KEMATIAN SEBAGAI NASIHAT

1
1952

Oleh: MUCH. KHOIRI*

NASIHAT tak usah dicari jauh-jauh. Jika ada tetangga meninggal dunia, mari datangi rumahnya. Mari ikuti seluruh prosesinya, mulai pemandian hingga pemakamannya. Merenunginya lebih jauh, tentu boleh dan tidak bayar. Kematian, cukuplah sebagai nasihat.

Saat ada di rumah duka, mari perhatikan seberapa banyak pelayat hadir. Jika banyak pelayat, dengan kesedihan mendalam, itu pertanda almarhum(ah) dicintai oleh banyak orang berkat kebaikannya, kemuliaannya. Manusia baik membuat orang sekeliling tertawa tatkala ia lahir, dan membuat mereka menangis tatkala ia mati. Begitu sebaliknya.

Nasihat itu jelas. Sebaik manusia adalah ia yang bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi manusia lain. Maka, kita mesti berbuat baik sejak dalam pikiran. Dengan dasar ini, hati kita menjadi ikhlas, lisan akan terjaga, sikap ya santun kepada sesama, dan perilaku ya tidak semena-mena. Untuk apa melakukan sebaliknya? Bukankah manusia memanen apa yang ia tanam?

Lalu, mari perhatikan apa yang dirasan-rasan orang sekeliling. Ini kerap terjadi, bahkan kerap tak disadari. Terlebih kalau musim pilkada, pileg, atau pilpres. Ingat, spontanitas itu cermin dari kesadaran sejati mereka. Obrolah mereka itu mengandung makna. Maka, mari simaklah kebaikan-kebaikan apa yang mereka bincangkan tentang almarhum(ah), atau keburukan-keburukan apa, jika ada. Itu jadi cermin, suatu saat mungkin kita juga akan dirasani semacam itu.

Bukan itu saja. Kita dinasihati oleh almarhum(ah), betapa saat terbujur kaku, manusia tidak berdaya apa pun—jangankan berkegiatan sehari-hari, berdoa (dalam batin) saja pun tidak mampu. Tak peduli ganteng atau cantik, ia hanya sebujur bangkai tak berguna, dan bahkan perlu secepatnya dipendam. Semua yang disombongkan dan dibanggakan tak akan menyertainya. Sendiri tanpa teman.

Berangkat ke area makam pun, ia tidak mampu, semula hanya dipanggul pundak-pundak keluarga, tetangga atau pelayat lain. Ia sendirian di dalam keranda, tanpa sepatah kata mampu bicara. Kebisuan dalam kesendirian. Begitu pun kita kelak, kita juga akan dimasukkan ke dalam keranda dan dipanggul di atas pundak-pundak, dalam kesendirin, disertai gumaman doa-doa yang hanya bisa terdengar.

Lalu, almarhum(ah) akan dibawa ke pemahaman dengan ambulan. Kita akan sama dengan ia; juga dibawa dengan ambulan. Mungkin mobilnya sama, meski semasa hidup kita terbiasa bermobil mewah—bahkan, dengan jumlah 21 unit misalnya. Tak satu pun mobil-mobil mewah kita mengantar kita ke pemakaman. Kita hanya naik ambulan, tidak lebih! Bahkan di kampung sebelah, mungkin keranda kita hanya dipanggul bergantian.

Maka, nasihat tambahan, kita perlu berbaik-baik dengan tetangga. Tetangga jadi saudara, itu bisa terjadi, sebab dalam sikon darurat, tetanggalah yang segera datang membantu. Bayangkan, jika kita jahat pada mereka, apakah kita akan berangkat sendiri ke pemakaman tatkala kita mati? Tidak! Mati pun masih merepotkan dan minta bantuan orang lain, bukan?

Di makam, perhatikan, mulai pintu masuk hingga sejauh mata memandang. Ada ribuan nisan, ada yang bertuliskan nama, ada yang tidak. Yang jelas, itulah pula ‘rumah masa depan’ almarhum(ah), juga rumah masa depan kita. Semewah apa pun rumah kita, kita akan menghuni rumah 1×2 meter tanpa pintu tanpa jendela. Hanya, dua nisan sebagai prasasti keberadaan kita. Tanpa gelar terpasang di sana.

Maka, dari kematian almarhum(ah), apalagi yang kita petik nasihatnya? Jasadnya berasal dari tanah, dan akan kembali menjadi tanah. Hanya manusia-manusia mulia yang terjaga dari kerusakan jasad setelah dimakamkan, itu pun atas izin Allah semata. Jasad kita, sebagai manusia biasa, seperti almarhum(ah) tersebut akan kembali ke asalnya.

Sama dengan almarhum(ah), hanya ruh kita yang masih hidup. Ada alam barzah yang perlu dihayati hingga kiamat kubra tiba. Pertanyaannya, bekal apakah yang telah disiapkan selama hidup untuk menempuh perjalanan ruh pulang ke kampung halaman? Apakah ilmu bermanfaat, shadaqah-jariyah, dan anak-anak shalih(ah) yang mau mendoakan orang tuanya?

Mari renungkan: Kematian akan datang menjemput siapa pun yang dihendaki-Nya. Maka, mari biasakan untuk hadir takziyah untuk orang yang meninggal. Ada berbagai hikmah dan nasihat yang bisa dipetik darinya. Sekali lagi, kematian sudah cukup untuk nasihat menjalani hidup dan menghadapi kematian itu sendiri. Wallaahu a’lam.*

Driyorejo, 10/4/2020

*Much. Khoiri adalah penulis 42 buku dari Unesa Surabaya, penasihat SPK, dan jamaah Masjid Al-Hijrah KBD Gresik.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here