War Takjil, Nonis dan Konsumerisme

0
65

“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasasebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” ~ QS 2: 183 ~

Ramadan tahun 2024 ini sungguh terasa bedanya dengan Ramadan-Ramadan sebelumnya. Apanya yang beda? Dari sudut pandang sosial, Ramadan kali ini terasa sekali vibes yang tak biasa. Kaum muslimin yang tengah menjalankan perintah Rukun Islam ketiga melalui puasa, memberi dan menerima sebuah dampak sosial dalam pergaulan sehari-hari. Bulan puasa, salah satu cirinya yaitu berkaitan dengan makan minum. Setelah menahan lapar dan dahaga beberapa belas jam, tibalah saatnya kembali mengisi lambung sebagai syariat manusiawi. Sebab tidak ada perintah Allah Swt untuk berpuasa nonstop dua puluh empat jam. Maka, peristiwa menunggu datangnya waktu berbuka, “halusinasi dan ilusi” konsumsi menjadi sesuatu yang menggoda iman. Bayangkan, hanya karena menahan lapar dan haus setelah melewati tengah hari yang terik, bayang-bayang kosong fatamorgana mampu menerbitkan air liur ketika membayangkan menu berbuka yang masih beberepa jam ke depan. Inilah kondisi yang bukan saja menjadi milik anak-anak yang tengah berlatih puasa, bahkan orang tua pun tak lepas dari pengalaman tersebut. Tiba-tiba saja, di tengah rasa dahaga, segelas air dingin dengan gelas berembun, mampu menggoda iman orang yang berpuasa. Ingin rasanya langsung meneguk barang seteguk. Salah paham lainnya, melihat kumpulan karet gelang, seolah mie goreng siap saji. Seekor kecoa terlihat bagai sebutir buah korma. Ah, setan dan iblis dianggap penggoda utama batalnya puasa orang beriman.

Tahun ini pula, keseruan Ramadan sangat tampak di luar rumah. Para pedagang takjil yaitu menu untuk berbuka puasa, bahkan sudah meramai selepas waktu salat Zuhur. Seperti di kawasan Bendungan Hilir (Benhil) Jakarta, di sebuah sudut pertigaan jalan raya, sejumlah pedagang sudah siap dengan aneka dagangan siap saji untuk berbuka puasa. Bukan saja sebatas cemilan atau makanan ringan, juga makanan lauk pauk teman makan nasi sudah siap disajikan. Sebutlah misalnya aneka minuman dingin dalam wadah-wadah yang membuat orang yang tengah haus karena berpuasa ingin segera meneguknya, juga berbagai gorengan, kue-kue, beragam buah musiman, sungguh menggugah selera. Lalu, tentunya berbagai masakan ayam, ikan, daging, telur, tahu, tempe, sayuran dengan segela jenis saus dan sambalnya, siap disantap. Sungguh, kekayaan kuliner lokal dan ala-ala internasional tampil memikat karena ditingkah suara pedagang yang riuh menawarkan dagangannya.

Begitu aneka menu sudah terpampang di atas meja-meja panjang, para pelintas dan pejalan kaki mulai melirik. Boleh jadi aroma makanan maupun tampilan aneka jenis dan warna memikat perhatian. Mereka yang di kendaraan, turun dari kendaraannya. Para pelintas maupun pejalan kaki, baik sengaja maupun tidak sengaja datang, segera menuju sudut kuliner Ramadan tersebut. Eits, waktu berbuka masih lama. Masih perlu melewati satu waktu salat lagi menuju salat Magrib. Boleh jadi, mereka yang singgah memikirkan masalah waktu untuk menyiapkan makanan berbuka datang lebih awal sebagi solusi. Apalagi jika memerlukan porsi yang banyak untuk keperluan buka bersama keluarga besar, teman kantor atu teman kumpul, maka datang dan berbelanja lebih awal menjadi keharusan. Pilihan pun masih banyak tersedia.

Tapi kenyataannya, tahun ini pula, konsumsi Ramadan ini, tidak lagi milik orang Islam yang sedang berpuasa. Kini, siapapun yang merasa ingin menikmati lengkapnya konsumsi yang dijual, mejadi daya tarik tersendiri bagi kaum yang tidak berpuasa. Mereka dikenal dengan sebutan “Nonis” alias non-Islam. Fenomena ini menjadi menarik sebab mereka justru datang paling awal. Mungkin mereka perlu menu makan siang selain untuk makan malam. Maka, mereka lebih dahulu memadati arena kuliner Ramadan. Di sinilah fenomena “War Takjil” itu populer. Terjadi “perang”  adu cepat mendapatkan menu kesukaan lebih awal jika tak ingin kehabisan. Maka, tak heran, orang yang berpuasa pun ada yang tidak kebagian makanan yang mereka idam-idamkan. Kalah cepat dari golongan nonis ini…. Ha ha haa.

