DISKUSI HERMENEUTIKA DAN TAFSIR AL-QURAN

0
2175

Muhammad Chirzin

Seseorang menulis bahwa Al-Quran tidak memerlukan hermeneutika. Dengan kalimat lain, hermeneutika itu tidak bisa digunakan untuk memahami Al-Quran.

Saya berpendapat bahwa Al-Quran niscaya dibaca dan dipahami guna diamalkan. Untuk memahami Al-Quran diperlukan ilmu tafsir.

Tafsir sebagai produk adalah buah pemahaman terhadap Al-Quran yang diungkapkan, baik secara lisan, tulisan, maupun sikap, dan tindakan.

Al-Quran mengandung segala benih ilmu pengetahuan. Segala ilmu pengetahuan berguna untuk membantu memahami Al-Quran, sehingga dapat disebut sebagai ilmu-ilmu bantu Al-Quran. Misalnya, ilmu bahasa, sejarah, sosiologi, antropologi, biologi, geologi, psikologi, politik, dan budaya.

Salah satu di antara ilmu-ilmu yang dapat digunakan untuk memahami Al-Quran adalah hermeneutika.

Hermeneutika adalah tafsir, dan tafsir adalah hermeneutika.

Sebagaimana tafsir terdiri atas berbagai aliran atau madzhab, yang satu dengan lainnya berbeda-beda, begitu pula hermeneutika.

Sebagian ulama, antara lain syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, mengkategorikan tafsir menjadi dua, yakni tafsir yang mamduh (terpuji) dan tafsir yang madzmum (tercela).

Hermeneutika juga terdiri atas berbagai aliran atau madzhab. Secara garis sangat besar, hermeneutika itu dapat dikategorikan menjadi dua juga, yakni hermeneutika objektif, dan hermeneutika subjektif.

Hermeneutika ibarat pisau bermata dua, dapat digunakan untuk mendatangkan manfaat dan dapat pula mendatangkan mudarat.

Hermeneutika, dengan demikian, tidak begitu berbeda dengan HP Anda, apa pun merknya!

Seorang teman menulis pandangannya tentang hermeneutika sebagai berikut.

Prinsip hermeneutika yang paling menarik adalah: Setiap nash yang dibaca (di-hermeneutika-kan) adalah milik dan otoritas pembacanya. Pengarang nash (apa pun, termasuk al-Quran dan Hadis) sudah kehilangan otoritas. Kehendak, kemanfaatan, dan kebutuhan terhadap nash adalah milik si pembaca.
Penutur nash (al-Quran dan hadis) memang pemilik awal nash. Tugasnya sudah selesai ketika nash tuntas dan dimanfaatkan untuk kepentingan terbatas.
Dengan prinsip ini, nash akan tetap hidup dan up to date sepanjang masa.

Menurut pemahaman saya, itu adalah pandangan aliran hermeneutika subjektif. Adapun pandangan aliran hermeneutika objektif pararel dengan jargon ulama, “Shahibul qauli a’lamu bima yaqulu – pemilik ucapan paling tahu tentang apa yang dia ucapkan.”

Dalam konteks Al-Quran Allah-lah yang paling tahu tentang maksud setiap ayat, bahkan setiap kosakata dalam Al-Quran.

Dalam konteks kitab, buku, tulisan atau ujaran yang lain-lain, penulis atau pengucaplah yang paling tahu apa maksud tulisannya atau ucapannya. Tugas hermeneut/interpreter adalah membaca pikiran penulis/pengucap yang tersirat dan tidak tersurat dalam ungkapannya. Hermeneut/interpretet dengan demikian tidak berhak menginterpretasikan ujaran tersebut secara sewenang-wenang dan semena-mena.

Yang disebut terakhir itu senafas dengan manhaj Ali bin Abi Thalib, “Istanthiq Al-Quran – persilakan Al-Quran berbicara.”

Persyarikatan Muhammadiyah dengan segala amal usahanya adalah produk hermeneutika KHA Dahlan, utamanya atas QS Al-Ma’un. Sampai-sampai Prof. Dr. Muhajir Efendy, dalam sebuah seminar tentang pendidikan di Gedung Litbang Muhammadiyah di Jl. Kaliurang Yogyakarta beberapa tahun yang lalu menyatakan, bahwa Muhammadiyah adalah Ma’unisme.

Sir Dr. Mohammad Iqbal, sebagai eksistensialis muslim, tentu saja menggunakan hermeneutika tatkala meracik karya masterpiecenya Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan dalam Islam.

