Oleh Agus Hariono
Badan ad hoc penyelenggara Pemilu adalah panitia pemilihan yang bersifat sementara. Dalam Rancangan Peraturan KPU tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Ad Hoc Penyelenggara Pemilihan Umum bahwa Badan ad hoc adalah Anggota dan Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan, Anggota dan Sekretariat Panitia Pemungutan Suara, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, Panitia Pemilihan Luar Negeri, Kolompok Penyelenggara Pemungutan Suara, Panitia Pemutakhiran Data Pemilih/Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, Panitia Pemutakhiran Data Pemilih Luar Negeri dan Petugas Ketertiban Tempat Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan.
Badan ad hoc merupakan penyelenggara pemilihan yang langsung bersentuhan dengan peserta Pemilu karena bekerja di level bawah, bersifat sementara, sekaligus sebagai garda terdepan dalam melayani pemilih dan peserta. Badan ad hoc juga disebut merupakan tulang punggung demokrasi, mengingat perannya yang sangat krusial dalam beberapa tahapan Pemilu. Sebut saja mulai tahapan, pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih, distribusi logistik, pemungutan dan penghitungan suara hingga rekapitulasi hasil penghitungan suara. Badan ad hoc menjadi bagian yang penting lagi ujung tombak dalam penyelenggaraan Pemilu.
Pemilu merupakan salah satu wujud dalam pelaksanaan demokrasi. Global Commission on Elections, Democracy and Security telah memberikan standar yang tinggi bagi Pemilu suatu negara dianggap kredibel. Salah satu parameter kepercayaan publik terhadap Pemilu adalah integritas penyelenggara Pemilu. Ketika Pemilu memiliki integritas, prinsip dasar demokrasi yaitu kesetaraan politik dihormati. Apabila Pemilu dianggap tidak berintegritas, kepercayaan publik akan melemah, pemerintah akan kurang legitimasinya.
Lalu, bagaimana ukuran orang atau lembaga dikatakan berintegritas? Global Commission on Elections, Democracy and Security Report, 2012, menyebutkan bahwa integritas adalah sesuatu yang tidak dapat disuap atau kepatuhan yang kokoh pada pedoman nilai dan moral. Jadi untuk mengatakan seorang memiliki integritas adalah dengan mengatakan bahwa ia telah berbuat berdasarkan pedoman beretika dan tidak dapat disuap dengan pertimbangan apapun. Maka dapat dikatakan bahwa integritas maupun disintegritas merupakan persoalan sosiologis yang dibebankan kepada perseorangan maupun lembaga.
Integritas menjadi modal yang sangat penting bagi penyelenggaraan Pemilu. Integritas adalah modal dasar menjadi seorang wasit dalam sebuah pertandingan. Maka, sepatutnya para penyelenggara Pemilu, termasuk badan ad hoc, mengejawantahkan prinsip Pemilu versi standar IDEA yaitu independen, imparsial, integritas, transparan, efesien, profesional, pelayanan publik dan bertanggung jawab.
Atau, sebagaimana termaktup dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Mengingat begitu banyak kasus pada Pemilu 2019 terkait malpraktek pemilu (electoral malpractice), cacat pemilu (flawed election), kesalahan pemilu (misconduct), manipulasi pemilu (electoral manipulation), kecurangan pemilu (rigged/ stolen elections) atau istilah lainnya yang melibatkan atau bahkan yang dilakukan langsung oleh badan ad hoc.
Sebagaimana laporan KPU tahun 2019, ada beberapa jenis pelanggaran yang dilakukan oleh badan ad hoc atau setidaknya melibatkan badan ad hoc, antara lain: mencoblos suara sisa, penggelapan gaji KPPS, memihak pada peserta Pemilu tertentu/tidak netral, terdaftar sebagai pengurus Parpol, ikut berkampanye bagi peserta Pemilu, membuka kotak suara tanpa dihadiri saksi dan pengawas TPS, tidak memberikan salinan DAA1-KPU kepada Panwascam, memanipulasi atau penggelembungkan perolehan suara calon tertentu dan mencoblos surat suara milik pemilih yang tidak hadir.
