Menulis Sosok, Mengedifikasi dengan Apresiasi dan Keteladanan: Sebuah Kata Pengantar

0
233

Oleh Much. Khoiri

Pada detik-detik ini kita ditakdirkan untuk berandai-andai. Andaikata Plato tidak menuliskan pemikiran-pemikiran gurunya, Socrates, mungkin muridnya, Atistotle, dan para pembelajar filsafat setelahnya tidak mengetahui banyak tentang Socrates. Faktanya, tulisan-tulisan Plato telah memungkinkan para cendekiawan menelaah dan merekonstruksi pemikiran Socrates.

Dengan kalimat lain, andaikata Plato tidak menuliskan pemikiran-pemikiran Socrates yang telah ditularkan padanya, amat mungkin Socrates telah tenggelam dalam sejarah filsafat Yunani, bahkan sejarah dunia. Tanpa perantara tulisan Plato, kebijaksanaan-kebijaksanaan Socrates untuk masyarakat Athena pastilah hilang ditelan zaman.

Kover depan Buku Membingkai Mimpi, Menuai Harapan. Gambar: Dok Pribadi

Masyarakat Athena dan dunia menjadi paham tentang pemikiran dan kebijaksanaan Socrates berkat tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh Plato. Kekuatan tulisan membuktikan, sehebat apa pun manusia, dia akan hilang dalam sejarah jika pemikirannya tidak dituliskan. Kita sebagai penikmat dan pembelajar filsafat tidak akan mengenal Socrates andaikata dulu Plato tidak pernah menulis tentang pemikiran dan kebijaksanaannya.

Kita juga perlu menyapa Ibnu Syihab az-Zuhri. Dia merupakan perintis sirah atau sejarah hidup Nabi Muhammad SAW. Dengan genre tulisannya, dia menghimpun hadis-hadis mengenai kehidupan Rasulullah. Para muridnya—yang di kemudian hari dikenal sebagai peletak dasar disiplin Sirah Nabawiyah—sering kali mengambil az-Zuhri sebagai sumber rujukan utama.

Memang, umat Islam mengenal sosok Rasulullah secara umum. Namun, tentang gambaran lebih rinci biografi beliau, umat Islam sangat berutang budi kepada az-Zuhri dan para muridnya. Andaikata az-Zuhri dan para muridnya tidak merintis upaya penulisan Sirah Nabawiyah, mungkin saja kebijaksanaan dan keteladanan Rasulullah lebih lambat tibanya dalam pengetahuan umat.

Kemudian, dalam dunia sastra Indonesia, kita juga mengenal Budi Darma, seorang sastrawan dan budayawan yang disegani. Pemikiran-pemikirannya bertebaran di berbagai buku (semisal Solilokui: Sejumlah Esai Sastra dan Harmonium), forum seminar, dan media publikasi lain. Namun, tiga buku yang ditulis tak lama setelah Budi Darma wafat tahun 2021 memberikan referensi yang kaya tentang sosok Budi Darma.

Tiga buku biografis tentang Budi Darma itu, pertama, ditulis puluhan pensiunan Universitas Negeri Surabaya, berjudul Panggil Saya Budi Darma (2021). Buku kedua ditulis oleh para sastrawan yang merasa menjadi murid-murid kulturalnya dan dieditori oleh Tengsoe Tjahjono—berjudul Kenangan Murid Kultural Budi Darma (2021). Buku ketiga Budi Darma: Sosok, Pemikiran, dan Karyanya (2021) ditulis oleh para sastrawan dan saya editori. Ketiga buku ini telah menambah referensi penting tentang siapa Budi Darma, baik sosok, pemikiran, maupun karya-karyanya.

Dalam perspektif yang hampir sama, para penulis buku Membingkai Mimpi Menuai Harapan ini—Trianto Ibnu Badar at-Taubany, Priyandono, Ahmad Syaichu—bertindak seperti seorang Plato, az-Zuhri, dan para penulis buku Budi Darma di atas. Namun, konteksnya berbeda. Jika hubungan Socrates dan Plato adalah hubungan guru dan murid; hubungan Ibnu Syihab az-Zuhri dan Rasulullah adalah hubungan umat dan Nabi junjungannya; hubungan para penulis Budi Darma dan Budi Darma adalah hubungan pengagum dan sosok panutan; dan hubungan para penulis buku ini dan Dr. Tirto Adi, M.Pd adalah hubungan penulis dan sosok yang dipentingkan (di dunia pendidikan dan literasi).

Meski demikian, bagaimana peran tulisan dalam memanifestasikan pemikiran-kebijaksanaan Socrates, kehidupan Rasulullah, atau fragmen-fragmen biografis Budi Darma hakikatnya adalah sama. Plato menggunakan tulisan untuk mengabadikan pemikiran dan kebijaksanaan Socrates; demikian pula apa yang dilakukan oleh Ibnu Syihab az-Zuhri, para penulis buku Budi Darma yang mengangkat sisi-sisi tertentu tentang sosok yang mereka tulis.

