Oleh Agus Hariono
Kita tentu pernah mengagumi seseorang, baik itu karena ilmunya, ibadahnya, kekayaannya, jabatannya, kekuasaanya, kecantikannya, ketampanannya atau kelebihan lainnya. Kita sangat mengidolakan dia, seolah tanpa kekurangan. Orang yang kita kagumi biasanya juga menempati posisi terhormat dalam benak kita.
Jika dia seorang ilmuan kita pasti mengelu-elukan karya-karyanya. Jika dia seorang ahli ibadah, kita pasti merasa damai di dekatnya. Jika dia seorang penguasa, kita akan merasa bangga dengannya. Intinya orang-orang yang kita kagumi itu memiliki kesempurnaan.
Saking kagumnya, kadang kita tidak bisa lagi melihat kekurangannya. Bahkan kita tidak terima kalau orang yang kita kagumi itu memiliki kekurangan. Kita dibuat fanatik kepada orang yang kita kagumi. Meski kadang yang membuat fanatik adalah diri kita sendiri.
Karena kagum pula, kita tidak sudi lagi merima informasi apa pun tentang kekurangannya. Yang kita butuhkan hanyalah kelebihannya. Hingga suatu saat orang yang kita kagumi benar-benar melakukan kesalahan dan kita tahu itu. Lantas kita pun berbalik 360 derajat menjadi orang yang sangat benci kepada orang yang kita kagumi.
Sebagaimana hadis nabi yang berbunyi, “Cintailah orang yang engkau cintai sekadarnya saja, boleh jadi suatu hari nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci. Dan, bencilah orang yang kamu benci sekadarnya saja, boleh jadi suatu hari nanti ia menjadi orang yang kamu sayangi.” Hadis ini memang berfungsi sebagai pengingat bagi kita agar kita tidak berlebihan. Agar kita bersikap proporsional.
Kita memang kudu sadar bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua memiliki kekurangan. Apalagi kita dengan sesama manusia. Buktinya orang pandai, pasti memiliki guru. Dan gurunya pasti lebih pandai darinya. Begitu juga guru tersebut pasti memiliki guru juga. Yang tentunya juga lebih pandai. Dan begitu seterusnya.
Intinya, di atas orang pandai pasti ada orang yang lebih pandai. Di atas orang yang kaya, pasti ada yang lebih kaya. Di atas ahli ibadah pasti ada orang yang lebih abid lagi. Dan, begitu seterusnya.
Bahwa kita mengagumi seseorang, boleh. Kita mencintai seseorang, silahkan. Tapi, lakukan sewajarnya saja. Tidak berlebihan. Akibat dari sifat berlebihan mesti tidak baik. Mula-mula suka, senang, mencintai, karena belebihan, jadi kurang suka, bosan, dan bahkan benci.
Ungkapan sebagaimana judul di atas merupakan gambaran bagi kita. Agar kita tidak terlalu mengagumi sesama manusia, pun tidak terlalu merasa dikagumi. Karena kita memang harus sadar bahwa yang patut dan layak kita kagumi dan cintai secara lebih adalah Sang Pencipta kita.
Barangkali kalau kita mengagumi seseorang, mungkin akibatnya kecewa. Tapi, bila kita merasa dikagumi, merasa kaya, merasa memiliki kekuasan, merasa ahli ibadah, merasa cantik atau tampan, akibatnya kita akan dibenci, dimusuhi orang lain, bahkan mungkin kita dilaknat oleh Allah.
Kata Al-Ghazali ada tujuh kenikmatan yang menyebabkan orang itu lupa diri, yaitu ilmu pengetahuan, amal ibadah, kebangsawanan, kecantikan atau ketampanan, harta kekayaan, kekuasaan dan banyaknya pengikut. Tujuh kenikmatan ini memang yang paling disukai oleh manusia. Maka tidak salah, jika banyak orang lupa diri karenannya.
Belajar dari uraian di atas, tentu kurang tepat jika kita mengagumi seseorang secara berlebihan. Begitu juga sebaliknya, sangat tidak baik jika dengan kenikmatan yang kita miliki menjadikan kita lupa bahwa itu hanyalah titipan. Oleh karena itu, mari berlaku sewajarnya dan apa adanya. Semoga Allah meridhai. Aamiin.
Wallahu a’lam!
