Oleh Much. Khoiri
HARI Santri adalah momentum penting bagi insan-insan santri, yang bernaung di bawah ribuan pesantren di negeri ini—bukan hanya mempererat kebersamaan dan persaudaraan di antara mereka, melainkan juga memperkuat pemahaman bahwa santri merupakan pejuang-pejuang kemanusiaan.
Mengapa santri pejuang kemanusiaan? Mereka dididik bukan hanya menjadi manusia yang menguasai ilmu agama dengan mumpuni, melainkan juga perlu memiliki kompetensi-kompetensi lain yang relevan untuk hidup beragama dalam masyarakat—tepatnya hidup di dunia dan akhirat. Lebih dari itu, santri berkewajiban untuk mendidik diri agar ke depan mampu berdakwah untuk masyarakat luas.
Berdakwah itulah yang menjadi pintu perjuangan bagi santri. Manifestasinya, santri bisa berdakwah secara lisan—lewat ceramah, pengajian, diskusi, dan sebagainya—untuk mencerahkan masyarakat. Selain itu, santri bisa berdakwah lewat tulisan berbagai media (media cetak, noncetak, media sosial, buku), sehingga pendapat, tausyiah dan pemikiran mereka dinikmati oleh masyarakat.
Pertanyaannya, mengapa menulis bagi santri sesuatu yang urgen (mendesak) untuk perjuangan? Di era digital, virus-virus media sosial menebar, ada virus kebaikan, ada pula virus kebatilan. Ruang publik (virtual, aktual) menjelma menjadi medan laga wacana yang berkecamuk setiap waktu. Konyolnya, kita bukanlah penonton pasif bagi pertempuran itu, melainkan (mau tak mau) terlibat di dalamnya. Ada drama di panggung yang harus dilakoni dan dihayati.
Bahkan pertempuran kerap meluas dan mendalam. Bukan hanya berkisar ranah pribadi, melainkan juga menyinggung ranah komunitas, masyarakat, dan bahkan bangsa. Beredarnya berita-berita hoax menjadikan medan itu keruh dan memprihatinkan. Sentimen siap menjadi api di dalam sekam. Dalam kondisi ini tak pelak manusia terjebak dalam keterasingan.
Namun, beruntunglah, kata pujangga Ronggowarsito, wong kang eling lan waspada, orang yang tetap ingat dan waspada. Yakni, manusia yang tetap mampu membedakan mana kebaikan dan mana kebatilan, kendati terjebak dalam zaman edan yang penuh keabu-abuan. Juga manusia yang tetap bertindak dan berjuang dalam kebaikan.
Untuk Anda insan-insan santri yang menggeluti dunia tulis-menulis—jika belum, Anda belajarlah secara tekun untuk menjadi penulis—berjuang lewat tulisan, untuk menegakkan kebaikan, adalah sebuah panggilan. Dapatkah perjuangan itu dilakukan dengan menulis? Adakah pejuang yang menghayati perjuangannya lewat tulisan yang dihasilkannya? Jawabannya, mengapa tidak? Sangat bisa! Serdadu berjuang dengan senjata, penceramah dengan lisan, penulis dengan tulisan.
Berjuang membela kebaikan dalam ranah keberlangsungan agama, negara, dan bangsa, wajib hukumnya. Itu tidak pantas ditinggalkan, justru wajib dilaksanakan. Jika Anda para santri bertekad bahwa menulis itu perjuangan maka wajibkan diri Anda untuk menulis. Jika tidak menulis, Anda berdosa. Ada semacam utang perjuangan yang diabaikan.
Mari lihatlah betapa banyak masalah negeri ini yang harus ditangani dan diselesaikan. Virus-virus kebatilan bergentayangan setiap waktu, yang siap menerkam siapa saja. Untuk menghadapi dan menghalau semua itu, perlu kekuatan mentalitas bangsa ini. Bangsa ini harus disadarkan, harus dibangkitkan, harus digerakkan. Penulis urgen mengambil peran di dalamnya.
