Fitrah dalam Idul Fitri

0
447

Saban tahun umat Islam merayakan Idul Fitri. Mengecap aneka manis yang ada di dalamnya. Dari makanan, persahabatan, persaudaraan, hingga keuangan. Sedemikian manis sehingga kedatangan momen tersebut hampir pasti selalu hadir di benak setiap mereka yang menyebut diri sebagai Muslim. Sedemikian manis sehingga momen tersebut juga seakan menjadi euforia suci tersendiri bagi mereka. Kendati demikian, dengan menjerembabkan jangkar analisis lebih dalam, sudahkah kita tahu benar apa makna istilah ‘idul fitri’ itu sendiri?

Frase idul fitri terdiri dari dua kata; ‘id dan al-fitri. ‘Id itu sendiri merupakan kata benda yang terbentuk dari kata kerjanya; ‘ada ya’udu yang berarti kembali. Apa yang Kembali? Siapa yang kembali? Kembali dari apa kepada apa? Sekian pertanyaan inilah yang kemudian kita temukan jawabannya pada kata kedua dari frase tersebut; al-fitri. Kata yang berarti kesucian ini kemudian diadopsi hampir secara verbatim dan dikenal luas dengan sebutan fitrah. Dari sini, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa Idul Fitri berarti Idul Fitrah yang bermakna kembali suci. Apa yang kemudian ingin dieksplorasi lebih lanjut oleh artikel singkat ini adalah makna dan hakikat fitrah itu sendiri.

Makna Fitrah

Fitrah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai sifat asal, kesucian, bakat, dan pembawaan. Artinya, fitrah adalah karakter dasar yang melekat pada diri setiap manusia. Yusuf al-Qaradlawi dalam ceramahnya di al-Shari’ah wa al-Hayah, salah satu siaran popular Aljazeera, mengatakan bahwa fitrah adalah al-khilqah al-ashliyyah, yaitu karakter dasar penciptaan. Sebagai contoh adalah kesalahan yang merupakan salah satu karakter dasar manusia; satu hal yang ia tidak akan pernah bisa menghindarinya. Selama disebut manusia, lelaki atau perempuan, tua atau pun muda, tidak akan terlepas dari kesalahan. Dari fakta ini, kita mengenal satu ungkapan; kesalahan adalah fitrah manusia. Hal ini dikonfirmasi oleh satu hadits Rasulullah Saw berikut ini:

كل بني آدم خطاء وخير الخطائين التوابون

Setiap anak manusia mempunyai kesalahan. Sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.

Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa kesalahan adalah di antara ciri dari seorang manusia. Ia sama sekali tidak akan melepaskan diri darinya. Ia tidak perlu mengharap untuk bersih dari kesalahan. Kesalahan itu memang perlu diusahakan untuk dihindari. Namun jika ia benar berlaku pada diri kita, maka kita tidak perlu terlalu menyesalinya. Yang justru perlu dilakukan kemudian adalah bangkit dan bertaubat dari kesalahan tersebut.

Al-Qaradlawi selanjutnya menjelaskan rincian dari jenis dari fitrah tersebut. Cinta kepada kebenaran juga termasuk fitrah manusia. Termasuk di dalamnya juga benci kepada kebohongan. Semua manusia, apapun agama, budaya, adat istiadat, dan beragam jenis latar belakangnya, pasti akan mendambakan kebenaran. Bahkan hingga andaikan nyawa taruhannya. Sebaliknya; siapaun mereka juga pasti benci terhadap kebohongan. Dua hal tersebut inheren dalam, dan bagian tak terpisahkan dari, ajaran Islam. Hal tersebut adalah persembahan Islam kemanusiaan semesta. Ia merupakan perwujudan dari deklrasi bahwa Islam adalah agama universal.

Meski demikian, ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa cinta kepada kebenaran dan benci kepada kebohongan adalah nilai universal yang tidak mengenal agama. Artinya, dalam batas tertentu, keduanya merupakan free laden; nilai-nilai universal yang bersifat netral, yang tidak mengenal perbedaan agama manusia. Kendati demikian, tidak sedikit juga kalangan yang berpendapat sebaliknya; cinta kepada kebenaran dan benci kepada kebohongan adalah nilai universal yang merupakan bagian dari ajaran Islam. Lalu manakah di antara keduanya yang merepresentasikan kebenaran?

Fitrah: Value Laden atau Free Laden?

Terhadap pertanyaan di atas, Penulis dari awal cenderung kepada pendapat kedua; bahwa dua nilai di atas adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam. Hal ini berangkat dari asumsi dasar bahwa Islam adalah agama yang mengatur segala hal yang dilakukan dan dihadapi manusia. Pengaturan itu tidak lantas bersifat rigid, terang, dan kaku. Pengaturan itu ada juga yang bersifat longgar, samar, dan elastis, Kekuasaan Islam atas pengaturan tersebut juga selaras dengan prinsip tauhid itu sendiri yang berarti menyatukan, yaitu menyatukan cara pandang terhadap segala yang sudah, sedang, dan akan dihadapi manusia tunduk di bawah sinar petunjuk Allah Swt.

Dari sini, mengatakan bahwa cinta kepada kebenaran dan benci terhadap kesalahan adalah nilai netral dan universal yang tidak mengenal jenis agama adalah satu hal yang patut untuk dipertanyakan. Nilai yang tidak mengenal jenis agama berarti juga bahwa ada sesuatu yang tidak diatur oleh Islam. Padahal, pada saat yang sama, Islam berdiri di atas prinsip dasar tauhid.

Secara spesifik, cinta kepada kebenaran dan benci terhadap kebohongan adalah nilai moral ajaran Islam yang bersifat inklusif. Artinya, meski ia lahir dari rahim Islam, namun ia berlaku untuk semua orang apapun agamanya. Hal inilah yang disebut sebagai ummahat al-maqasid, tujuan universal kemanusiaan. Hal ini juga selaras dengan perkataan berikut ini:

الحكمة ضالة المؤمن أينما وجد أخذ

Hikmah merupakan barang yang hilang dari seorang Mu’min. Karena itu, di mana pun menemukannya, hendaknya ia mengambilnya.

Hadits di atas merupakan dasar komprehensif bagi seorang Mu’min untuk bergaul secara elastis dan elegan dengan umat agama lain. Ia tidak perlu merasa minder terhadap umat berperadaban lain. Sebab, pada hakikatnya, segala kebaikan yang tersemat pada diri umat tersebut adalah miliknya. Ia cukup untuk mempelajari, meniru, dan memperbaikinya. Dari uraian singkat ini, Penulis sekali lagi berpendapat bahwa cinta kepada kebenaran dan benci terhadap kebohongan adalah value laden. Ia merupakan bagian dari nilai moral ajaran Islam.

Kembali kepada Fitrah

Penjelasan tentang fitrah ini merupakan uraian betapa luas makna fitrah. Karena itu, kata yang tersemat pada istilah ‘Idul Fitri’ ini seharusnya terus kita maknai lebih dalam. Apalagi pada hari-hari ini di mana kita akan, sedang, dan telah mengalaminya, pemaknaan tersebut harus jauh lebih esensial dari pada pembacaan yang sudah kita lakukan sebelumnya. Idul Fitri tidak melulu berbicara soal makanan yang lezat, pakaian yang baru, persaudaraan yang erat. Ia juga berkaitan pada sesuatu yang lebih esensial; usaha untuk kembali pada fitrah dasar kemanusiaan. Wallahu A’lam.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here