Bahkan beredar di media sosial, seorang pendeta Gereja Tiberias, menjadi buah bibir dan ngetop ulah banyolannya saat berkhotbah mengenai War Takjil ini.  “Soal agama kita boleh toleran. Kalau soal takjil kita duluan. Jam tiga kita standby pas yang lain lagi lemes-lemesnya, walau ada yang bilang pas Paskah mereka belanja duluan, kita Paskah pake Kinder Joy.”

Fenomena War Takjil ini menjadi sangat menarik. Tidak terdengar terjadi bentrokan fisik maupun bentrok sosial atas perebutan takjil ini oleh kalangan nonis. Justru yang terjadi timbul rasa kebersamaan bahwa dalam soal makan tidak kenal agama. Perut lapar solusinya makan. Selama ada yang menjualnya, siapapun berhak membeli sesuai dengan kemampuan. Maka, terjadilan fenomena War Takjil tersebut di mana-mana.

Beberapa teman nonis penulis pun merasakan kegembiraan yang sama dengan datangnya bukan suci Ramadan. Buat mereka, datangnya Ramadan berarti saatnya makan besar dengan aneka pilihan dan harga terjangkau. Tidak perlu repot masak sendiri berlama-lama di dapur. Apalagi para pedagang ada di mana-mana. Kita sebagai kaum berimana yang tengah menjalankan ibadah puasa, ikut bergembira dan senang dengan kehadiran War Takjil ini. Selain memberi solusi,  War Takjil juga menambah kuat ikatan pergaualan, persahabatan antar umat beragama. Semua bergembira. Apalagi para pedagang. Saatnya kreasi kecakapan mengolah aneka menu tampil memikat selera konsumen. Ujung-ujungnya, dagangan laris duit kumpul.

Di balik peristiwa War Takjil ini, sebagai orang beriman, kita pun “disentil” dalam masalah konsumsi ini. Memang, puasa bukan berarti tidak boleh makan yang enak-enak. Kita diajarkan bagaimana etika berbuka, apa menu yang baik dan tepat dikonsusmi untuk perut yang kosong berjam-jam, apa yang harus diutamakan, dan lain-lain. Sebab, makan minum selama Ramadan jangan sampai membuat kegiatan beribadah menjadi nomor dua. Akibat kekenyangan, tubuh tak mampu lagi berdiri dengan tegak, mata berat menahan kantuk, dan inginnya cepat-cepat tergolek di atas kasur. Nah, inilah perlunya menakar-ukur kemampaun mengkonsumsi makanan di kala puasa.

Selain itu, jangan sampai kita terjebak pada selera yang mengikuti hawa nafsu semata. Malas memasak, uang cukup lalu memborong semua apa yang terlihat dan menggiurkan. Lapar mata. Padahal, begitu suara zan Magrib berkumndang, seteguk air dan sebutir korma atau penganan lainnya, sudah cukup untuk memulihkan kondisi sehabis berpuasa. SEtelah itu, dilanjutkan dengan ibadah salat Magrib. Perut sudah cukup beradaptasi dengan baik sehingga siap diisi dengan menu makan malam yang juga tidak perlu rakus dan memuaskan selera secara kalap. Sebab masih ada waktu ibadah menanti yaitu salat Isya dan Tarawih.

Sampai di sini, khususnya buat kita yang sudah berpengalaman berkali-kali bertemu Ramadan, menjadi sebuah kesadaran bahwa sesungguhnya puasa itu tidak cukup hanya dengan menahan lapar dan haus. Lebih daripada itu, puasa menjadi program pengendalian dan pengelolaan hidup yang lebih teratur dan proporsional sehingga jiwa raga, mental dan spiritual kembali seimbang. Lebih jauh daripada hal tersebut, puasa kita sesungguhnya hanya untuk Dia, Allah Swt dengan balasan menjadi manusia taqwa (QS 2: 183).

Semoga kita mampu menjalankan ibadah Ramadan dengan jauh lebih baik daripada Ramadan sebelumnya dan melalui ibadah Ramadan kita mendapat rida-Nya meraih taqwa yang selepas Ramadan akan terlihat dari sikap dan perbuatan kita. Semoga Allad Swt mempertemukan kita lagi dengan Ramadan-Ramadan berikutnya. Wallahua’lam.

***

Bionarasi

Rita Audriyanti, mantan dosen dan Oma dari cucu kembar ini, masih  antusias dan semangat belajar dan mencoba hal-hal baru. Sejak usia 53 tahun, ia mulai serius menulis buku hingga saat ini. Akhirnya, ia memantapkan diri akan menua dengan terus menulis. Baginya, menulis merupakan cara mengapresiasi diri sendiri dan berharap karya yang dihasilkan menjadi warisan bagi generasi penerus, setidaknya bagi anak cucunya serta menjadi amal jariyah yang bermanfaat. Sejauh ini, pencinta traveling, musik, dan dunia dapur ini telah menulis 125 buku, baik yang diterbitkan di penerbit mayor maupun indie. Ia dapat dihubungi melalui FB Rita Audriyanti dan IG @literatus.rita.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here