Kepantasan dan Keterbatasan

0
418

Oleh Agus Hariono

Pada suatu hari, Jalaluddin Rumi mengisahkan bahwa putra Maryam berjalan-jalan di padang pasir dekat bait al maqdis bersama sekelompok orang yang cenderung mementingkan diri sendiri. Dalam perjalanan itu, mereka dengan sangat memohon agar putra Maryam berbagi ‘kata rahasia’ yang bisa menghidupkan orang mati. Namun, ia memperingatkan bahwa jika ia mengungkapkannya, kemungkinan akan disalahgunakan.

Kelompok tersebut bersikeras bahwa mereka tidak akan menyalahgunakan dan justru hal tersebut dapat menambah keyakinan mereka. Namun, putra Maryam merasa mereka tidak sepenuhnya memahami konsekuensi dari permintaan mereka. Meskipun demikian, ia akhirnya berbagi ‘kata rahasia’ tersebut kepada mereka. Kemudian, mereka berjalan ke tempat yang terlantar dan menemukan tumpukan tulang putih.

Mereka mengucapkan kata tersebut. Begitu kata diucapkan tulang-tulang itupun segera terbungkus daging dan menjelma menjadi seekor binatang liar yang kelaparan yang kemudian merobek-robek mereka sampai menjadi serpihan-serpihan daging.

Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari cerita di atas. Pertama, bahwa cerita ini mengajarkan kita tentang tingkat kepantasan seseorang dalam mengembang sesuatu. Putra Maryam atau Nabi Isa memang dapat menghidupkan orang yang sudah mati karena dia adalah seorang nabi. Selain itu, kejadian demikian juga terjadi hanya sekali. Itupun untuk kepentingan penyelidikan suatu masalah. Karena itulah peristiwa tersebut disebut sebagai mukjizat atau keajaiban Allah SWT yang diberikan kepada Nabi Isa as.

Cerita di atas relevan dengan hadis nabi, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” Bahwa segala sesuatu ada ilmunya. Orang yang belum menguasai atau belum layak mengemban suatu amanah, maka belajarlah dulu. Pantaskan dulu ilmunya, baru emban amanahnya.

Kalau melihat fenomena sekarang tampaknya jarang yang memedulikan. Dampak yang diakibatkan pada kemudian hari pun tidak dianggap, yang penting dapat jabatan. Urusan menguasai persoalan pikir belakangan. Toh, semua bisa dipelajari. Tidak dikerjakan sendiri. Ada kolega, ada bawahan. Inilah kira-kira potret kemimpinan sekarang di berbagai lini kehidupan.

Memantaskan diri menjadi seolah tidak penting. Bahkan ada yang sampai membabi buta untuk mendapatkan jabatan yang sesungguhnya belum saatnya didapatkan. Kemampuan dan penguasaan masalah urutan kesekian yang terpenting ada jaringan dan orang dalam. Dengan prinsip semua bisa diatur, mereka mengaikan syarat pokok yang harus dikuasai. Akibatnya sudah barang tentu kehancuran, carut marut, dan beragam masalah datang silih berganti, karena di tangan orang yang tidak berkompeten. Tidak menguasai masalah. Dan tidak dapat mengurai masalah. Naudzubilah!

Kedua, andai kata mikjizat memiliki mantra atau amalan tertentu yang dapat diajarkan kepada orang lain, tentu hasilnya tetap berbeda. Apalagi diajarkan kepada orang yang belum cukup ilmu dan kepribadiannya, tentu akan membayakan. Tidak saja untuk dirinya sendiri, juga orang lain. Sebagaimana peribahasa yang sering kita dengar, “Senapan di tangan seorang polisi tentu akan digunakan untuk menjaga keamanan, namun di tangan orang yang berhati jahat, tentu saja itu akan digunakan untuk merampok.” Atau, “Seperti teknologi siber di tangan para ahli keamanan, akan digunakan untuk melindungi data dan sistem, namun di tangan individu yang memiliki niat jahat, teknologi tersebut dapat disalahgunakan untuk melakukan serangan siber dan pencurian data.”

Ketiga, yang bisa kita pelajari dari cerita ini adalah bahwa kecerobohan akan membahayakan diri sendiri. Bermain-main dengan hal yang sangat serius justru akan memunculkan hal yang tak terduga seperti dalam cerita ini. Kendati kita memiliki kelebihan, seyogianya kita tetap terus mawas diri dan hati-hati. Orang yang ceroboh grusa-grusu justru tidak akan cermat dalam melakukan sesuatu. Dampaknya bisa terjadi kecelakaan.

Sebagaimana cerita di atas, karena merasa memiliki kemampuan yang lebih, tanpa pikir panjang melakukan hal yang fatal. Menghidupkan tulang belulang yang tidak diketahui asal muasalnya, jenis dan bentuknya. Karena ceroboh ternyata yang dihidupkan adalah binatang besar dan liar. Akibatnya justru menyelakai dirinya dan orang-orang sekitarnya.

Kita memang sulit menghidar dari sikap ceroboh, apalagi merasa diberi kelebihan. Namun, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk meminimalisir risiko dalam menjaga diri dan orang lain. Yaitu, pertama, penting untuk selalu memikirkan konsekuensi atas tindakan yang kita lakukan. Menghargai pentingnya keselamatan dan kesejahteraan diri dapat membantu kita menghindari tindakan impulsif dan ceroboh. Kedua, kita harus patuh pada aturan yang ada. Misalnya ketika di jalan raya, bekerja di tempat yang tinggi atau beraktivitas di tempat-tempat yang berisiko tinggi. Dan terakhir, kita harus sadar diri akan keterbatasan dan kemampuan kita.

Dengan memahami risiko akibat tindakan kita, menghargai pentingnya patuh pada aturan, serta sadar akan keterbatasan kemampuan kita, dapat menghindari jalan menuju risiko tidak terduga dan menjalani kehidupan yang lebih aman dan bijaksana. Ingatlah, keselamatan adalah tanggung jawab kita sendiri. Wallahu a’lam!

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here