Perhimpunan Isnin, Istiqāmah dan Tajdīd al-Niyyah

0
1630

Oleh: Muhammad Abdul Aziz

Upacara Hari Senin bukan sesuatu yang baru bagi saya. Sejak SD, SMP hingga SMA, hal tersebut sudah menjadi ritual akademik. Tapi, untuk terjadi di sebuah pondok pesantren, rasanya ia amat jarang dan bahkan hampir bisa dipastikan tidak ada. Di KMI Gontor pun hanya dilakukan secara insidentil. Bukan mingguan. Apalagi di pondok-pondok beraliran salaf alias tradisional. Upacara dengan semua pesertanya berdiri, bersepatu, berbaris, lalu di depan mereka ada seorang pembina yang memberikan arahan, rasanya memang bukan pilihan kebiasaan mereka.

Tapi berbeda dengan Madrasah Bahrul Ulum (MBU) Jasin Melaka. Dalam satu mesyuarat mingguan, yang biasa dijalankan pada hari Khamis, kami putuskan untuk mengadakan ritual tersebut; Perhimpunan Isnin – demikian kami biasa memanggil.

“Pelajar-pelajar ini sulit lah dibagitahu,” ungkap Puan Anita, salah satu staf MBU.

Ummi – demikian kami biasa memanggilnya – memang benar. Setengah pelajar memang perlu beberapa kali diperingatkan. Ia, yang memang setiap hari memasak untuk para pelajar, tentu kadang kala menemukan seorang pelajar lupa melipat tikar makan. Atau juga membasuh pinggan (piring). Hal-hal kecil yang jika dibiarkan akan menjadi perkara besar.

“Rasanya kita memang perlukan satu majlis rasmi untuk memberikan arahan dan juga evaluasi kepada mereka,” tambah Ustadz Zul Fadhli, staf pengajar MBU yang juga imam Masjid al-Sajidin Simpang Kerayong Jasin.

“Betul, Ustadz. Macam mana kalau kita buat Perhimpunan Isnin. Lagi satu, kebetulan pelajar-pelajar kan ada seragam baru. Jadi, selain untuk evaluasi dan rancangan ke hadapan, perhimpunan itu satu momentum yang bagus untuk memakai seragam baru itu. Biar gembira sikit lha mereka,” cadang Ustadz Aziz, satu-satunya pengajar MBU asal Indonesia.

***

Istiqāmah berasal dari kata istaqāma yastaqīmu istiqāmah, yang berarti lurus, tidak berbelok-belok. Al-Fatihah menuturkan, “ihdinā al-ṣirāṭ al-mustaqīm”. Tunjukkanlah kami ke jalan yang lebar, luas dan lurus. Jalan yang lurus, seperti jalan tol, akan mempermudah pejalan sampai tujuan. Sebagaimana bagi seorang pelajar, maka jalan tercepat untuk mencapai sukses dalam belajarnya adalah istiqāmah. Artinya, ia tidak akan tolah-toleh (melihat hal-hal lain yang tidak perlu). Ia akan belajar sesuai dengan jadual yang ia tetapkan. Jika sudah ditentukan pukul 09.30 harus sudah memulai pelajaran, maka yang lainnya tidak penting kecuali semua usaha untuk mengantarkannya masuk pada waktu tersebut. Jika ia sudah mengikrarkan diri untuk shalat tahajjud setiap malam pukul 03.00 dini hari, maka yang ia fikirkan tidak lain hanyalah semua kiat agar dirinya mampu bangun pada jam tersebut. istiqāmah juga berarti, ketika seorang pelajar sudah mentarget untuk mengangsur tulisan artikelnya satu halaman satu hari, maka ia akan berkata kepada dirinya, “pokoknya harus satu halaman satu hari.” Pendeknya, jurus sakti bagi seorang yang istiqāmah adalah “pokok e”, “pokoknya”, alias “al-muhim”.

Istiqāmah berarti disiplin. Disiplin dekat sekali dengan tekun. Saking pentingnya ia, banyak sekali kita dengar cerita betapa kiat utama keberhasilan seseorang adalah istiqāmah. “Belajar PhD itu tidak perlu orang pandai. Yang paling penting tekun. Pandai tapi tidak tekun, sering kali gagal. Tapi, agak pandai namun ia tekun, merekalah justru yang sering berhasil,” kata seorang senior di UIA ketika itu.