Maka, mari berjuanglah lewat tulisan. Berantaslah kesesatan, kemunafikan, dan kemunkaran lewat tulisan Anda. Berantas pula kebodohan dan bangkitkan bangsa ini dari kemiskinan lewat tulisan Anda yang mencerahkan dan mencerdaskan. Demikian kompleks masalah negeri ini, sehingga Anda perlu menyuarakan gagasan-gagasan lewat tulisan. Tulisan Anda, baik fiksi maupun nonfiksi, akan menggerakkan bangsa ini dengan caranya sendiri. Dengan berjuang lewat tulisan, Anda para santri juga ikut berjuang membangun dan mengawal peradaban.
Imam Al-Ghazali dengan Ihya’ Ulumuddin berjuang untuk membenahi keilmuan dan keulamaan umat Islam, termasuk menekankan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar—aktivitas yang merupakan kutub terbesar dalam urusan agama. Jika aktivitas ini lenyap, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan merajalela, satu negeri akan binasa. Kontribusi Al-Ghazali bersama Abdul Qadir Al-Jilani berperan sangat besar atas kemunculan Shalahuddin Al-Ayyubi, pemimpin cemerlang Islam yang memenangi perang salib.
Dalam hal ini Anda para santri bisa menaruh hormat dan penghargaan pada para penulis pejuang keilmuan seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Batutah, Ibnu Rusyd, Imam Bukhari, Buya HAMKA, Gus Dur, dan sebagainya. Kiai Saifuddin Zuhri, tokoh NU jauh hari sebelum Indonesia merdeka, juga berjuang membangun kesadaran kolektif bangsa dengan menulis buku tentang Palestina, misalnya.
Jika dicermati, selain pejuang keilmuan, mereka juga pejuang bagi kemanusiaan di negeri dan masa masing-masing. Di Indonesia dewasa ini juga bermunculan sekian banyak tokoh yang bergerak sebagai pejuang yang juga menulis. Di luar sana pastilah banyak pejuang dengan status sejenis. Sangat mulia jika Anda bisa berguru tentang pengetahuan dan kearifan pada mereka.
Anda juga bisa meneladani para penulis inspiratif seperti Dale Carnegie. Dale Carnegie adalah motivator ulung kelas dunia. Ingat, Dale Carnegie lewat berbagai bukunya bisa memesona jutaan orang di dunia. Buku Dale Carnegie yang berjudul How to Win Friends and Influence People telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan itu menunjukkan bahwa buku tersebut sangat berpengaruh. Entah berapa juta kutipan dari buku-bukunya telah mengendon di buku-buku atau artikel selanjutnya. Belum lagi jumlah orang yang terpengaruh caranya bersikap, berpikir, dan bertindak. Luar biasa!
Dari segi kekuatan pengaruh tulisan, Anda juga bisa becermin pada buku Robert B. Downs berjudul Buku-Buku Pengubah Sejarah (2001). Buku ini membeberkan kedahsyatan buku-buku Niccolo Machiavelli Il Principe, Thomas Paine Common Sense, Adam Smith Wealth of Nations, Thomas Malthus Essay on the Principle of Population, Karl Marx Das Kapital, Adolf Hitler Mein Kampf, Sir Isaac Newton Principa Mathematica, Sigmund Freud DieTraumdeutung, Charles Darwin Origin of Species, dan Albert Einstein Relativity, The Special and General Theories. Sekali lagi, kita layak becermin dari kedahsyatan pengaruhnya, bukan substansinya—karena substansi tulisan kita adalah sepenuhnya otoritas kita.
Lihatlah, mereka para penulis yang telah berjuang, baik dalam ranah ilmu maupun ranah praksisnya. Dengan caranya masing-masing, mereka berjuang dengan tulisan. Apalagi yang lebih pantas Anda teladani dari mereka? Maka, para santri, contohlah mereka. Berjuanglah lewat tulisan. Tanamkan di dalam benak dan hati bahwa tanpa perjuangan lewat tulisan, Anda tidak banyak berguna bagi orang lain. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling besar manfaatnya bagi orang lain?[]
Gresik, 30 Oktober 2023