Jatuh Cinta Membuatku Bisa Menulis

0
1064

Oleh Bahrus Surur-Iyunk

Mbah KH. D. Zawawi Imran pernah bilang, “Kalau ingin membuat puisi terbaik dan terindah, buatlah puisi itu ketika kamu sedang jatuh cinta.” Dan satu lagi, saat engkau mengenang ibumu. Namun, yang factor kedua ini tidak semua orang bisa mood, kecuali orang yang memiliki perasaan dekat dengan ibunya. Tapi, kalau jatuh cinta hamper semua orang merasakan keindahannya. Apalagi jika setan meniupinya dengan nafsu.

Aku masuk kuliah pada tahun 1991. Riwayat menulisku seakan mati seiring dengan matinya cinta remajaku dalam hatiku. Saat masih mahasiswa, aku hanya mengikuti pelatihan jurnalistik dan tidak praktik menulis. Bahkan sampai ikut –kalau tidak salah—2 atau 3 kali. Tidak ada hasil, karena tidak menulis.

Tapi ada yang menarik dari pengalaman menulisku. Rupanya, menulis itu tidak sepenuhnya muncul dari dalam diri. Di kala mahasiswa, ada seorang yang membuat hidupku berbunga-bunga. ia yang menjadi pendorong semangatku. Saat mengingatnya, aku hanya ingin dia tahu bahwa aku bisa menulis tentang sesuatu. Kendati begitu, aku tidak pernah mendeklarasikannya. Keindahannya hanya bisa tertuliskan. inilah yang menjadi semangat pertama aku menulis. Ya, berawal dari menulis catatan harian tentang diri sendiri.

Menulis secara serius baru terwujud lagi pada tahun 1995. Pada tahun ini, saat masih menjadi mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, terbersit janji dalam hatiku. Karena saking pinginnya bisa menulis dan dimuat di media massa cetak, aku yang juga sudah menjadi Ketua IMM Cabang Sleman itu berjanji, “Saya tidak akan lulus dan wisuda sebelum tulisanku dimuat di tiga media massa cetak.” Solid, janji itu dipegang.

Namun, keesokan harinya di ujung telpon sana, terdengar suara tuntutan dari ayah dan ibunya agar aku segera menyelesaikan skripsi. Agar bisa lulus dan wisuda lebih cepat. Yang awalnya tenang kuliah sambil belajar menulis, membangun karakter budaya literasi dan organisasi, sejak itu hatiku mulai berkecamuk antara janji diri dan tuntutan orang tua. Beruntung, aku bisa tetap tenang. Mungkin biasa menghadapi masalah saat menjadi aktivis organiasi otonom Muhammadiyah.

Berlahan tapi pasti, aku mulai menulis sambil melihat majalah-majalah dan koran di perpustakaan kampus tentang “mana yang kira-kira bisa dilabuhkan tulisanku.” Aku melirik majalah Risalah, sebuah majalah yang diterbitkan dari Bandung oleh Pengurus Besar Persatuan Islam. Kucoba-kirimkan tulisanku yang membahas tentang ruh melalui jasa Pos Indonesia.

Sejak saat itu, di bulan berikutnya, setiap ke perpustakaan aku selalu mengintip majalah Risalah terbitan terbaru. Nah, baru tiga bulan berikutnya –tepatnya di bulan November 1995, tulisan itu muncul. Hatiku berdebar bahagia melihat tulisan dan namaku tertulis di sana. Dua minggu kemudian kebahagiaan itu semakin lengkap dengan datangnya wesel sebesar 15 ribu. Besaran nominal uang yang bisa dipakai untuk mentraktir makan 15 teman kuliah di kantin kampus saat itu. Baru satu artikel dimuat.

Sukses itu candu. Satu artikel itu cukup memberi asupan semangat yang luar biasa besar. Aku yang asal pesisir utara Lamongan itu mulai menulis lagi dan mencoba mengirimkannya lagi. Namun, untuk mengulangi kesuksesannya tidak semudah yang dibayangkan. Aku mencoba mengirim ke media cetak lain, namun ditolak lagi dan ditolak lagi.

Bersyukur aku saat itu tidak putus asa. Saat IMM akan mengadakan Muktamar, ia mencoba menuangkan pikiranku yang dijejali dengan persoalan IMM dalam sebuah artikel opini. Ia kirimkan ke Yogya Post dan dimuat. Teman-temanku mulai membicarakan tulisan itu. Bahkan, di bulan berikutnya tulisanku tentang gerakan mahasiswa muncul lagi. Menariknya, aku tidak terlalu berharap pada honor tulisan. Kepuasan dimuat melebihi segalanya. Rasa bangga menyelimuti pikiranku.

Dalam benakku, aku berpikir bahwa aku sudah layak lulus sebagai seorang sarjana S1. Kendati sudah hampir menyelesaikan skripsiku, aku tetap “kemaruk” baca buku apa saja yang ada di hadapanku. Jabatanku saat itu bertambah. Bukan hanya sebagai Ketua PC IMM Cabang, melainkan juga sebagai Koordinator Departemen di DPD IMM DIY. Bahkan, sebelum lulus S1, “jabatannya” ditambahi sebagai anggota Departemen di DPP IMM. Sebelum akhirnya lulus, aku semakin rajin menulis di beberapa media massa. Pada tahun 1996, tulisanku mulai dimuat di Media Indonesia, Bernas, Suara Muhammadiyah dan Kedaulatan Rakyat.

