MICIN RASA AYAM

0
2330

Oleh Rita Audriyanti

Mbak Is mengangkat jemuran terburu-buru karena tiba-tiba hujan. Tidak ada angin, tak ada mendung, hujan sekelebat membasahi jemuran Mbak Is walau hanya lembab. Sudah seminggu panas terik. Dan, tiba-tiba saja mendadak hujan. Hanya sebentar. Seperti kucing kaget lalu lari terkencing-kencing.

Mas Jo melihat istrinya tunggang langgang menariki pakaian di jemuran, terkikik memandang dari kandang kambing. Empat ekor kambing yang sedang menikmati makan siang dengan daun singkong, ikut mengembek, mentertawakan istrinya Mas Jo. Kambing dan majikannya sama-sama terkekeh.

Mas Jo masuk rumah. Udara sumuk. Hujan batal hanya meninggalkan hawa lekat. Mas Jo menarik kipas bambu di dekatnya. Dikipas-kipasnya beberapa kali. Lalu dilempar ke lantai. “Huh. Panas buuanget!”Mas Jo menggerutu.

Mbak Is datang dengan tangan penuh. Kiri kanan berisi menu makan siang. Mas Jo terbit air liurnya. Perutnya memang sudah lapar. Tadi tak sempat sarapan. Lalu, membayangkan lauk gule ayam seperti janji Mbak Is akan masak istimewa hari ini.

Mas Jo sedang menikmati kebangkrutannya yang luar biasa. Ia jatuh terbang bebas. Hidup bagaikan roller coaster. Begitu lambat naiknya, namun sangat cepat turunnya. Entah kapan naik lagi.

Mas Jo membuang muka. Sekaligus membuang ingatan akan kemahasulitan hidupnya. Ia menyingsingkan lengan baju putihnya yang sudah berubah warna kekuning-kuningan. Mbak Is menuang nasi ke piring Mas Jo. Keduanya diam. Mas Jo menuang sambal mentah ke tepi nasi. Lalu menyendok gulai dari Mangkok. Berulang-ulang diaduknya. Potongan nangka muda itu saja yang muncul ke permukaan.

“Bu. Mana ayamnya?”
“Ini kok, nangka semua. Ada yang besar, ternyata potongan langkuas.”

Mas Jo melepaskan sendok agak keras. Kuah gulai nangka itu muncrat ke atas taplak meja. Mbak Is diam. Wajah Mas Jo nampak kecewa. Sebagai pencinta kuliner ayam, ayam dalam segala bentuk olahannya, siang itu ia benar-benar marah campur kesal. Membayangkan makan siang dengan gule ayam, cuma membuatnya emosi ketika kenyataan itu hanya fatamorgana. Mbak Is serba salah. Keduanya hanya terdiam. Dua piring nasi pun seperti kaku. Mendingin. Merasa sedih diacuhkan orang-orang di hadapannya.

“Bu. Apa gak bisa kamu masakin aku ayam walau hanya sepotong saja? Semiskin-miskinnya aku, masa’ kamu tak mampu ke warung sebelah utang ayam sepotong dulu? Hanya itu saja permintaanku padamu. Ingat dulu waktu kita kaya, apa permintaanmu yang tak kupenuhi?”

Mbak Is kaget dengan ocehan suaminya. Heran dengan sikap suaminya yang begitu tak terima dengan kenyataan hidup hari ini. Dan ini bukan sekali dua.

Memang berat hidup berubah secara mendadak. Dari orang kaya lalu mendadak miskin. Dari tuan besar menjadi pengangguran tingkat dewa. Seperti membalik telapak tangan.

Tak tahan dengan komplen Mas Jo, emosi Mbak Is jebol juga. Mbak Is terisak. Ia menangis. Tak lama. Mbak Is segera mengusap air matanya dengan lengan kanannya dan berkata, “Mas Jo. Makanlah apa yang ada. Nikmatilah dengan kesyukuran atas apa yang kita terima hari ini. Apa yang aku masak. Bukan aku tak tau ayam kesukaan Mas Jo. Tapi apa daya kita, Mas….”

Mbak Is berlari ke belakang. Ia sesegukan di dapur. Matanya tertuju ke arah rak bumbu. Kotak kecil berisi bungkusan kaldu ayam buatan itu berada diantara garam dan lada. Mbak Is meraih kotak kaldu itu. Tiba-tiba… ayam itu melompat ke arah Mbak Is. Mbak Is mundur. Kaget. Ayam itu berkotek-kotek. Lari kesana kemari. Mbak Is berusaha menangkapnya. Ayam itu terus berputar. Seperti mengajak Mbak Is bermain. Mbak Is mulai tertawa. Tawanya makin kencang. Gembira bermain kejar-kejaran dengan sang ayam.

“Bu. Ada apa tho, Bu?”
Mbak Is makin riang tertawa. Mengejar ayam itu.
Mas Jo bingung melihat tingkah isterinya.

“Bu. Bu…,” Mas Jo menangkap isterinya. Meraih ke pelukannya. Mbak Is menangis. Tangisnya makin pecah di bahu lelaki yang pernah membahagiakannya dengan limpahan materi.

Mas Jo membawa isterinya ke dalam rumah. Tangis Mbak Is mulai reda. Keduanya membisu.

“Mas Jo. Maafkan aku. Bahkan sepotong ayam pun aku tak mampu menghidangkannya untukmu. Maafkan aku. Tiap hari, aku hanya mampu menyuguhkan ayam kesukaanmu dalam bentuk lain.”

Mas Jo masih diam. Lalu mengangguk. Menghela napas panjang. Mbak Is berdiri menuju dapur. Ia kembali dengan membawa sekotak kaldu ayam. Mbak Is berdiri kaku di hadapan Mas Jo. Diam. Mas Jo berdiri. Keduanya bertatapan. Mbak Is menjulurkan tangannya yang berisi sekotak kaldu ayam itu. Menyerahkan ke tangan Mas Jo. Mas Jo menatap kaldu ayam itu. Tersenyum getir.

“Ini ya? Ayam itu?”
“Micin rasa ayam…”

Mbak Is melempar kaldu ayam itu. Keduanya berpelukan. Tertawa lepas hingga air mata keduanya berderai-derai. Makin lama makin keras. Ya, mereka sedang mentertawakan sandiwara hidup dengan lakon yang tak disangka-sangka….

KL, 7/2/2019

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here