainya sebetulnya bisa menjadi syiar Ramadhan dan menguntungkan umat Islam. Tinggal bagaimana kita sebagai umat Islam bisa memanfaatkan momen ini tanpa mengabaikan nilai-nilai utama dari tujuan puasa.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here