Oleh Much. Khoiri
Banyak cara anak bangsa mendedikasikan diri untuk ikut serta dalam pembangungan di berbagai bidang. Setiap anak memiliki kapasitas unik yang dimilikinya untuk mewujudkan dedikasi itu. Seberapa pun dedikasi yang diberikan akan memiliki makna tersendiri—entah tercatat dalam sejarah bangsa atau hanya diabadikan dalam sejarah diri.
Saya salah seorang dari anak bangsa yang berposisi ikut mendedikasikan diri untuk pembangunan. Karena saya merasa memiliki kapasitas dan kemampuan dalam literasi—suatu bidang yang saya tekuni dan kembangkan selama ini—saya akan terus mengabdi dengan berbagi pengetahuan tentang literasi kepada masyarakat dan tetap menulis buku. Keduanya saya hayati untuk saling melengkapi.
Berbagi Literasi
Hal pertama yang bisa saya lakukan adalah berbagi literasi kepada masyarakat. Saya telah berupaya membagikan sedikit pengetahuan dan pengalaman saya dalam bidang literasi lewat berbagai forum dan media: perkuliahan, seminar, diskusi, pelatihan, jurnal, surat kabar, blog atau website, Youtube, dan Tiktok.
Dalam mata-kuliah yang saya ampu, terutama dalam kajian budaya dan sastra serta menulis kreatif, saya sering menitipkan pesan-pesan betapa pentingnya literasi untuk kemajuan bangsa. Setiap kita berkewajiban untuk menyumbangkan kemampuan untuk mendukung gerakan literasi nasional, agar bangsa ini menjadi semakin literat. Hadirnya masyarakat literat pastilah dibangun oleh gerakan literasi nasional yang konsisten dan masif—di antaranya juga berkat dukungan dosen dan mahasiswa.
Saya juga menyuarakan pandangan dan pengalaman dalam seminar dan diskusi tentang literasi dan pembudayaannya. Tidak perlu saya rinci di sini kapan saja dan di mana saja saya telah menghadiri forum-forum akademik semacam itu, tentu saja untuk menggaungkan gerakan literasi di tengah masyarakat.
Selain itu, saya juga menulis artikel ke jurnal ilmiah di dalam luar negeri dan luar negeri. Saya sadar, menulis artikel ke jurnal hanya mencapai pembaca terbatas yang sebidang ilmu dengan saya, tetapi dampaknya pastilah akan terasa di kemudian hari. Mungkin saja gagasan yang ada akan mencerahkan dan menginspirasi pembaca, atau bahkan kemudian disitasi untuk karya ilmiahnya.
Tak jarang saya juga menulis artikel ilmiah populer atau fiksi ke surat kabar, baik surat kabar cetak maupun surat kabar online. Tulisan-tulisan saya dalam konteks ini memiliki pembaca masyarakat umum—bukan masyarakat khusus (akademik) sebagaimana artikel saya di jurnal ilmiah. Surat kabar mampu menjangkau masyarakat dengan berbagai lapisan sosialnya.
Bahkan, saya juga berbagi literasi lewat blog atau website, Youtube, dan Tiktok. Tentu saja, saya sengaja membangun beberapa blog dan website, guna memuat tulisan-tulisan harian saya tentang literasi, sastra, budaya, dan sebagainya. Saya juga memiliki akun Youtube “Blantik Literasi” yang hingga kini telah berisi banyak vidio literasi dan pembudayaannya. Yang terkini, saya juga memiliki akun Tiktok “Much. Khoiri Blantik Literasi” yang telah menerbitkan ratusan vidio pendek—semuanya tentang edukasi literasi dan praktik literasi.
Yang sangat melekat dengan saya adalah pelatihan literasi. Saya telah bertahun-tahun menjadi nara sumber pelatihan literasi, pada satu sisi tentang pembudayaan literasi (terutama di sekolah dan masyarakat), dan pada sisi lain pelatihan kecakapan literasi termasuk menulis. Untuk hal kedua ini, saya telah melatih dosen, guru, dan siswa di berbagai wilayah negeri ini untuk menulis: ada yang menulis artikel untuk blog, ada pula yang menulis untuk buku antologi dan buku mandiri.
Beberapa kegiatan saya dalam berbagi literasi, sebagaimana dipaparkan di atas, telah saya jalani selama ini: ada yang sudah saya tekuni sejak awal tahun 2000-an, ada pula yang baru beberapa tahun terakhir. Semua telah berproses sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang saya miliki. Sekarang saya telah menemukan sebagian hasilnya, memang; tetapi saya yakin bahwa ke depan saya akan menemukan hasil yang lebih menggembirakan.
