Oleh Much. Khoiri
Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu amat pemurah. Yang mengajarkan (menulis) dengan qalam/pena. Yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tiada diketahuinya.(QS. Al-‘Alaq: 1-5)
KUTIPAN di atas sengaja saya tancapkan di sini sebagai tonggak penting bagi posisi saya sebagai penulis—sekaligus sebagai alasan penting bagi semboyan “Menulis atau Mati!” Dalam ayat-ayat itu ada penegasan bahwa membaca itu wajib karena ia diperintahkan oleh Tuhan. Bacalah ayat-ayat tertulis dan ayat-ayat tak tertulis—yang bertebaran di muka bumi. Lalu, agar bisa dibaca dan dipelajari (ulang), apa yang telah dibaca perlu diikat maknanya dengan pena/qalam. Maka, menulis—guna menyediakan bahan-bahan bacaan—juga sebuah perintah atau kewajiban.
Dalam surah tersebut jelas, Tuhan mengajarkan dengan qalam/pena. Tuhan memang Maha Berkehendak, dan sangat mudah untuk membuat manusia pintar seketika. Namun, dalam mendidik manusia pun, Tuhan menggunakan perantara atau media. Kehadiran kitab-kitab suci, termasuk Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Quran, adalah bukti nyata bahwa Tuhan perlu menggerakkan hambanya untuk menuliskan firman-firman-Nya ke dalam kitab-kitab tersebut. Tentu, semua itu agar manusia bisa mengkajinya, mempedomani, dan menularkannya kepada sesamanya.
Memang kewajiban membaca itu utama, dan menulis baru menyusulnya. Bacalah, lalu tulislah. Kegiatan reseptif, lalu produktif. Keduanya rangkaian yang seharusnya selalu bertautan. Maka, menulis bukan sunnah atau mubah, melainkan wajib adanya. Sebagai muslim, sudah selayaknya menulis dianggap sebagai amal ibadah, sebuah kewajiban yang wajib ditunaikan—sama pentingnya dengan kewajiban membaca.
Tentu, saya yakin, menulis itu merupakan ibadah jika saya niatkan untuk menunaikan ibadah. Karena ia ibadah, maka sebelum menulis, saya harus berniat untuk menulis atas nama Tuhan. Dengan niat ibadah, menulis merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan dan tidak boleh diabaikan. Dalam istilah ekstrem, jika saya abai menulis, konsekwensinya adalah bahwa saya akan “berdosa” karena telah abai dalam beribadah.
Jadi, niat menulis untuk ibadah harus ditancapkan dalam-dalam di lubuk hati. Ini berguna untuk menguatkan diri bahwa apa yang ditulis semata untuk kemaslahatan, kebaikan, dan peningkatan kualitas (hidup) umat manusia. Dengan niat itu, saya akan berprinsip bahwa menulis itu berjariyah ilmu (pengetahuan), menebarkan kebaikan, dan mengukir sejarah. Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati harus meninggalkan sejarah yang tertulis. Ya, buku karya saya adalah bukti sejarah bahwa saya pernah ada di muka bumi ini.
“Aku berkarya, maka aku ada”—agaknya inilah ungkapan yang pas untuk hal ini. Jika tidak berkarya, manusia tidak ada gunanya. Secara horizontal, bukankah “sebaik-baik manusia adalah yang besar manfaatnya bagi manusia lain”? Dalam dimensi vertikalnya, jika tidak berkarya, manusia tidak menunaikan kewajiban ibadah, yang berarti mencetak dosa-dosa. Jika sekian tahun ini belum menulis, sekian tahun pula saya mencetak dosa-dosa akibat abai dari perintah menulis. Maka, dalam semboyan “Menulis atau Mati!”, saya tegaskan, menulislah atau mati saja.
Terkait dengan proses, saat saya menulis untuk ibadah, saya akan ulet, tangguh, rajin, dan disiplin. Pertama, karena menulis itu ibadah, saya harus ulet: Saya harus memiliki tujuan mulia, demi kebaikan saya dan pembaca saya—dan saya yakin akan mampu meraih tujuan yang ditetapkan. Saya juga harus memiliki kemauan keras untuk mewujudkan tujuan mulia dari kegiatan menulis. Jika sewaktu-waktu menghadapi kendala, saya tidak lekas putus asa dan menyerah. Saya tetap harus fokus untuk menemukan solusi bagi kendala yang saya hadapi.