Laporan dari Biro Perencanaan dan Data KPU RI per Juli 2019 terkait penanganan pelanggaran badan ad hoc Pemilu 2019 antara lain: jumlah kasus sebanyak 542 kasus, dari jumlah tersebut yang mendapat sanki peringatan sebanyak 325 orang, diberhentikan semantara 78 orang, diberhentikan tetap sebanyak 239 orang, dipidana sebanyak 3 orang dan yang masih dalam pemeriksaan sebanyak 165 kasus.
Jumlah kasus tersebut ditemukan lebih besar ketimbang pada Pemilu 2014 dengan alasan wewenang yuridis untuk mengadili badan ad hoc yang bermasalah dilimpahkan kepada KPU Kabupaten/Kota yang ditandai dengan munculnya Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2020 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
Munculnya Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 dalam rangka memotong mata ratai yang panjang dalam menanganan dugaan pelanggaran integritas yang dilakukan oleh badan ad hoc. Hal tersebut berkonsekuensi terjadinya peningkatan atas temuan kasus pelanggaran integritas badan ad hoc dari DKPP ke KPU selaku organisasi induk.
Menurut Norris, 2014, bahwa pelanggaran integritas merupakan salah satu faktor penyebab suatu penyelenggaraan Pemilu dianggap gagal. Penyebab pelanggaran integritas adalah karena integritas penyelenggara Pemilu yang kurang baik. Pemilu yang gagal dikarenakan penyelenggara Pemilu tidak dapat mengejawantahkan prinsip Pemilu dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara.
Sejumlah kasus pelanggaran integritas yang dilakukan atau melibatkan badan ad hoc menjadi cerminan dalam menyambut penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Setidak-tidaknya regulasi untuk melaksanakan Pemilu 2024 tidak berubah, maka potensi masalah yang terjadi bisa saja sama, semakin kecil atau mungkin juga lebih besar.
Mengingat badan ad hoc adalah penyelenggara Pemilu memiliki posisi berada di garda terdepan. Merekalah yang bersentuhan langsung dengan pemilih dan peserta. Mereka pula yang menjadi ujung tombak penyelenggaraan Pemilu, mengingat perannya yang sangat strategis dalam melaksanakan beberapa tahapan krusial. Semua tahapan krusial tersebut terdapat celah yang berpotensi terjadinya pelanggaran.
Sejumlah pelanggaran yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu 2019, menjadi bahan evaluasi dan pelajaran, sekaligus merupakan tantangan bagi penyelenggaraan Pemilu 2024, yaitu mewujudkan proses penyelenggaraan Pemilu yang kompetitif, kredibel, akseptabel, bebas, jujur dan berkeadilan. Juga untuk menghindari terjadinya frasa negatif Pemilu seperti malpraktek pemilu (electoral malpractice), cacat pemilu (flawed election), kesalahan pemilu (misconduct), manipulasi pemilu (electoral manipulation), kecurangan pemilu (rigged/ stolen elections) atau istilah lainnya.
Oleh karena itu, penting mendorong dilakukannya penegakkan integritas badan ad hoc penyelenggara Pemilu secara simultan dengan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, memperkuat integritas badan ad hoc secara normatif dengan menandatangai standar moral yang tertuang dalam Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji, berupa pakta integritas. Hal ini dilakukan untuk menekan jumlah disintegritas yang kerap dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu. Kedua, mengintensifkan bimbingan teknis, sosialiasi atau penyuluhan terhadap badan ad hoc terkait dengan kode etik. Ketiga, memperkuat pengawasan internal maupun eksternal dengan melibatkan penyelenggara Pemilu yang lain. Keempat, memberikan sanksi tegas terhadap para para pelanggar integritas sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.
Plemahan, 9 Maret 2022