Dalam buku Membingkai Mimpi Menuai Harapan ini, Trianto Ibnu Badar at-Taubany, Priyandono, dan Ahmad Syaichu telah berupaya menggambarkan sosok Dr. Tirto Adi, M.Pd, dengan menghimpun sumber-sumber referensi yang beragam, termasuk buku, media, dan dokumentasi. Tentu saja, upaya mereka itu bukan pesanan alias di luar sepengetahuan Dr. Tirto Adi, M.Pd sendiri. Dengan begitu, objektivitas mereka bisa dipertanggungjawabkan, meski tak sepenuhnya imun dari subjektivitas. Keduanya saling mengisi, dan saling melengkapi.

Isi buku ini bisa dikatakan cukup lengkap menguak siapa sosok yang Dr. Tirto Adi, M.Pd. Ada sepuluh bagian yang ditampilkan: oase keilmuan sejak masa kecil, membingkai mimpi di dunia pendidikan dan literasi, jelajah karir di dunia birokrasi, kehidupan keluarga, kekuatan kolega, sahabat sebagai bentang hati, inspirasi hidup, sosok dalam siluet, jejak literasi yang menginspirasi, dan sosok dalam lensa. Masing-masing dari sepuluh bagian ini mengandung beberapa tulisan, kecuali bagian terakhir yang menampilkan dokumen foto pada momen-momen penting terpilih.

Yang jelas, Dr. Tirto Adi, M.Pd bukanlah seorang figur kemarin sore. Perjuangan demi perjuangan telah dilakoninya semenjak masa kecil, sebagai pembelajar yang  tekun dan tangguh—bukan hanya sejak menjelajah  bangku sekolah, melainkan juga berkarir dalam dunia pendidikan. Dalam dunia menulis, dia telah mengalami perjuangan dari zero to hero, menguasai beberapa genre tulisan, bahkan kemudian dikenal sebagai tokoh penggerak literasi Sidoarjo.

Dalam dunia birokrasi juga demikian. Buku ini mengisahkan bagaimana Dr. Tirto Adi, M.Pd menjadi kepala sekolah dengan aneka tantangan dan harapan yang disampirkan. Pernah pula dia menjabat sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo. Bahkan dia juga pernah menjabat sebagai kepala Dinas Sosial Sidoarjo. Kini dia menjabat kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo, sebuah habitat sejatinya, yakni dunia pendidikan.

Tentu, dalam tulisan ini, saya tidak hendak membeberkan keseluruhan isi buku yang Anda pegang ini. Silakan Anda melanjutkannya sendiri. Anda memiliki kebebasan untuk menjelajahi atau bahkan mendalami setiap bagian dari buku ini dengan segenap hati. Bagian yang memaparkan kehidupan keluarganya, agaknya juga menarik diikuti, guna memetik hikmah, bagaimana seorang figur publik ternyata juga seorang suami, ayah, guru, dan teman—serta penulis produktif—yang layak dijadikan panutan. Demikian pula bagian-bagian lain setelahnya.

Edifikasi: Apresiasi dan Keteladanan

Menulis sosok atau figur—sebagaimana dilakukan tiga penulis buku ini—pada hakikatnya merupakan upaya edifikasi. Apakah edifikasi itu? Mengedifikasi berarti menghargai atau bahkan mengangkat status sosial (akademik) seseorang sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh sesorang itu—baik modal kompetensi diri maupun modal sosial yang telah dibangunnya, semisal tingkat pendidikan, jabatan, prestasi, dan sebagainya.

Meski edifikasi lazim dipraktikkan dalam praktik public speaking,  sejatinya ia juga layak dipraktikkan di dalam dunia tulis-menulis. Penulis bisa mengedifikasi sesama penulis dengan, misalnya, mensitasi karya tulis ilmiah, menyebut nama penulis, meresensi buku, memberikan endorsement atau kata pengantar, dan sebagainya. Hanya saja, praktik semacam ini tidak disadari oleh sebagian penulis sebagai sebuah upaya edifikasi. Bahkan, kesadaran penulis untuk saling mengedifikasi belum menjadi tradisi keilmuan yang menggembirakan di negeri ini.

Bagaimana tiga penulis buku melakukan edifikasi lewat buku yang Anda pegang ini? Pertama, mereka memberikan apresiasi terhadap Dr. Tirto Adi, M.Pd, dengan memaparkan nilai-nilai positif dan berbagai keunggulan serta prestasi yang telah diraihnya semenjak masa kanak-kanak hingga dewasa ini. Bahkan apresiasi yang diberikan tak pelak juga mengandung kekaguman tertentu terhadap Dr. Tirto Adi, M.Pd sebagai sosok yang diidolakan.