Teman yang lain menulis demikian.
Gini aja…
Klo hermeneutika itu sesuai utk memahami/menafsirkan Alqur’an, ngapain ulama Al Azhar menganggap pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid berbahaya?
Berarti ulama Azhar ga paham apa itu hermeneutika donk?

Teman lainnya lagi menimpali…

Lha terus yang menggunakan hermeneutika itu gimana dunk?
Berarti berpikiran kritis & inovatif atau taqlid ke Nasr Hamid?

Respons saya kepada sahabat terdahulu, “Kok jadi begitu? Tolong baca disertasi Prof. Yunahar Ilyas.”

Guru kami, Prof. M. Quraish Shihab, alumni Al-Azhar, menulis dalam bukunya Kaidah Tafsir Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2013 ), bahwa hermeneutika itu pada batas tertentu bisa dan boleh digunakan untuk menafsirkan Al-Quran.

Ibnu Taimiyyah menulis, “Intisari Al-Quran adalah Al-Fatihah dan intisari Al-Fatihah ialah iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.” Lebih lanjut ia menulis bahwa di hadapan ayat tersebut orang-orang beriman terbagi menjadi empat kelompok.
Kelompok 1: orang yg benar2 iyyaka na’budu dan benar2 iyyaka nasta’in.
Kelompok 2: orang yg benar2 iyyaka na’budu tetapi tidak benar2 iyyaka nasta’in.
Kelompok 3: orang yg tidak benar2 iyyaka na’budu tetapi benar2 iyyaka nasta’in.
Kelompok 4: orang yg tidak benar2 iyyaka na’budu dan tidak benar2 iyyaka nasta’in.

Pertanyaan saya,
– Ibnu Taimiyyah menafsirkan ayat tsb menggunakan metode apa?
– Apakah tafsir Ibnu Taimiyyah tersebut termasuk tafsir bil ma’tsur atau tafsir birra’yi?
– Kita termasuk kelompok berapa?

Teman yang lain berpendapat, ini bukan tafsir tapi khawathir; makanya lebih bercorak isyari al qushshah.

Sebagaimana iman bertambah dan berkurang, maka semua orang yang berima bisa berada dalam 4 macam kondisi itu sesuai dengan maqam rohaninya.
Allahu a’lam.

Masih menurut teman yang sama, dalam kitab ushul tafsir Ibn Taimiyah yg dikomentari oleh Prof. Zarzur yang kami terjemahkan dalam Bahasa Malaysia bersama Prof. Dzulkifli ada isyarat tentang metode al khawathir yg masuk dalam bentuk isyari.

Teman yang lain menyambung, misal kalau konteks apakah harus mempertimbangkan politis. Apa Allah juga berpolitis(k)? Menurut saya hermenetik tidak cocok dalam penafsiran Al-Quran Prof. Dalam disiplin lain mungkin, misal teori ekonomi…

Pernyataan tersebut saya tanggapi demikian.
Ya ayyuhalladzina amanu athi’ullaha wa athi’urrasula wa ulil amri minkum…

– Adakah mufasir di dunia ini yang berkata bahwa ayat tsb tidak berhubungan dengan politik?

– Siapa yang dimaksud ulil amri dalam konteks kekinian dan keindonesiaan?

– Haruskah Anda menyetujui keputusan Pak Jokowi memindahkan Ibu kota ke Kalimantan?

– Haruskah Anda menyetujui keputusan sidang paripurna DPR ttg RUU KPK?

– Bolehkah muslim Indonesia memilih Presiden non-muslim?

– Bolehkah muslim mentaati ketua RT Nasrani?
– dll.

Tentang masalah ekonomi, apakah QS Al-Baqarah 282-283 itu bukan tentang ekonomi?

Tafsir birra’yi itu representasi prinsip-prinsip hermeneutika.

Diskusi lebih lanjut.
Apa parameter sebuah tafsir itu dikatakan mamduh atau madzmum?

Berapa banyak riwayat dalam Tafsir Ath-Thabari yang tidak shahih?

Tidak adakah Israiliyyat dlm Tafsir Jalalain?

Ibnu Taimiyyah menulis, bahwa di antara tafsir yg madzmum adalah Al-Kasysyaf, karena cenderung/memuat pandangan madzhab kalam tertentu, yakni Mu’tazilah.

Sedangkan Muhammad Abduh, ketika ditanya oleh para mahasiswanya yang muda tentang tafsir apa yg sebaiknya mereka baca, jawabnya, “Al-Kasysyaf!”

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here