Pada saat kuliah di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1998), aku semakin rajin menulis mulai dari artikel opini, resensi hingga kolom. Tetapi, karena sudah berkeluarga dan belum memiliki pekerjaan, pemikiran pragmatisku keluar. Ia menulis tidak hanya menyalurkan ide dan pemikirannya, tetapi juga untuk mendapatkan honor. Tulisan sebagai sumber makan dan penghidupan. Mungkin karena masih dalam proses belajar menuntut ilmu, Allah masih menolong hamba-Nya. Tulisanku mulai merambah Republika, Suara Merdeka, Wawasan, majalah Forum Keadilan, Suara Karya, Harian Terbit, Kompas, Gatra, Jawa Pos, Surabaya Post, Surya dan sebagainya.

Saat makan sudah di tangan dan merasa cukup, bahkan lebih, menulis pun mulai ditinggalkan secara tidak tersadarkan. Membeli buku berpuluh-puluh kalau sedang ke luar kota tetap dilakukan, meski kadang selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, bungkus plastiknya tidak dibuka. Membaca buku juga tetap, tetapi mulai merubah kepada bacaan yang ringan-ringan. Sesuai dengan kebutuhan dan pekerjaan yang digelutinya.

Sebagai politisi yang ngantor, aku menulis pandangan umum dan pendapat akhir fraksi. Sebuah tulisan yang didasarkan pada hasil turun pengamatan di lapangan. Bukan lagi tulisan yang didasarkan pada referensi yang cukup rumit dan ilmiah. Hingga akhirnya aku berhenti menulis sama sekali selama empat hingga lima tahun. Waktu yang cukup untuk membunuh keterampilan dan kreativitas manusia.

Beruntung pada tahun kelima itu seorang teman yang bekerja sebagai redaktur di majalah Suara Muhamamdiyah, Mas Isngadi, menawarkan kembali untuk menulis kolom yang ringan-ringan saja. Jangan terlalu banyak teori yang ndakik-ndakik. Diberi kisah inspiratif juga sangat boleh. Sebuah tulisan yang sekiranya bisa dinikmati sambil rebahan melepas penat.

Berawal dari sinilah, aku yang sudah mulai menginjak usia “setengah hari” itu mulai melahap buku-buku ringan karya Komaruddin Hidayat, Jalaluddin Rakhmat, Cak Nurcolis Madjid, dan buku-buku kisah para sahabat Rasul, tabiin, para sufi, ulama masa lampau dan kisah-kisah inspiratif orang-orang biasa. Rupanya, kisah yang seperti ini sangat disukai oleh banyak orang, termasuk jamaah pengajian, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu. Buku-buku filsafat dan pemikiran yang berat dan pernah ku baca tidak lantas hilang, tetapi serasa menjelma melata di akar rumput pengajian.

Bagiku, ketika usiaku sudah tidak muda lagi, menulis itu sudah menjadi bagian dari aliran darah. Setelah disiram sedikit semangat, kebiasaan itu muncul kembali. Bersyukur aku diberi kemampuan menulis. Menulisnya juga sudah tidak tergantung pada mood. Kapan saja dan di mana saja bisa menulis tentang apa saja yang ada di dalam pikiran, perasaan dan hatiku.

Anehnya, belakangan, menulisku sudah tidak bisa didorong oleh tujuan mencari honor dan ketenaran seperti masa mudaku dulu. Jika dua dorongan duniawi ini muncul, maka tulisannya yang belakangan lebih bernuansa motivasi Islam itu mandeg. Tidak akan muncul dan macet. Mungkin ini bagian dari peringatan Allah, dikala semua kebutuhan hidupku sudah dicukupkan oleh Allah. Ya, yang penting menulis saja.

Aku pernah berpikir, apakah masih ada orang yang mau membaca tulisanku? Bukankah sekarang ini orang lebih senang nonton Youtube, Reel Instagram dan Tik Tok? Duduk santai, mendengarkan, selesai. Daripada baca tulisan dengan mengerutkan dahi dan harus mencerna dengan berpikir, se-ringan apapun tulisan itu?

Aku biarkan godaan itu. “Yang penting aku menulis karena Allah. Berdoa saja semoga Allah berkenan menerimanya sebagai jariyah ilmu dan bisa menginpsirasi orang lain untuk melakukan kebaikan. Pasrahkan saja kepada Allah. siapa tahu bisa jadi bekal perjalanan menuju negeri Akhirat. Yakini saja bahwa dengan tulisan itu dengan ridha dan rahmat-Nya Allah akan memasukkannya ke surge tanpa harus mampir dulu ke neraka. Urusan orang lain itu membaca atau tidak itu pasrahkan saja kepada Allah. Tugas kamu adalah menulis dan sebarkanlah dengan media yang ada. Apalagi urusan ketenaran dan popularitas, persetan itu! Ya, yang penting menulis saja.” Begitu keyakinanku yang cuek dengan penghargaan manusia.

Kalau media massa dan online-nya tidak menerima dan menyatakan tidak layak muat? “Ya, sudah biarkan saja. Mau dibuang, ditolak, tidak layak muat, dianggap ndak bagus dan sebagainya, yang sudah biarkan saja. Tampilkan saja di status media social. Bisa Facebook, Instagram, Twitter, WA, buat blog sendiri dan sebagainya. Yang penting, luruskan dulu niatmu untuk mendapat ridha dan rahmat Allah. Jika kemudian ada keuntungan dunia, itu pasrahkan, mintakan kepada-Nya dan biar Allah yang mengatur.” Sekali lagi, biar Allah saja yang mengatur. Terlalu kecil urusan rezeki dan dunia ini bagi Allah, dan terlalu ndakik bagi seorang manusia. Wallahu a’lamu.

Bahrus Surur-iyunk, Penulis Buku Matahari di Balik Benteng Tradisi Satu Abad Sejarah Muhammadiyah Sumenep (UAD Press, Desember 2022) dan Penulis Terbaik Suara Muhammadiyah Versi Online Tahun 2021.

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here