Tetap Menulis Buku
Hal kedua yang ingin terus saya jalani adalah tetap menulis buku. Menulis buku, sementara ini, menjadi passion terbesar saya dalam menulis. Buku telah menjadi pilihan penting dalam dunia kepenulisan saya. Menulis buku, karena itu, terasa lebih nyaman dibandingkan, misalnya, menulis artikel ilmiah—meski keduanya harus saya jalani sebagai insan akademik.
Di samping memenuhi passion saya, saya yakin bahwa menulis buku itu merupakan langkah strategis dalam pembudayaan literasi. Mengapa demikian? Pertama, tak bisa dimungkiri, buku adalah sarana membangun dan meningkatkan budaya literasi. Tanpa adanya buku, apa yang bisa diberikan kepada masyarakat untuk membiasakan diri dengan membaca? Gadget mungkin lebih menggoda, namun jika tersedia buku secukupnya, pilihan masyarakat amat oleh jadi bisa bergeser.
Kedua, bagi saya, menulis (buku) pada hakikatnya adalah membangun kebudayaan (dan peradaban). Sebab, buku yang ditulis oleh para penulis akan mengendon dalam pikiran dan kalbu masyarakat, yang pada saatnya akan berkembang dalam dunia pemikiran mereka—dan amat boleh jadi dikembangkan menjadi buku-buku baru di masa datang. Dalam skala lebih luas, outcome-nya bisa berupa pikiran, ucapan, dan perilaku yang terpengaruhi oleh bahan bacaan. Negeri-negeri maju telah membuktikan hal ini.
Ketiga, saya yakin, buku yang bermutu menyebabkan tumbuh-berkembangnya “masyarakat belajar”. Siapakah masyarakat belajar itu? Merekalah masyarakat yang menjadikan buku sebagai sahabat dan teman belajar setiap waktu. Di samping itu, mereka juga membangun budaya baru untuk “membaca” lingkungan dan kehidupan sosial lain. Apa pun sejatinya bisa dimanfaatkan untuk belajar dan bisa dipelajari.
Keempat, masyarakat belajar sekaligus juga masyarakat cerdas dan dinamis, yang siap mengkonstruksi kebudayaan baru. Berkat keluasan wawasan yang mereka peroleh dari banyak membaca (dalam arti luas), mereka bijaksana dalam menyikapi perubahan, dan karena itu, mereka pun selalu tertantang untuk membangun budaya yang baru—budaya baru yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.
Kelima, jika ada tudingan akan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, itu bukan hanya karena mereka benar-benar memiliki minat baca rendah, melainkan juga karena tidak tersedianya buku di rumah, perpustakaan, tempat kerja, atau taman bacaan masyarakat. Andaikata tersedia pun, jumlahnya amat terbatas, yang memustahilkan mereka untuk membaca.
Dengan kalimat lain, untuk membuat orang membaca, tidak diperlukan terlalu banyak teori tentang membaca, melainkan hanya perlu menyediakan buku untuk dibaca yang banyak dan gratis! Karena itu, buku perlu disediakan di tempat-tempat strategis: sekolah, rumah, sudut baca, dan sebagainya. Untuk ikut menyediakan buku-buku yang dimaksud, saya telah menulis buku-buku saya selama ini.
Oleh sebab itu, saya sering dan selalu mengajak seluruh penulis di negeri ini untuk menulis buku berkualitas sebanyak-banyaknya. Sekali lagi, buku yang berkualitas! Membaca dan menulis perlu dijadikan “budaya individual” kita masing-masing. Dengan budaya individual kita yang memberikan keteladanan, akan mempercepat pembudayaan literasi.
Epilog
Berbagi literasi dan menulis buku tentulah hanya langkah kecil yang mampu saya lakukan, yang dampaknya mungkin tidaklah seberapa besar pada saat ini. Namun, saya sangat percaya bahwa ke depan apa yang saya lakukan akan ikut menyemarakkan perjuangan oleh para penggerak dan pegiat literasi di negeri ini.
Impian saya, bangsa kita meneladani bangsa-bangsa paling literat dewasa ini—Finlandia, Norwegia, Iceland, Denmark, Swedia, Switzerland, Amerika Serikat, Jerman, Latvia, dan Belanda. Impian lain: kita juga meneladani lima bangsa dengan skor tes tertinggi—Singapore, Finlandia, Korea Selatan, Jepang, dan China. Ini memang impian yang besar. Pertanyaannya, maukah kita mengejar impian besar itu?
Tentu saja, saya berharap bahwa kita tidak hanya ingin bermimpi dan bersorak melihat keberhasilan mereka. Kita wajib mengejarnya dengan segenap kemampuan. Jika impian ini berhasil, dalam beberapa tahun saja, pembudayaan literasi akan menemukan hasilnya yang gemilang. Semua itu perlu komitmen dan tindakan nyata.[]
Gresik, 30 Agustus 2023