Makna Kemiringan Songkok Madura

0
2794

Oleh Bahrus Surur-Iyunk

Sewaktu masih mahasiswa, saya ngekost di daerah Gowok Catur Tunggal Sleman Jogjakarta atau –tepatnya—di samping masjid Al-Qamar. Hampir setiap waktu ke masjid mengikuti shalat berjamaah di masjid. Dan tetangga di sekitar masjid juga banyak yang melaksanakan shalat berjamaah di sana, termasuk salah seorang mahasiswa tetangga kost yang rajin berjamaah dengan kopyah hitamnya.

Pada satu kesempatan shalat maghrib, tetangga itu tetap dengan kopyahnya yang khas: kopyah hitam bertingkat. Mungkin orang ini lulusan pondok pesantren yang –maaf– begitu mengagungkan adanya kopyah. Di daerah tertentu, kopyah sering diidentikkan dengan kealiman atau kekhusyu’an. Bahkan, saya memiliki teman dari Madura yang meyakini bahwa songkok atau kopyah dapat menghindarkan seseorang dari kemaksiatan.

Di Madura, misalnya, shalat jumat seseorang seakan tidak sah bila tidak memakai songkok atau kopyah dalam model apapun. Mereka seakan setengah berkeyakinan bahwa shalat seseorang tidak akan sah bila sehelai rambut menutupi dahinya saat bersujud. Padahal, persoalan terakhir ini pun masalah ikhtilafiy yang diperdebatkan oleh kalangan ahli fikih.

Lebih ironis lagi, saya pernah memergoki seseorang yang bersongkok hitam sedang kencing dipinggir jalan. Dalam hati saya kemudian berkata, “jangan-jangan pipis di pinggir jalan tidak termasuk maksiat atau dosa ya…?!” Saya juga pernah memergoki orang yang hendak mencuri sepeda motor saya juga bersongkok.

Apalagi kalau anda bertemu dengan blater di madura yang salah satu ciri khasnya adalah memakai songkok hitam tinggi dan kadang agak sedikit dimiringkan. Tahu ndak apa arti kemiringan songkok tinggi Madura? Kata orang, kalau dimiringkan ke kanan biasanya keluar dari rumah isteri pertama. Kalau dimiringkan ke kiri berarti ia baru keluar dari rumah isteri kedua. Kalau dari isteri ketiga? Silahkan direka sendiri. hehehe

Mungkin mereka juga belum mengetahui bahwa orang non-muslim juga memakai songkok atau kopyah hitan yang biasa dipakai kaum muslim saat shalat. Songkok atau kopyah hitam itu kemudian diabadikan sebagai salah satu asesoris busana nasional Indonesia dan, dengan demikian, tidak lagi salah satu karakteristik keislaman Indonesia.

Nah, tetanggaku yang madura swasta dan tidak lepas songkok saat shalat itu begitu tampak ganteng dan anggun. Dia shalat di samping kananku. Pada rakaat pertama dan kedua telah dilalui dengan lancar tanpa ada keanehan apapun. Pada rakaat ketiga saat ruku’, songkok yang dipakai tiba-tiba jatuh. “Oops, Kopyahku tertinggal!. Astaghfirullah, malu nich”, mungkin bisiknya dalam hati. wkwkwk

Anehnya, ketika berdiri dari sujud pertama menjelang tahiyyat akhir, songkok hitam itu sudah terpasang lagi di kepalanya. “Wah, hebat betul tetanggaku ini. Gimana cara ngepaskannya…”

Sepulang dari masjid cerita ini dibahas di kost. Satu kost membahasnya dengan gelak tawa. Kemudian muncullah satu kesimpulan: “Janganlah terlalu fanatis dengan satu keyakinan yang tidak mesti benar adanya, seperti tentang masalah songkok atau kopyah. Apalagi hanya masalah asesoris.”

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here