Kedua, saya harus tangguh. Saya harus lebih bersemangat, karena semangat sangat penting bagi setiap pekerjaan, termasuk menulis. Saya juga harus membumbui proses menulis saya dengan hati. (Tanpa memiliki hati pada suatu pekerjaan, saya pastilah tak akan memiliki passion untuk bekerja secara optimal. Sementara itu, tanpa passion, baik proses maupun hasil pekerjaan saya pastilah tidak memuaskan.) Selanjutnya, saya harus menetapkan tekad dan selalu bersabar dalam menjalani tahap demi tahap dalam menulis.
Ketiga, saya harus rajin dalam menulis. Rajin karena ada harapan ‘balasan’ kebaikan dan kemuliaan berkat menulis. Saya harus lebih giat belajar dan bekerja untuk merampungkan naskah tulisan Saya. Saya harus berusaha sebaik-baiknya agar tulisan saya terbaik. Jangan pernah menunda pekerjaan. Tulislah apa yang bisa saya tulis hari ini, dan jangan tunda sampai esok hari. Menulislah setiap hari meski hanya satu-dua halaman. Itu lebih baik daripada saya menundanya di akhir pekan dengan menulis 14 halaman!
Keempat, saya harus disiplin. Ibadah harus ditegakkan dengan disiplin; demikian juga menulis. Dalam hal ini, cukup dua hal yang saya pegang: disiplin waktu dan disiplin target! Silakan tetapkan berapa lama saya menggarap projek menulis saya dalam sehari: satu, dua, atau tiga jam sehari—dan mari pilihlah saat yang paling nyaman bagi saya untuk menulis, mungkin tengah malam atau dini hari. Prof. Dr. Imam Suprayoga, mantan rektor UIN Maliki Malang, telah konsisten menulis artikel setiap hari selama bertahun-tahun seusai menunaikan shalat subuh!
Saya juga harus disiplin target. Untuk tahap latihan, target kuantitas nomor satu, baru disusul target kualitas. Jika target kualitas mengedepan, sedangkan saya masih berlatih, maka saya tidak akan ke mana-mana, karena Saya takut dengan belenggu target itu. Maka, targetkan kuantitas tulisan saya. Misalnya, saya harus menulis dua halaman setiap hari. Setiap hari! Sekiranya sehari saja saya tidak bisa menulis—akibat sakit atau tugas-tugas lain yang “melenakan” saya—saya harus “membayar hutang” dua halaman pada keesokan harinya. Jika seminggu saya absen menulis, tinggal kalikan saja berapa halaman hutang saya. Ingat, itu harus saya bayar!
“Pantangan” dalam menulis tentu ada—yakni segala sesuatu kegiatan mubasir yang mengganggu kedisiplinan saya. Istilah “mubasir” di sini merujuk langsung ke projek menulis yang sedang saya kerjakan. Maka, tetapkan sendiri pantangan yang sesuai dengan kenyamanan Saya. Menonton sinetron bisa jadi pantangan bagi orang tertentu, tapi bukan bagi saya. Demikian pula cangkrukan, wisata kuliner, jalan-jalan di mal, atau chatting berlama-lama di fesbuk. Jadi, tentukan sendiri mana yang “paling mubasir” bagi projek menulis saya.
Adapun terkait hasil pekerjaan menulis, saya harus bersikap ikhlas dan tawakal. Memang semua orang ingin sukses, namun ternyata tidak semua orang bisa sukses sesuai keinginannya. Man proposes God disposes. Manusia berusaha, Tuhanlah yang menentukan (hasilnya). Ya, saya harus berusaha keras untuk meraih target menulis. Masalah hasilnya, mari pasrahkan kepada-Nya. Dengan ikhlas dan tawakal seperti ini, saya akan terhindar dari kekecewaan atau depresi seandainya saya gagal. Saya tak akan memiliki beban bathin yang berlebihan. Pastilah ada hikmah di balik setiap kegagalan.[]
Gresik-Surabaya, 27 Juli 2023