Dalam hal ini, pemberikan apresiasi bukanlah isapan jempol, melainkan disertai bukti-bukti kualitatif yang meyakinkan—yang diperoleh lewat berbagai sumber. Dalam dunia literasi, misalnya, Dr. Tirto Adi, M.Pd dinyatakan sebagai penulis yang berjuang sejak muda, tidaklah salah. Istilahnya, menulis dari zero to hero. Bukti-buktinya sah dan meyakinkan. Bahwa Dr. Tirto Adi, M.Pd juga dikenal sebagai tokoh penggerak literasi di Sidoarjo juga, itu setali tiga uang alias sama saja. Tidak ada capaian yang diperoleh secara instan. Semua capaian Dr. Tirto Adi, M.Pd telah ditebus dengan upaya-upaya terencana, teratur dan terukur selama puluhan tahun.

Kedua, tiga penulis buku ini juga mengedifikasi Dr. Tirto Adi, M.Pd dengan menunjukkan keteladanannya. Di kantor Dr. Tirto Adi, M.Pd digambarkan sebagai pejabat yang bisa diteladani, baik sikap, ucapan, maupun tindakan. Demikian pun di dalam keluarga, dia digambarkan sebagai sosok suami, ayah, dan sahabat yang layak dijadikan panutan dalam kehidupan sehari-hari. Di mata kolega, sahabat, dan kenalan,  Dr. Tirto Adi, M.Pd digambarkan sebagai orang yang ramah, hangat, dan inspiratif dalam berbagai hal. Leadership-nya juga menonjol.

Terlebih dalam dunia literasi, Dr. Tirto Adi, M.Pd digambarkan sebagai sosok teladan yang tak diragukan lagi. Dia menulis semenjak muda, termasuk semasa menjadi mahasiswa tahun 1980-an. Kemudian, secara konsisten, dia menulis dan menebarkan pemikiran-pemikirannya lewat berbagai forum, media cetak dan online, dan buku. Sebagian karya-karya ini turut disebutkan (dan ditunjukkan) di dalam buku ini, guna memberikan bukti bahwa Dr. Tirto Adi, M.Pd memang sosok literat teladan yang pantas diperhitungkan.

Pergerakan dunia literasi di Sidoarjo tidak terlepas dari posisi Dr. Tirto Adi, M.Pd sebagai kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan keteladanan. Tatkala dia memerintahkan bahwa gerakan literasi sekolah dijalankan di setiap satuan pendidikan, itu pantas sekali, sebab kenyataannya dia juga telah menunjukkan keteladanan berliterasi. Secara khusus, andaikata dia mengajak seluruh kepala sekolah untuk menulis buku, itu juga tidak berlebihan, sebab dia sendiri juga telah menulis buku sendiri sejak sekian tahun silam.

Jejak-jejak literasi yang telah diukir oleh Dr. Tirto Adi, M.Pd mengabadi bukan hanya pada kliping dan situs-situs online, melainkan juga pada media cetak, buku-buku sendiri, dan buku-buku penulis lain. Lebih dari itu, keteladanan Dr. Tirto Adi, M.Pd juga mengendap di hati masyarakat yang telah menyampaikan testimoninya secara lisan. Kondisi demikian tidak mungkin tercapai andaikata Dr. Tirto Adi, M.Pd tidak pernah memberikan keteladanan berliterasi. Keteladanan lebih lantang dari pada perintah yang kosong keteladanan.

Akhirnya, penulisan sosok Dr. Tirto Adi, M.Pd ini diharapkan menjadi sebuah tradisi literasi yang baik di kalangan penulis (dan penggerak literasi). Dengan begitu, edifikasi sesama penulis (dan penggerak literasi) juga semakin bertumbuh dan berkembang secara signifikan di negeri ini—bukan hanya seperti yang dicontohkan oleh tiga penulis buku ini, melainkan juga bisa lewat cara-cara lain yang telah saya sebutkan di atas. Ketika kondisi semacam itu terpenuhi, harapan tiga penulis menulis sosok dalam buku ini menemukan jawabannya.

Gresik, 22 Oktober 2023

*Dr. Much. Khoiri, M.Si adalah dosen Kajian Sastra/Budaya Universitas Negeri Surabaya (Unesa), sponsor literasi, certified editor & writer dengan 74 judul buku. Lulusan International Writing Program di University of Iowa (USA, 1993) dan Summer Institute in American Studies di Chinese University of Hong Kong (1996).  Tulisan ini pendapat pribadi. Bisa dihubungi di muchkoiri@unesa.ac.id.

 

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here