Meski demikian, bagi seorang Muslim, istiqāmah tersebut tidak bisa berdiri sendiri. Kedisiplinan adalah usaha manusiawi. Karena manusia adalah ciptaan Allah Swt, dan oleh karena itu ia akan dan pasti tergantung kepada-Nya, maka ia masih memerlukan usaha yang bersifat Rabbani. Dengan kata lain, istiqāmah itu harus berdiri di atas landasan yang benar, dan memang ia juga dibuat demi memperjuangkan kebenaran. Kedisiplinan tanpa landasan yang benar dan untuk kebenaran sama halnya kedisiplinan mereka yang tidak beragama. Kedisiplinan yang diperuntukkan untuk pelaku kedisiplinan itu sendiri. Padahal, “innā ṣalātī wa nusukī wa maḥyāyā wa mamātī lillāhi Rabb al-‘ālamīn.” Semua perbuatan manusia, dalam hidup dan matinya, hendak dan semestinya diperuntukkan kepada Allah Swt. Karena inilah, agaknya kita mendapatkan alasan mengapa “thumma s-taqāmū” pada al-Ahqaf 13 diletakkan setelah “Rabbunallāh”. Artinya, istiqāmah itu harus mempunyai landasan yang jelas; dibuat dan didedikasikan demi nilai-nilai Rabbani. Berikut kutipan lengkap ayat tersebut:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿الأحقاف: ١٣﴾

Dalam konteks Madrasah Bahrul Ulum, nilai istiqāmah tersebut diterjemahkan salah satunya dalam Perhimpunan Isnin. Dalam agenda ini, ada setidaknya dua hal yang disampaikan; evaluasi dan perancangan. Dengan evaluasi, beberapa program yang sudah dilaksanakan akan dinilai. Jika ditemukan berhasil, maka akan pertahankan; dan jika sekiranya kurang memuaskan, maka akan dicari di mana titik lemahnya. Para pelajar tidak jarang harus push-up sepuluh hingga dua puluh kali karena evaluasi tersebut. Adapun dengan perancangan, pelajar akan diberikan penjelasan apa, bagaimana dan tujuan yang ditetapkan dalam program satu minggu ke depan sehingga mereka bersedia untuk menyongsongnya.

Selain sebagai wujud istiqāmah di atas, Perhimpunan Isnin juga dapat dianggap sebagai tajdīd al-niyyah. Yaitu, usaha untuk memperbarui niat para pelajar. Perjalanan satu minggu pasti akan mengalami naik turun. Banyak cobaan dan musibah menghampiri para pelajar sehingga kemungkinan besar akan melemahkan semangat belajar mereka dan membuat mereka keluar dari jalur utama yang dibenarkan. Pada titik inilah terletak betapa penting pembaruan niat tersebut. Tajdīd tidak lain dapat disebut sebagai gerakan liyukhrijakum min al-dhulumāt ilā al-nūr, yaitu mengembalikan mereka kepada track yang benar.

Jika kita telisik lebih lanjut, konsep tajdīd ini sesungguhnya melekat dan diatur sedemikian mekanis pada ritual harian kita. Sultan al-Awliya’ ‘Izzuddin bin Abdissalam menyatakan dalam satu kitab ringkasnya Maqāṣid al-‘Ibādāt, bahwa tujuan utama disyariatkannya shalat bagi seorang Muslim adalah “tajdīd al-‘uhdah billāh”, yaitu memperbaharui dan mengingatkan kembali perjanjian antara dirinya dengan Rabb-nya.[1] Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian pertama seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia diciptakan masih dalam bentuk atom (dharrah) dan lantas diminta untuk mengonfirmasi nikmat penciptaan tersebut dengan sebuah pertanyaan; alastubirabbikum? – Bukankah Aku Tuhanmu? (Al-A’raf 172) Seketika ia menjawab “Balā syahidnā” – Kami bersaksi bahwa Engkau Allah Swt adalah Tuhan kami. Dengan shalat yang diwajibkan lima kali sehari, seakan Allah Swt ingin mengingatkan lima kali sehari semalam juga bahwa kita semua telah meratifikasi perjanjian suci tersebut. Hal ini merupakan penegasan dari makna serupa yang terkandung dalam hadits Rasulullah Saw bahwa permisalan bagi seorang Muslim yang shalat lima waktu adalah seumpama seseorang yang rumahnya berhampiran dengan sungai yang melimpah airnya, dan ia mandi di situ lima kali sehari. Bukankah di sini berarti mandi adalah usaha untuk memperbaharui dan menyegarkan kembali badannya, sebagaimana shalat juga merupakan usaha untuk menyegarkan spiritualitasnya, mengingat kembali janji yang telah ia ikrakan?

Tidak hanya harian. Mekanisme tajdīd al-niyyah tersebut secara kategoris juga termaktub dalam ritual mingguan, yaitu shalat Jum’at. Jika sudah datang panggilan untuk shalat Jum’at, maka “fas‘aw ilā dhikrillāh”. Bersegeralah kamu semua untuk datang ke masjid, berzikir, shalat dan memperbanyak ibadah yang mendekatkan dirimu kepada Rabb-mu. Diwajibkannya shalat Jumat dilakukan secara berjama’ah dapat kita lihat sebagai tanda betapa Islam sangat memerhatikan hubungan sosial antara seorang Muslim dengan sesamanya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sheikh Yusuf Qaradlawi dalam satu ceramahnya, seorang dikatakan Muslim sejati bukan lantas mereka yang memencilkan diri dari keramaian masyarakat, tercerabut dari akar sosialnya, ber-uzlah di bilik dan gua yang tersembunyi, beribadah sebanyak-banyaknya sembari seolah tidak peduli dengan permasalahan masyarakatnya. Dalam kondisi tertentu yang urgen, hal tersebut boleh jadi dibenarkan. Namun seorang Muslim sejati adalah mereka yang hidup di tengah-tengah masyarakat, menjemput persoalan umat dan bekerja sama mencari solusinya, seraya menyadari keperluan dirinya akan waktu yang intens dan khusus untuk bermunajat kepada-Nya. Shalat Jumat secara mekanisme didesain agar seorang Muslim sebagai kepala dan pengatur urusan eksternal keluarga bertemu dan berkomunikasi dengan sesama Muslim, sehingga fikiran dan emosinya akan menjadi segar kembali.

Perhimpunan antar sesama Muslim ternyata tidak hanya kita temukan harian, mingguan, tapi juga tahunan. Konsep ini dapat kita temukan setidaknya dalam ritual Shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Meski sunnah, kita tidak dapat menyangkal bahwa keduanya adalah momen utama di mana saudara sesama Muslim, baik lelaki maupun perempuan, baik tua atau pun muda, bertemu dan saling berkomunikasi. Dari relasi semacam itu, jalinan komunikasi baik antar individu maupun institusi keluarga akan terbangun, yang jauh akan mendekat, yang retak akan kembali utuh, yang tertutup akan terbuka kembali. Di sinilah kita bisa meletakkan betapa shalat merupakan sebuah gerakan pembaharuan.

Jika tajdīd yang dijelaskan di atas lebih bersifat eksternal, yaitu akibat, manfaat dan hikmah yang ditimbulkan shalat, maka tajdīd juga dapat berlaku secara internal, yaitu terhadap pemahaman yang selama ini tumbuh dalam fikiran umat Islam dan para sarjana mereka. Jika Islam dimaknai sebagai “sharī‘ah”, yang salah satu artinya adalah mata air, maka dalam rentang perjalanan air tersebut menyusuri lembah sosial dan geografis yang lebih landai, adalah lumrah jika ia akan menemukan dirinya keruh. Keruh inilah yang agaknya digambarkan sebagai “ẓulumāt,” yakni kegelapan. Apa yang difahami dan dipraktikkan orang dahulu tidak lantas cocok dengan keadaan kontemporer. Ketidakcocokan inilah yang gagal diidentifikasi oleh sebagian kita yang pada akhirnya berujung pada kegelapan, yaitu kegagalan Islam sebagai agama solutif dalam rentang masa dan dimensi waktu yang tidak terbatas. Maka konsep tajdīd ini dapat difungsikan sebagai gerakan “liyukhrijakum min al-zulumat ilā al-nūr”, yaitu mengentaskan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Tajdīd yang lebih radikal ini agaknya dapat kita temukan dalam satu hadits yang menyatakan bahwa di setiap awal abad, Allah Swt akan mengutus bagi umat “man yujaddid lahā dīnahā”, seorang pembaharu yang akan kembali membawa umat Islam dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang.

***

“Dengan Perhimpunan itu, kita nak pelajar-pelajar itu berlatih disiplin. Biar ada yang selalu mengingatkan,” ulas Ustadz Zul Fadhli yang akan segera melepas masa lanjang ini.

“Betul Ustadz. Boleh juga kalau kita buat di dalamnya denda. Pasti mereka akan takut dan mawas diri,” tambah Ummi yang kini sudah bercucu satu ini.

“Dalam belajar pun, kalian mesti tahu cara belajar. Baca, fahami, baru hafalkan. Dan kalau boleh ajarkan,” nasihat Ustadz Muaz yang menjadi Pemimpin Perhimpunan dalam Pembukaan Muraja’ah minggu ini.

Mesyuarat Khamis itu terus berlanjut hingga tengah hari. Ide-ide bernas bermunculan. Ide untuk memunculkan sesuatu yang baru. Juga ide untuk mengekseksui ide itu sendiri. Keduanya muncul jika kita mampu istiqāmah. Sehingga kita merasa selalu terbarukan. Betapa penting Mesyuarat Khamis. Betapa penting Perhimpunan Isnin. Betapa penting istiqāmah. Betapa penting tajdīd al-niyyah. Wallahu A’lam.

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here